Mohon tunggu...
Elly Maria Silalahi
Elly Maria Silalahi Mohon Tunggu... profesional -

I'm a woman who wants to live in peace among different tribes, races and religions. cause the differences were created by God will lead the beauty of harmonization in the earth

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tragedi Seabad yang Lalu

6 September 2010   17:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:24 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_251746" align="aligncenter" width="500" caption="Tongging, Kab.Karo-SUMUT"][/caption]

Kulangkahkan kakiku menyentuh riak – riak air danau, seketika rasa dingin menusuk ujung jari kakiku. Di hamparan danau begitu banyak karambah ikan yang menurutku justru mengurangi keindahan desa ini. Aku sedikit menggigil. Hari hampir senja ketika aku sampai di desa Tongging Sumatera Utara . Tongging adalah suatu tempatyang cukup unik di pinggiran Danau Toba yang terkenal indah. Tidak banyak orang mengenal nama desa ini, namun keindahannya diabadikan oleh pemerintah dengan cetakan uang lembar seribu. Aku bangga karena nenek moyangku dilahirkan di tempat ini. Meskipun aku dan papa bukan dilahirkan di desa ini, papa dan ompungku sering bercerita dan mengajakku ke desa ini disaat – saat liburan. Ada Air Terjun Sigura – Gura yang melintasi desa ini hingga ke ujung danau.

Desa ini Kabupaten Karo, tapi penduduknya bukan hanya orang Batak Karo. Desa ini merupakan desa persinggahan dan perbatasan Kabupaten Karo, Simalungun dan Dairi Pakpak. Sehingga tidak heran bila penduduk asli dapat menguasai beberapa bahasa seperti Batak Toba, Simalungun, Karo dan Dairi Pakpak. Selain iu mereka mempunyai dialek yang berbeda dengan Batak Toba lainnya.

Konon kata ompung dilereng bukit terjalnya pernah ada bangunan rumah tahanan pada penjajahan Belanda, tapi sekarang bangunan itu raib tak berbekas. Tempat dimana para tahanan Belanda di sekap, dan mereka itu pula yang membuat jalan dari atas desa Merek ke bawah ke desa Tongging. Lingkungan desa yang masih kental dengan kepercayaan mistis atau kepercayaan ala nenek moyang atau si pele begu[1], tidak membuatku gentar datang sendiri. Untung ompung masih punya peninggalan rumah sehingga aku bisa mengasingkan diri dan istirahat di desa ini.

Aku teringat bagaimana kerasnya mama melarangku pergi sendiri, alasannya aku belum pernah ke sini sendirian. Padahal aku tahu alasan tersebut sangat dibuat-buat, aku sudah biasa pergi ke seluruh nusantara sendiri. Ada kesamaan faktor keturunan antara aku, papa dan ompung yaitu bertualang dan traveling. Ompung sendiri sudah meninggalkan desa ini sejak lulus MULO, dengan berbekal ijazah ompung menaklukan pulau Jawa dan sukses. Dan ada hal lain yang membuatku meninggalkan kota Jakarta, aku ingin menenangkan diri dan menghilangkan bayang-bayang Danny yang menyakitkan.

Tiba-tiba lamunanku terpecah denga sapaan seorang bule, aku amat terkejut.

“Hi !”

“Hi, can I help you[2]?” mungkin si Bule kesasar dan butuh orang untuk bertanya, dari pandangan matanya kulihat sebuah tanda tanya besar.

“No. I’m just say hello[3]. Saya dapat berbahasa sedikit-sedikit. Nama saya James, but you can call me Jim[4]” Sahutnya dengan bahasa Indonesia berdialek British sambil mengulurkan tangan.

“Oh…sorry. Namaku Mutiara panggil saja Tiara.” aku tersipu malu.

“ Sedang berlibur?” tanyaku lagi untuk mencairkan suasana formal antara kita.

“ Ya tapi my great-grand pa [5]dari sini”

“ Oh ya?” mataku terbelalak tidak percaya, karena kalau dilihat dari penampilannya bule asli dengan wajah tirus.

“Papi campuranIndonesia, tapi mami saya orang Belanda, sedang saya sendiri lama tinggal di Wales. Ini pertama kali saya melihat tempat kelahiran My great grandpa. I don’t know what you call it[6]” Wajahnya kelihatan agak bingung mau menyebut istilah bahasa Indonesia.

“Buyut !” jawabku tertawa geli, akh baru kali ini aku tertawa lepas sejak 5 bulan yang lalu.

“Saya suka mendengar kamu tertawa, kamu jadi “cute[7]” dengan tertawa seperti itu.

“ Akh…..” wajahku bersemu merah.

Jim mengajakku duduk di tepian danau Toba dan kami mengobrol sambil diselingi bahasa Inggris karena tidak semua bahasa Indonesia dia kuasai. Esoknya siang hari kami berjanji bertemu lagi. Aku senang punya teman ngobrol walaupun sama-sama bukan besar di desa ini tapi kami sama-sama keturunan dari desa Tongging ini. Aku jadi tertawa geli ingat mama yang ketakutan kalau aku kecantol pemuda pemuda desa ini, mama takut kalau aku disuruh menanam bawang ke ladang. Bawang merah dari Tongging dulu termasuk hasil panen yang menjanjikan didesa ini, banyak orang dari berbagai daerah datang untuk membeli bawang yang terkenal di Tongging ini, sayang sekarang sudah tidak seperti dulu lagi. Entahlah dimana masalahnya, apakah karena para pemuda desa ini sebagian besar hijrah dan sekolah ke Medan atau ke Jawa. Atau sistem bercocok tanam dan distribusinya perlu dibenahi. Aku tidak tahu karena aku tidak paham tentang pertanian.

Beberapa hari setelahnya Jim mengajakku menyusuri pinggiran danau hingga ke desa lain.Aku senang karena Jim sangat gentlemen dan hangat, dia benar-benar menghargaiku sebagai wanita. Aku belum pernah mendapat perlakuan seperti ini dengan teman-teman priaku, tidak juga Danny yang sudah sekian tahun menjalin hubungan asmara denganku. Namun kegembiraan kami terganggu dengan pandangan aneh para penduduk setempat, dengan bahasa Batak khas tongging, mereka seolah-olah membicarakan kami. Aku sendiri tidak begitu paham apa yang bicarakan, namun setidak-tidaknya aku menangkap ada yang aneh dipandangan mata mereka. Setahuku masyarakat sini sudah terbiasa melihat bule berkeliaran didesa. Namun keheranan kami terjawab, tiba-tiba salah seorang namboru[8]ku Sumihar, datang dengan tergesa-gesa dan berlari-lari memanggilku.

“Tiara sini!!! Jangan pergi dengan dia, Tidak boleh nanti ompung[9] Sahat marah.” Ompung Sahat adalah uda[10] papaku . Aku terkejut dan kamipun berpandangan. Apa urusan orang-orang ini membatasi pergaulanku, umpatku dalam hati. Sepanjang hidupku orang tuaku tidak pernah melarangku bergaul dengan siapapun baik dari suku dan agama apapun. Bahkan mama sendiri bukan boru[11] Batak tapi Boru Sunda yang diberi boru Manihuruk. Namboruku Suminar lalu dengan keras menarik tanganku memisahkanku dari Jim. Aku tidak bisa marah dan bersikap kasar karena aku menghargai namboruku ini, karena dia yang selama ini mengurus segala keperluanku disini.

“Jim, I beg your apologize. I’m sorry, I don’t know what to do. Please forgive her[12].”

“ It is ok. It is not your fault. Please keep contact, ok[13]!”

“Ok !” sengaja aku dan Jim berbahasa Inggris supaya tidak dimengerti namboruku. Kamipun berjanji ketemu besok.

Aku langsung dibawa ke tempat ompung Sahat, dan betapa terkejutnya aku ternyata sudah kumpul beberapa sanak familiku mulai dari doli-doli [14]sampai ompung-ompung. Sedemikian fatalkah kesalahanku? Aku bagaikan terdakwa yang tidak tahu apa kesalahannya dan dihakimi oleh orang-orang seolah tahu benar yang akan didakwakan. Aku terduduk dengan wajah bingung, masing-masing berbicara bahkan saling sahut menyahut. Aku sendiri tidak tahu persis yang dibicarakan karena kesenjangan bahasa. Inilah pertama kalinya aku mengutuk diriku yang tidak pernah belajar bahasa daerahku sendiri. Yah aku bagaikan seekor katak bodoh ditengah-tengah para bebek dan angsa.

Singkat cerita, dari percakapan mereka aku mendengar adanya pro dan kontra, yang bisa aku tangkap sebagian besar para natua-tua [15]marah padaku, tapi sebagian kecil kelihatannya membelaku. Setelah perdebatan panjang dan membosankan, akhirnya salah satu ito[16]ku Binsar menjelaskan dengan bahasa Indonesia.

“Ito Tiara, kami paham ito kurang mengerti apa yang kami permasalahkan. Pada prinsipnya yang kami lakukan ini semata-semata karena sayang kami semua dari ompungmu, bapa tua[17], bapa uda[18], namboru, amangboru[19] serta saya sendiri kepada ito Tiara. “ singkat cerita, dahulu waktu jaman Belanda, ada namboru dari ompungku, bernama Nauli. Namboru ini sangat cantik, sama seperti namanya yang artinya cantik. Karena cantiknya akhirnya dia mati sengsara dibunuh oleh seorang pemuda dari kelurga Jim.

“Nah kami tidak mau hal itu terjadi pada ito. Untuk itulah kami melarang ito bergaul dengan laki-laki itu, apalagi dia tidak tahu adat istidat kita. Karena ompungnyalah yang membuat sengsara keluarga namboru kita.” Ceritanya pada waktu itu Namboru Nauli mau dipasu-pasu dengan paribannya Raja Muda dari desa seberang, tiba-tiba tubuhnya tergeletak di ujung kaki air terjun Sipiso-Piso. Dan beberapa saksi mata melihat Tumpal ompung Jim itu baru saja melewati lereng air terjun, dan sejak itu dia menghilang hingga sekarang. Dan Jim ternyata turunan si Tumpal. Sejak itu keluarga besarku bersumpah tidak akan bergaul dengan keluarga mereka. Dan itu tetap dipertahankan samapai saat ini.

Setelah mendengar cerita ito Bonar, aku hampir saja tertawa. Kalau saja aku tidak tahu malu, mungkin aku akan tertawa sekeras-kerasnya. Bagaimana mungkin cerita yang lebih seabad umurnya masih tetap membekas dan menjadi permusuhan antar keluarga. Yang hadir disinipun belum tentu tahu cerita sebenarnya, karena mereka sendiri belum lahir, dan hanya mendengar cerita itu dari orang tua mereka, tapi tetap menjalankan suatu permusuhan. Aku percaya cerita itu ada, tapi aku tidak begitu saja menerima semua itu, aku tidak tersangkut paut dengan permusuhan itu, pertama karena kejadian itu seabad lamanya dan sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, kedua aku dan Jim hanya berteman bukan sepasang kekasih.

Dua hari sejak peristiwa itu terjadi, aku tidak menemui Jim, hanya agar meredakan amarah sanak familiku yang masih menyimpan kebencian pada keluarga Jim. Namun bukan Tiara namanya kalau tidak mencari tahu kebenaran cerita itu. Aku akhirnya berjanji bertemu Jim di Kabanjahe di sebuah restorant masakan cina. Sambil melahap mie goreng dan cap cai yang terkenal lezatnya di Kabanjahe kami saling bertukar cerita.

Cerita versi keluarga Jim, namboru Nauli mati bunuh diri karena akan dikawinkan paribannya Raja Muda dari desa seberang. Dahulu semua desa di Sumatera Timur mempunyai raja-raja yang mengepalai setiap huta[20]. Seperti halnya di Tongging yang berkuasa adalah Ompung Raja marga Manihuruk. Menurut mereka mana mungkin si Tumpal membunuh, karena diam-diam si Tumpal menjalin cinta dengan Nauli, mereka sudah saling sayang-menyayangi. Namun hubungan kedua insan ini ditentang keluarga Nauli karena si Tumpal dari keluarga hatoban[21]. Ternyata bukan hanya di Jawa saja persengketaan darah biru dengan rakyat jelata, bahkan hal itu terjadi juga seabad yang lalu di keluarga kami. Tapi bagi aku dan Jim, itu adalah cerita masa lalu.

“Tiara, masa lalu biarlah menjadi milik masa lalu, yang penting adalah masa sekarang.” Kata-kata Jim menyadarkanku akan masa laku dengan Danny, Sampai saat ini aku tidak bisa melupakan penghianatan Danny, dank karena itu aku benci padanya. Mungkin aku harus merelakan masa lalu menjadi bagian masa lalu. Seharusnya yang duduk dihadapan Jim sekarang adalah Tiara masa depan. Aku lalu menjadi terharu, lalu serta merta aku menggenggam tangan Jim dan hampir terisak aku berbisik lirih,

“Thanks Jim..thank you so much.” Jim tersenyum manis walau dengan wajah penuh kebingungan, namun tangannya membalas menggenggam tanganku, kami bagaikan dua orang kekasih yang saling jatuh cinta.

Pagi ini hari tampak begitu cerah, aku dan Jim berjanji bertemu untuk mendaki lereng bukit dekat air terjun Si Piso Piso.Kami berjalan mengikuti arah datangnya air sungai mengalir. Dengan celana pendek dan bersepatu kets serta tidak lupa membawa topi, kami berjalan sambil bercerita. Jim bercerita tentang petualangannya di beberapa kota Eropa. Setelah berjalan cukup jauh tiba-tiba Jim berhenti.

“Wait here ok[22]” Jim meletakkan ranselnya sambil menenteng kamera dia melompat di sebuah batu karang yang menonjol menatap kearah danau Toba.

“Oh my God[23]...” Jim lalu berusaha mengabadikan pemandangan danau dari arah lereng air terjun dengan kamera.

“Be Careful[24] Jim!” kataku mengingatkan.

“Tiara, you must see it..very beautiful…amazing[25]” Jim tak henti-henti memotret. Tindakan Jim membuatku penasaran, pelan-pelan kuikuti langkah Jim, akupun ikut memijak batu yang menonjol dilereng air terjun. Jim tidak salah, wow…pemandangannya begitu indah, kelihatan pemandangan desa Tongging dengan hamparan hijau dan rumah dipinggir danau Toba bagaikan melihat 2 langit terbelah horizontal ada langit atas dan ada langit bawah. Aku begitu terpersona, pantas Ompungku sangat bangga dengan desanya ini.

“Jim, aku minta fotonya ya…akan kutujukkan pada papa, belum tentu papa pernah melihat pemandangan seindah ini” Aku membayangkan wajah papaku bangga bila melihat foto desanya yang begitu indah.

[caption id="attachment_251747" align="aligncenter" width="300" caption="Air Terjun Sipiso-Piso, Penatapan Tongging,Kab. Karo-SUMUT"][/caption]

“Absolutely[26]...” Namun tiba-tiba suara gemuruh diatas kami. Aku begitu terpesona tiba-tiba hilang kewaspadaan dengan jatuhnya air begitu deras dari atas kami. Kakiku terpeleset dan aku hanya mendengar teriakan Jim.

“Tiara, hold my hand please[27]!!” Tanganku berusaha menggapai tangan Jim, setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi, yang kutahu tiba-tiba gelap.

Tubuhku dan tubuh Jim seakan-akan melayang jauh, jatuh kearah tempat yang tak berbatas. Tiba-tiba didepan mata kami ada sepasang manusia yang sedang duduk ditepi air terjun. Mereka tidak terusik dengan kehadiran kami. Aku dan Jim berpandangan. Mungkinkah kami ada di surga? Apakah itu Adam dan Hawa? Menilik dari pakaiannya mereka tidak sejaman dengan kami, baju mereka sedikit berbeda. Yang pria berkulit gelap kecoklat-coklatan, wajahnya tirus menunjukkan keperkasaannya, yang perempuan putih dan berambut panjang, namun bentuk wajahnya terutama mata dan bibirnya membuat aku dan Jim terkejut. Wajahnya mirip denganku hanya saja badannya lebih kecil dan rambutku tidak sepanjang rambutnya. Sekali lagi kupandang yang lelaki kelihatan ada kesamaan antara Jim dengannya terutama diwajahnya yang tirus.

“Nauli, inilah cincin yang abang buatkan untukmu. Simpanlah sebagai kenang-kenangan akan aku, aku akan pergi merantau.” Bahasa yang digunakan bahasa Batak kuno, anehnya aku dan Jim bisa mengerti yang diucapkan. Yah Tuhan, aku menutup mayaku, aku tersadar ternyata kami pindah ke abad lalu. Kami seolah melihat adegan drama. Sang lelaki memasukkan cincin ke tangan Nauli, namun kebesaran di jari Nauli yang mungil. Dengan bersimbah air mata Nauli menatap,

“Abang, bawalah aku lari aku tidak mau kawin dengan paribanku. Adat mengijinkan kita kawin lari”

“Tidak, adikku, kamu akan sengsara bila hidup bersamaku. Kami keluarga miskin, bila kau kawin denganku hidupmu hanya di ladang. Paribanmu kaya dan anak raja pula, mana sanggup abang menandinginya. Dan pikirkan apakata keluargamu.” Tumpal memegang pundak Nauli, lalu salah satu tangannya mengelus rambut Nauli yang panjang berurai.

“Tidak abang, bawalah aku lari, aku hanya mencintai abang seorang, bawalah aku lari.” Pinta Nauli wajah penuh dengan harapan dikabulkan sang kekasih permintaannya.

“Karena sayangkulah maka aku tidak mau membawamu lari, bersamaku kau akan hidup sengsara dan miskin.” Tanpa diduga-duga Nauli melompat ke tengah air terjun.

“Bang Tumpal kalau kau tidak mau membawaku lari, aku akan bunuh diri sebagai bukti cintaku padamu.” Teriak Nauli, air mata terus bercucuran dan riak-riak air terjun membasahi rambutnya.

“Jangan Nauli, jangan….itu berbahaya nanti kamu jatuh.”

“Tidak...kalau abang tidak membawaku lari aku akan melompaat ke bawah.” Ancam Nauli.

“Baik...baik…jangan lompat, jangan bunuh diri, abang akan menderita kalau Nauli bunuh diri.”

“Sungguh??? Abang sungguh-sungguh mau bawa aku pergi?”

“Ya! Inilah janjiku pada kekasihku Nauli.” Degan riang Nauli kemudian melompat menepi, namun tiba-tiba gemuruh angin memecah keheningan.

“Abang…tolong!” Nauli berteriak panik. Tumpal lalu berlari menembus angin, tangannya sempat menarik Nauli kekasihnya, namun apa daya hanya cincin ditangan Nauli yang dapat diraihnya. Jim dan aku serta merta ingin menolong, namun badan kami seolah-olah terpaku. Badan Nauli yang mungil jatuh dihantam air dan angin. Tiba-tiba sebuah teriakan menembus keheningan.

“Nau….liiiiii,,,” teriakan Tumpal terdengar menyayat hati. Aku lalu menangis terisak-isak. Terasa berat dikerongkonganku. Airmataku jatuh bercucuran, dadaku terasa sakit nafasku tersengat-sengat, mulutku kelu dan terasa serak di kerongkongan.

“Papa...papa..Tiara sudah bangun.” Sebuah teriakan mama membuat Ompung Sahat dan papa tergesa-gesa memasuki kamar. Aku terbaring lemah, dan air mata membasahi pipiku. Tiba-tiba segenggam berat Pir ni tondi ditaruh di kepalaku, diucap dengan doa-doa.

“Minum air ini inang..” Ompung Sahat memberiku air putih, dengan dibantu mama dan namboru Sumihar. Kududukkan tubuhku, air minum menyegarkan kerongkonganku. Tiba-tiba aku ingat Jim.

“Mama..Jim, dimana Jim? Bagaimana dia? Mati? Hidup?” tanyaku bertubi-tubi, seketika rasa takut kehilangan Jim menyelimutiku.

“Sabar-sabar…baru dipanggil begitu kamu siuman.” Kata namboru Sumihar, aku merasa lega artinya Jim masih hidup.

“Ompung, aku lihat namboru, namboru Nauli. Dia..dia..kecelakaan bukan dibunuh.” Kataku terbata-bata.

“sudah…sudah ..! Jim sudah cerita apa yang kalian lihat, sekarang yang penting tenangkan diri. Terima kasih pada Tuhan karena kamu masih hidup.” Mama menagis memelukku dan mengelus kepalaku. Suara tangis mama terhenti dengan kehadiran Jim. Tanpa malu dan sungkan Jim memelukku dan mencium kepalaku bertubi-tubi. Ditangannya kulihat balutan perban dan didahinya ada luka-luka baret.

“I’m sorry Jim!”

“No..no..aku salah mengajakmu ke sana.”

“Sudahlah, tidak usah saling menyalahkan. Tiara, Jim sudah menyelamatkan nyawamu, lihat ditubuhmu tidak sedikitpun luka.” Kata papa. Aku lalu memandang seluruh tubuhku, ajaib tidak ada luka sama sekali, padahal Jim penuh balutan.

Malamnya diadakan pesta makan-makan, dimana untuk pertama kalinya sejak seabad yang lalu dua keluarga besar yang bermusuhan duduk bersama-sama, ada sangsang, naniura, arsik dan ayam gulai dan ayam di mudari. Selain untuk mensyukuri keselamatan aku dan Jim, juga memperingati arwah namboru Nauli yang sudah tenang di alam baka. Rupanya pertemuan aku dan Jim mengungkapkan sebuah tragedi seabad yang lalu, cerita sebenarnya sudah terungkap. Anehnya pada saat aku dan Jim ditemukan di ujung sungai yang sama dulu ditemukan jasad namboru Nauli. Jim dalam keadaan memelukku tubuhku, seolah-olah tubuhnya melindungi tubuhku.

Dan ternyata setelah Jim menyelidik ke dokumentasi desa, pada saat itu tepat seabad meninggalnya namboru Nauli. Rupanya karena tidak bisa menyelemati Nauli, Tumpal pergi melarikan diri dan mengasingkan diri ke hutan, hingga akhirnya ditemukan seorang Belanda dan dibawa ke negeri Belanda. Di ujung umurnya memasuki senja akhirnya dia menikah dengan wanita Belanda. Dari wanita itulah lahir ompung doli[28] Jim yang juga menikahi wanita Belanda, demikian juga dengan papa Jim. Baik aku dan Jim sama sekali tidak mengetahui cerita itu sampai kejadian itu.

Ketika acara kekeluargaan berlangsung, Jim mengajakku keluar rumah dengan santai Jim menggandeng tanganku dan kamipun berjalan menuju pinggir danau, tempat dimana pertama kali pernah bertemu. Di tengah kegelapan malam di atas langit, cahaya rembulan menyinari ujung pandang danau. Rembulan seakan tepat diatas danau, indah sekali.

“Tiara, I got something for you[29]” suara Jim memecah keheningan kami. Baru kali ini aku merasa kikuk berhadapan dengan Jim. Lelaki itu berdiri tepat berdiri didepanku. Diambilnya tanganku lalu dipasangnya sebuah cincin dijariku.

“Jim…” aku tidak bisa berkata-kata. Cincin yang diberikan persis seperti cincin yang diberikan ke namboru Nauli, aku tidak menyangka cincin itu masih ada.

“Tiara, would you marry me[30]?”

“What…..are you sure[31]?” aku terkejut kaget sekali.

“Yes, I’m sure[32]. Would you marry me please!” mata Jim begitu berharap. Aku hanya bisa tersenyum mengangguk. Jim kemudian merengkuhku dipelukannya dan bulan tepat berada di atas kami. Apakah kami ini reinkarnasi Nauli dan Tumpal? Mungkinlah cinta mereka bersatu terwujud setelah seabad lamanya melalui aku dan Jim?

[1] Si pele begu : hantunya orang batak berbentuk besar dan panjang

[2] Can I hep you = adakah yang bisa saya bantu?

[3] I’m just say hello = saya hanya mengucapkan salam

[4] But you can call me Jim = kamu dapat memanggilku Jim

[5] My great-grand pa = kakek buyut

[6] I don’t know what you call it = aku tidak tahu bagaimana kau menyebutnya

[7] Cute = lucu, menarik

[8] Namboru = saudara perempuan ayah

[9] Ompung = kakek, opa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun