"Jembatan merah sungguh indah, malam bulan purnama,
Aku berjanji akan kembali..."
Syair ini sering diulang-ulang di masa usurnya. Dia bernyanyi penuh sendu di bawah pohon jambu air depan rumahnya. Jika cucu-cecenya datang menemani, Avo (artinya Nenek) menjemput dengan penuh riang, mengajak mereka bernyanyi sambil bertepuk tangan. Bukan cuma jembatan merah, avo juga akan mengajak mereka bernyanyi bengawan solo, kapal benteng dan lagu lawas lainnya. Itulah sebabnya mereka yang berjalan kaki melintas di depan rumahnya sudah menghafal nyanyian merdu Avo Lou. "Avo, hananu lai", demikian suara di seberang jalan sering meminta Avo untuk bernanyi.
Avo sedang bernyanyi mengingat masa mudanya yang penuh ceria dan penuh tantangan. Saat Belanda masih sedang menduduki wilayah Nusantara dan saat Jepang mulai mengeser posisi Belanda di Nusantara sampai kemerdekaan Indonesia 1945.
Di jaman  1940-an, avo dan teman-temannya sering menikmati lagu-lagu daerah, country dan sedikit musik keroncong saat pesta pernikahan dihelat. Dengan lampu petromax, orkestra kampung dengan iringan juk dan seruling, mereka menghabiskan malam dansa sampai orang tua meminta pulang. Kenang Avo jika mengingat masa lalunya. Mungkin di saat itu, Benediktus Linu menemukan cinta pertama di hati Anastasia Lou.
Walau demikian, Benediktus tak bisa bergerak bebas mendekati Anastasia. Avo dijaga ketat oleh dua saudaranya yakni Petrus Mali yang terbilang pendiam lagi kalem dan Aloysius Foki yang selalu mengekor di samping saudari perempuannya. Yah di jaman itu setia anak gadis selalu ditemani orang tua atau saudara laki-laki ke tempat pesta atau pun ke tempat perhelatan yang ramai. Terlebih ketika Jepang mulai menduduki Nusantara waktu itu. Seorang perempuan muda tidak begitu saja pergi meninggalkan rumah sendirian. "Kami sering bersembunyi jika pasukan Jepang masuk ke halaman rumah." Cerita Avo. Orang tua melarang kami bertemu karena takut dibawa oleh tentara Jepang.
Avo Anastasia lahir di Abat-Atapupu, 14 Februari 1928 saat sejarah mencatat sekelompok pemuda Nusantara sedang menggagas kongres pemuda II demi lahirnya Sumpah Pemuda. Ayahnya seorang pejuang Timor Loro Sae (Timor Timur). Ia meninggalkan tanah kelahirannya di Same (Timor Leste sekarang) karena perang. Albertinus Nahak kabur dari tahanan lawan sebelum sehari akan dieksekusi mati. Beruntung ia bisa selamat sampai ke Timor Loro Monu (Timor Barat) di wilayah Atapupu setelah menghabiskan 2 bulan lebih mengembara masuk keluar hutan, melintasi lautan hingga tiba di Atapupu.
Sebagai perantauan, Albertinus Nahak berjuang keras hidup di daerah yang baru. Segala hal dikerjakan agar bisa bertahan hidup. Tak berselang lama setelah ia mulai betah di Atapupu, Albertus mulai menginginkan pernikahan. Untuk itu, ia menempa hidupnya hingga bisa mendapat restu dari orang tua Maria Alai dan menikah. Dari pernikahan kedua pasangan ini, lahir empat orang anak. Anastasia Lou merupakan anak perempuan tunggal dan bungsu dari empat bersaudara.
Maria Alai adalah seorang gadis pesisir pantai yang kuat dan tangguh. Awal tahun 1900-an tak ada pekerjaan istimewa selain memasak garam dan berkebun apa adanya. Hidup pada masa itu bergantung pada alam. Hasil berkebun yakni jagung, padi ladang dan umbi-umbian serta hasil tangkapan ikan di laut sudah cukup menghidupi kebutuhan pangan keluarga.
Anastasia dibesarkan dalam keluarga sederhana demikian. Ia bertumbuh dewasa ditempah dalam kerasnya perjuangan hidup. Tentu tidak muda ketika ia memutuskan untuk meninggalkan keluarganya dan menikah. Tak banyak bekal, harta dan warisan yang dibawah serta. Hanya doa dan pengharapan di altar Tuhan dari orang tua dan saudaranya menghantar ia dipinang oleh Benediktus Linu dari kampung tetangga Railuli. Gereja Katolik Paroki Stella Maris Atapupu meresmikan pernikahan mereka sebagai pernikahan yang sah di hadapan Tuhan. Â Â
Dari tulusnya cinta yang tak terukur oleh jaminan akan hidup nyaman, Anastasia membentuk rumah tangga dan memulai hidup baru bersama Benediktus Linu. Sebagai lelaki pesisir Linu bekerja serabutan. Ia berladang, melaut dan sesekali menjadi buruh pelabuhan jika kapal singgah di Atapupu. Benediktus pandai menganyam tulang daun gewang untuk menangkap ikan. Maklum waktu itu belum ada alat tangkap ikan modern  seperti pukat di masa kini. "Jika petang menjemput, Bai Linu sudah pulang dari laut dengan sebakul penuh ikan segar yang masih hidup", cerita Avo. Kami sudah menunggu di rumah. Lempengan sagu masak sudah dihidangkan di atas tikar. Setelah kua asam matang, santap malam pun terhanyut bersama gelapnya malam ditemani lampu pelita sampai pagi menjemput.
Menjelang subuh, Avo Anas sudah bangun. ia pergi ke tepi pantai membawa sebongkah kayu kering besar untuk memasak garam. Pekerjaan ini hampir dilakukan oleh sebagian besar perempuan di pesisir Atapupu pada masa itu. Sebelum matahari terbit, mereka mulai menumpuk tanah bergaram. Tanah itupun diangkat, dikumpulkan di sebuah wadah yang kemudian disaring bersama air laut untuk mendapatkan bahan mentah kemudian dimasak menjadi garam. Proses penyulingan ini butuh waktu hingga matahari begitu menyengat di atas kepala.  Mereka menghabiskan waktu dalam proses produksi dengan menghadap bara api yang panas dan  di bawah terik matahari. Tak ada alas kepala, cuma selembar kain menemani rambut panjang perempuan-perempuan ini hingga sore hari. Cukup minimal 5 Kg garam untuk satu hari masak. Jika sudah terkumpul banyak baru di bawah ke kota untuk dijual. Ini tugas suami bersama anak lelaki untuk memikul garam yang terkumpul dihantar ke kota menempuh 20-an km dengan  berjalan kaki.
Benediktus dan Anastasia dikarunia 7 oran anak yakni, Gabriel Wadan, Maria Alai (Almahrum), Johanis Liban, Petronela Boke, Maria Alai, Martinus Nahak dan Hendrikus Mones. Avo Anastasia sungguh perempuan hebat dan diberkati karena dikarunia Tuhan boleh mengandung dan melahirkan 7 orang anak. Waktu itu, belum ada fasilitas kesehatan memadai. Avo melahirkan tanpa bantuan dokter atau bidan medis sekarang. Namun bukan berarti Avo Lou tidak mempersiapkan kelahiran anak-anaknya dengan baik. Avo sangat disiplin. Ia bercerita bahwa pada masa itu, setiap perempuan yang mengandung akan diperhatikan dan dirawat dengan baik. Tiba pada masa kelahiran dan setelah kelahiran, mereka akan dikurung selama 40 hari sampai diizinkan orang tua boleh keluar rumah. perempuan-perempuan saat itu berdedikasi penuh untuk keluarga. Merawat sejak di kandungan sampai proses kelahiran dan mendampingi anak hingga dewasa. Itu lah ibu yang sungguh mengabdi dan mengorbankan hidup kepada keluarga dan anak.
Dengan segala daya yang ada, Avo Lou dan Linu menyekolahkan anak-anaknya ke bangku pendidikan. Keenam anaknya masuk Sekolah Rakyat. Karena keterbatasan biaya, dua anaknya hanya selesai di sekolah rakyat sedangkan 4 anak yang lain menamatkan Sekolah Menangah Atas (SMA) atau setara. Kini salah satu anaknya kini sedang mengikuti program doktoral.
Tahun 1989 sampai tahun 1992 merupakan tahun yang berat baginya. Maria Alai anak gadisnya yang baru selesai menamatkan pendidikan di Sekolah Guru Agama meninggal di tahun 1989. Satu tahun berselang 1990 tepat pada bulan Februari, suaminya tercinta Benediktus Linu meninggal dunia. Duka itu belum lama terhapus. Berselang tiga bulan kemudian, saudara laki-lakinya yakni Petrus Mali juga pergi meninggalkannya. Â Hingga 1992 Avo pun ditinggal saudara laki-lakinya yang kedua yakni Aloysius Foki. Duka ini sungguh dalam. Air mata pun tak cukup menceritakan kembali kesedihan Anastasia Lou.Â
Sepeninggalan orang-orang terkasihnya, Avo tidak putus asa. Avo beriman penuh pada Tuhan. Ia berpasrah pada penyelenggaraan yang Maha Kuasa. Avo tetap optimis menjalani hidupnya dengan anak-anak dan cucu-cucu yang sudah mulai beranjak dewasa.Â
Anastasia di masa tuanya menghabiskan waktu bersama 23 orang cucu dan 19 orang cece bersama 5 orang menantu dari anak-anaknya serta 10 orang cucu menantu. Dari rahim Avo Anastasia kini berkembang kehidupan baru yang sudah membangun garis keturunan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang suku dan daerah.
Avo menikmati masa tua dengan senyum gembira. Perempuan ini sungguh hebat. Â Raganya telah melintasi 93 tahun lamanya dengan segala jenis wabah dan pandemi penyakit yang melanda. Hampir tak ada sakit berat mendera tubuhnya. Ketika memasuki usia 80-an dalam pemeriksaan dokter bila ia mengalami sakil ringan, dokter sering memuji detak jantungnya yang sangat stabil dan kondisi kesehatan organ dalam tubuh yang berfungsi normal.
Akhir tahun 2020 dan awal tahun 2021 kondisinya mulai menurun. Menginjak usia 93 Tahun Avo Lou mulai menghabiskan waktu di pembaringan. Kondisi fisiknya melemah. Jantung, paru-paru, ginjal dan organ tubuh lainnya masih tetap berfungsi normal. Tak ada demam ataupun batuk pilek berat. Avo memang sudah tidak bisa lagi berjalan dan hanya bisa tidur atau pun duduk di tempat tidur.
Senin, 12 April 2021 tepat pukul 12. 30 Avo Anastasia Lou menghembuskan nafas terakhir di rumah kediamannya di Abat. Avo berpulang ke hadirat yang Maha Kuasa dalam usianya yang ke 93 Tahun.
Avo Anastasia  adalah perempuan hebat dari masa awal 1900-an hingga tahun 2021.  Ia melewati waktu hampir seabat di dunia. Anastasia adalah pendongeng yang baik. Jika berkunjung ke rumah anak-anaknya, avo Lou akan menyempatkan waktu tidur dengan cucu-cucunya dan mendongeng. Apa lagi jika masa liburan mereka datang ke rumah tuanya, Avo akan mengeluarkan segala jenis cerita dongeng yang ia ketahui.
Ia dikenal sebagai perempuan saleh, rajin ke Gereja dan aktif mengikuti kelompok Doa Legio Maria. Sejak ditinggal suami pada tahun 1990, Avo berjuang sebagai menjadi singel fighter. Ia mendamping anak-anaknya, menemani setiap kelahiran cucu-cucunya sampai masih sempat ikut menjaga cece-cecenya setelah proses kelahiran.
Selamat jalan Avo Anastasia Lou, Kartini kami yang tak tergantikan. Doa anak, cucu dan cece menyertaimu. Surga tempatmu. Bahagia selalu selamanya dalam keabadian. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H