Mohon tunggu...
Elsa Dian Pratiwi
Elsa Dian Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sebuah opini sederhana

An ordinary student who is learning to write

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sexsual Harrasment dan Stigma Masyarakat

18 Desember 2021   23:12 Diperbarui: 18 Desember 2021   23:13 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sexual Harrasment/ Image source: Canva.com

Merujuk pada Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, sexual harrasment atau kekerasan seksual merupakan sebuah tindakan yang mengarah pada tubuh seseorang baik dengan cara merendahkan, menghina, menyerang yang dilandasi hasrat/nafsu seksual dan dilakukan secara paksa dan bertentangan dengan kehendak seseorang. Sexual harrasment menurut undang-undang tersebut terbagi dalam beberapa bentuk, seperti perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan/aborsi/kehamilan/pemakaian kontrasepsi, kontrol seksual, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, dan praktik tradisi yang membahayakan perempuan. Pelaku sexual harrasment tidak memandang usia dan gender, bahkan hubungannya dengan korban. Hal itu berarti bahwa sexual harrasment dapat dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan kepada perempuan ataupun laki-laki, dan sebaliknya termasuk oleh atau kepada kerabat dekat, keluarga sendiri, hingga orang asing. Namun, secara umum kasus kekerasan seksual banyak terjadi pada perempuan yang mana pada dasarnya stigma mengenai perempuan sebagai objek, sedangkan laki-laki sebagai subjek.

Sexual harrasment dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, termasuk di fasilitas-fasilitas umum, bahkan di zaman sekarang dimana teknologi sudah semakin canggih sexual harrasment pun dapat terjadi di jejaring sosial internet. Namun, tindakan sexual harrasment paling banyak terjadi di tempat umum. Menurut survei dari Indonesian Judical Reasearh Society (IJRS), tempat umum seperti taman, mall, stadion, dan lain-lain menempati peringkat pertama dengan persentasi 62,4 persen terjadinya tindakan kekerasan seksual. Peringkat kedua ditempati oleh terminal dan stasiun dengan persentasi sebesar 61,3 persen. Peringkat ketiga dan keempat ditempati oleh trotoar/pinggir jalan dan transportasi publik dengan persentasi masing-masing sebesar 59,4 persen dan 57,1 persen. Sedangkan di media massa/sosial termasuk internet menempati posisi kelima dengan persentasi sebesar 45,7 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja kapan saja dan ranah publik menjadi tempat yang paling rawan terjadinya kekerasan seksual.

Sampai saat ini isu mengenai sexual harrasment masih banyak diperbincangkan mengingat lonjakan kasus sexual harrasment yang meningkat dua kali lipat dari 2020 lalu. Menurut Andy Yentriyani selaku Ketua Komnas Perempuan, mengatakan bahwa hingga September 2021 kasus sexual harrasment terhadap perempuan mencapai 4.500 kasus. Jenis-jenisnya pun bermacam, mulai dari pelecehan berkedok penelitian, ketidaksengajaan yang dilakukan berulangkali, kekuasaan (menunjukkan siapa yang berkuasa) hingga kasus perkosaan. Akibat tindakan sexual harrasment banyak korban yang mengalami dampak negatif, seperti psikologis korban yang terganggu, keterbatasan aktivitas sosial, hingga pengucilan korban dari lingkungan yang justru bisa berujung pada victim-blaming.  

Victim-blaming inilah yang justru parah, karena posisinya ia sebagai korban tetapi malah ia yang disalahkan, baik dari cara berpakainnya, cara duduknya, dan lain-lain. Padahal kekerasan seksual tidak dapat terjadi begitu saja tanpa pikiran si pelaku yang ingin melakukannya. Buktinya akhir-akhir ini kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan-perempuan berpakaian minim saja, tetapi perempuan yang sudah menutup auratnya rapat-rapat dapat mengalaminya. Berkaca dari kasus kekerasan seksual yang dialami oleh santri-santri pada salah satu pesantren di Indonesia.

Banyak korban kekerasan seksual yang memilih untuk bungkam dan tidak melaporkan baik kepada pihak berwajib ataupun sekedar bercerita kepada orang tua mereka karena mereka merasa lebih aman daripada harus melaporkan atau menceritakannya. Kekerasan seksual menjadi lebih sulit diungkapkan karena hal ini berhubungan dengan aib keluarga ataupun moral dan sudah menjadi stigma bahkan budaya bagi masyarakat. Dalam hal ini perempuan dianggap sebagai kehormatan, namun ketika ia mengalami kekerasan seksual dalam bentuk kecil sedikitpun, misalnya pelecehan seksual, ia dipandang menjadi aib. Sehingga pihak keluarga akan cenderung untuk menyalahkan si korban dan biasanya mengambil tindakan menikahkan korban dengan pelaku kekerasan seksual guna menutupi aib tersebut. Pernikahan ini dianggap sebagai jalan penyelesaian masalah yang diselesaikan secara kekeluargaan, walaupun pelaksanaannya secara terpaksa oleh korban kekerasan seksual.

Sayangnya, pola pikir yang demikian sudah berkembang di masyarakat dan menjadi stigma hingga budaya bagi sebagian masyarakat, khususnya yang tidak mau mendengarkan penjelasan korban dan masyarakat kekurangan lietrasi mengenai apa itu kekerasan seksual dan dampaknya. Hal inilah yang kemudian menjadikan korban memilih bungkam sebagai jalan terbaiknya daripada ia harus melaporkannya atau malah ketika ia berbicara ia akan dihakimi. Padahal ketika bungkam pun korban akan merasakan perlawanan batin yang dapat membuat korban mengalami gangguan psikologis. Korban akan merasa bersalah, merasa malu, dan akan terngiang-ngiang atas kejadian tersebut. Hingga lambat laun, emosi-emosi itu akan menyebabkan dirinya depresi dan trauma. Pola pikir dan stigma masyarakat inilah yang seharusnya dirubah demi masa depan korban.

Sudah seharusnya korban kekerasan seksual mendapatkan perlindungan, dampingan, dan dukungan untuk memulihkan psikisnya bukannya disalahkan. Jika korban tidak memiliki psikis yang kuat dan merasa trauma, ia bisa saja melakukan aksi nekat untuk bunuh diri karena merasa tidak ada yang men-supportnya. Oleh karena itu, sebagai manusia yang sama-sama memiliki hak, harus memiliki tingkat kepedulian dan toleransi yang tinggi antar sesama. Dengan demikian hinaan, blaming, bahkan pengucilan tidak akan terjadi jika terdapat kepedulian dan toleransi yang tinggi antar sesama.

Selain itu kita bisa menjadi pendengar yang baik untuk sekedar menjadi teman bercerita bagi si korban. Alangkah baiknya dalam sesi tersebut kita ikut memberikan saran, masukan, dan motivasi bagi korban kekerasan seksual karena itulah yang sebenarnya mereka butuhkan. Namun, dalam hal ini seringkali pihak pendengar malah balik ikut bercerita, sehingga menjadi sebuah pertanyaan bahwa “sebenarnya siapa si yang sedang memiliki masalah?”. Nah, kebiasaan inilah yang harus dikurangi. Selanjutnya kita bisa memberikan referensi mengenai tenaga ahli kepada korban. Dengan bercerita kepada ahlinya tentu akan lebih membantu mereka menyelesaikan masalah karena tenaga ahli pasti lebih mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan mereka sudah terlatih menghadapi situasi seperti ini. Dalam hal ini, jangan pernah mendahului kehendak korban atau dengan kata lain membuat keputusan sepihak tanpa persetujuan korban walaupun keputusan tersebut demi kebaikan korban sekalipun.

Sebagai masyarakat yang baik sebisa mungkin ketika menghadapi tetangga, teman, atau keluarga kita yang mengalami kekerasan seksual, jangan berpikiran negatif terhadap korban dan jangan sampai main hakim sendiri. Rubah pola pikir dan stigma yang telah mengakar kuat tersebut supaya korban kekerasan berani untuk berbicara dan mendapat keadilannya dan kasus kekerasan seksual tidak meningkat setiap tahunnya. Perubahan pola pikir masyarakat dapat melalui peningkatan literasi mengenai kekerasan seksual, sehingga stigma-stigma yang sedemikian rupa dapat terhapus. Literasi mengenai dampak kekerasan seksual terhadap korban juga penting ditingkatkan.

Selain itu tingkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar. Jika terdapat tindakan yang mencurigakan, segera minta perlindungan atau segera berpindah tempat dan mencari lokasi yang aman dan ramai dengan harapan keramaian tempat dapat meminimalisir terjadinya kekerasan seksual. Walau bagaimanapun tidak menutup kemungkinan tempat yang ramai malah menjadi tempat yang paling banyak terjadi kekerasan seksual. Tetapi setidaknya dengan keramaian akan meminimalisir pelaku untuk melancarkan aksinya dan kita dapat dengan mudah meminta bantuan kepada orang di sekitar kita.  Hukum yang menangani kekerasan seksual juga harus ditingkatkan, supaya pelaku-pelaku kekerasan seksual jera dan tidak kembali mengulangi perbuatannya. Kampanye dan pendidikan anti kekerasan seksual juga dapat dilakukan sebagai upaya meminimalisir terjadinya kekerasan seksual dan mewujudkan ketegasan hukum bagi pelaku kekerasan seksual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun