Narasi ibu Fransiska sebenarnya mewakili sebagian ketimpangan sosial yang terjadi di NTT. Para Nitizen yang pandai bersilat lidah tersebut sudah berlagak angkuh dan tutup mata persoalan human trafficking di NTT. Peti jenazah TKI yang terus saja dikirm ke NTT bukan merupakan dari narasi-narasi kecil orang-orang tak bernama yang sedang berjuang mendapatkan sesuap nasi.
Para nitizen itu pongah dan tetap memukul dada dari angka kemiskinan di NTT yang tidak pernah selesai diurus oleh pemerintah. Para nitizen itu lupa pada infrastuktur jalan di kampung yang sulit dilewati kendaraan, listrik yang belum seluruhnya masuk ke wilayah NTT, air bersih yang tidak cukup tersedia bagi masyarakat dan pelayanan kesehatan yang belum sepenuhnya  maksimal serta ketimpangan pendidikan karena kesulitan anggaran masuk ke sekolah-sekolah  hingga perguruan tinggi.
Para nitizen tersebut lupa pada angka pengangguran di NTT yang cukup tinggi dan bisa saja mereka bagian dari itu. Kita pongah terhadap narasi-narasi kecil orang-orang tak bernama dan tak ingin hal tersebut diungkapkan ke publik demi tujuan kemenangan pilpres. Di situ kita sombong.
Dan semoga kita yang habis membantai narasi-narasi kecil sekarang ini tidak akan mengeluhkan narasi-narasi kecil kita di kemudian hari.
Salam waras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H