Mohon tunggu...
Elsa Fy
Elsa Fy Mohon Tunggu... Administrasi - :)

reading and writing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

26 Agustus 2018   14:10 Diperbarui: 27 Agustus 2018   15:31 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (stocksnap.io)

Kebudayaan Prasmanan pada hari kematian oleh masyarakat kota Pagaralam ada makna filosofi di baliknya. Kebudayaan Prasmanan tersebut menggambarkan bagaimana cara masyarakat kota Pagaralam menghargai, menghormati para pelayat yang ramai-ramai datang mendoakan salah satu anggota mereka yang sudah duluan pulang keharibaan tuhan yang Maha Esa. 

Rumah duka memikirkan kalau-kalau para pelayat belum sempat makan ketika pergi melayat, apalagi kalau yang datang melayat itu orang jauh (orang luar kota) jangan sampai orang yang sudah iklhlas datang melayat jauh-jauh lalu mendoakan anggota keluaraga yang sudah meninggal merasa lapar atau bahkan sampai sakit karena tidak sempat sarapan. 

Prasmanan untuk para pelayat adalah konstruksi sosial masyarakat Kota Pagaralam tentang bagaimana menghargai orang yang sudah datang untuk mendoakan keluarga mereka yang sudah meninggal. 

Penghargaan itu amat berarti bagi masyarakat Kota Pagaralam. Prasmanan tersebut adalah cerminan nilai sopan santun. Sesulit apapun keadaan ekonomi rumah duka tidak akan menjadi halangan untuk tetap melakukan penghormatan kepada para pelayat. Urusan hutang piutang urasan belakang yang terpenting nilai-nilai kesopannya yang diwariskan para leluhur tetap dijalankan.

Saya bukan ahli budaya, orang filsafat atau orang yang sedang menekuni bidang budaya. Sudah sering telinga saya tidak sengaja mendengar perkataan bahwa Prasmanan di rumah duka itu tidak wajar, apalagi kalau rumah duka sebenarnya keadaan ekonominya tidak mendukung. 

Sebagai bagian dari masyarakat yang mempunyai adat tersebut saya dapat memaklumi pandangan seperti itu. Menilai suatu kebudayaan tidak bisa dilakukan hanya dengan memotong-motong atau tidak melihat suatu kebudayaan itu secara menyeluruh. 

Hal tersebut akan menghapus makna filosofi atau esensi dari kebudayaan tersebut. Makna filosofis dari kebudayaan tersebut yang nyatanya adalah nilai sopan santun, sikap menghargai, keramah-tamahan yang diwariskan oleh para leluhur masyarakat kota Pagaralam. Di samping itu, kita juga tidak bisa membandingkan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. 

Kita tidak bisa mengatakan bahwa kebudayaan acara pemakaman yang tidak memakai Prasmanan itu baik karena tidak merpotkan rumah duka yang sedang bersedih dikarenakan kehilangan anggota keluarga, sedangkan acara pemakaman yang memakai Prasmanan untuk menyambut para pelayat itu buruk karena akan merepotkan rumah duka. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan akan menambah rentetan masalah dalam rumah duka tersebut. Jika hal ini kita lakukan sama saja membandingkan Buah Jeruk dengan Buah Jambu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun