Tahun 2019 masyarakat dihebohkan dengan Revisi Undang-Undang KPK yang dianggap melemahkan bahkan mematikan kinerja dari KPK itu sendiri. Berbagai lapisan masyarakat pun merasakan hal yang sama hingga melakukan unjuk rasa untuk menyampaikan rasa kekecewaan mereka di depan gedung KPK hingga gedung DPR. Wakil pemimpin KPK Laode M Syarif  mengkritik bahwa hasil revisi  UU ini beresiko melemahkan kinerja dari KPK.
Disebutkan dalam akun twitternya @LaodeMSyarif, menurutnya, akibat proses pembahasan revisi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan minim masukan masyarakat, maka hasilnya kekacauan. Dalam postingannya disampaikan terdapat pasal yang saling tumpang tindih atau bertentangan ,yakni pasal 69D "sebelum dewan pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK berdasarkan ketentuan  sebelum undang-undang ini." Dengan pasal 70C 'pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai, harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.'
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga mengkritik hal yang sama dengan wakil pemimpin KPK Laode M Syarif akan keberadaan dewan pengawas yang dinilai menjadi polemik. Penanganan kasus, termasuk OTT bisa saja tidak bisa dilakukan karena masih belum ada badan pengawas yang sah.
Saat DPR dan pemerintah membahas perubahan UU KPK pada tahun 2019 lalu, mayoritas temuan riset mengungkapkan responden menolak perubahan UU KPK. Responden juga meyakini, perubahan UU KPK dianggap sebagai bagian pelemahan terhadap KPK. Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia proses pembentukan RUU KPK sudah bermasalah sejak awal. Selain melanggar Undang-Undang 12/2011 dan Tata Tertib DPR karena prosesnya tidak melalui tahapan perencanaan, penyiapan draf RUU dan Naskah Akademik revisi UU KPK pun dilakukan tertutup tanpa pelibatan publik secara luas ditambah dengan waktu peresmian yang dipersingkat sehingga terkesan bermasalah.
Sebagai mahasiswa prodi Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) saya merasa bahwa peresmian RUU KPK terkesan buru-buru, seharusnya saat dibuatnya sebuah RUU bisa menghasilkan pasal --pasal yang saling berkesinambungan dan tidak saling bersebrangan antara pasal satu dengan pasal lainnya, proses penyusunan RUU KPK juga seharusnya lebih terbuka dan melibatkan berbagai instansi pemerintah dan melibatkan opini publik yang berhubungan dengan Komisi Pemberantasaan Korupsi. Saya juga sependapat dengan wakil pemimpin KPK yang mengatakan bahwa akibat proses pembahasan revisi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan minim masukan masyarakat, maka hasilnya kekacauan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H