Mohon tunggu...
Robertus Elyakim Lahok Bau
Robertus Elyakim Lahok Bau Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi di Komunitas Secangkir Kopi

Aktif menulis di media masa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres 2019, Mati Surinya Kaum Intelektual

24 Februari 2019   12:41 Diperbarui: 24 Februari 2019   13:34 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang Pemilihan Presiden 2019, opini publik dipenuhi dengan argumen dari kubu 01 dan 02 yang sedang mempertahankan reputasi Capres-Cawapres (CP-CW). Perang opini berseliriwan di media masa terlebih di media sosial. Hampir dipastikan bahwa ketika engkau membuka beranda media sosialmu, status atau postingan dalam bentuk kata-kata, foto, video sedang ditunjukan untuk mempromosikan bahkan menguji CP-CWP kepada publik.

Hari ini, opini publik tak bisa lagi diterima dengan rasa optimis akan kebenaran informasi karena sumber informasi dan pengetahuan yang ditampilkan bisa saja akan dimentahkan satu menit kemudian setelah engkau mengecek lagi. "Buru-buru percaya, jangan sampai masuk ke saluran yang salah", kata temanku mengingatkan.

Dialektika opini publik tidak lagi bersahabat. Hasil kajian ilmiah dalam bentuk survey pun dimanipulasi untuk kepentingan masing-masing kelompok. Dalam situasi "keterpaksaan" publik diharapkan menerima hasil kajian tersebut sebagagai hasil kajian ilmiah yang  bermanfaat. Boleh saja kita membenarkan dengan alasan bahwa barang tentu pada kesempatan yang sama kita menemukan perimbangan informasi  dan data atas hasil kajian ilmiah tersebut tetapi di lain pihak masyarakat diposisikan untuk masuk dalam pilihan membenarkan hasil temuan satu pihak serentak mengeliminasi pilihan lain sedangkan hasil temuan tersebut bisa saja benar.

Belum lagi peran kaum intelektual sebagai corong pewarta kebenaran tak lagi dimainkan dengan maksimal karena posisi kaum intelektual tradisional (konsep Antoni Gramsci Intelektual tradisional adalah intelektual yang belum meluas dan digerakan karena adanya proses produksi. Contoh: dosen, guru, pastor, pendeta, pengacara, dokter, dan pegawai negeri) yang tak lagi independen.

 Kaum intelektual tradisional yang nota bene sebelumnya bergerak di ranah ilmu pengetahuan kini terlibat dalam politik praktis (terlibat dalam partai politik) sehingga tak dapat mengelak pada keberpihakan terhadap posisi mendukung calon yang diusung. Hal ini dengan sendirinya menjadi sumber pertanyaan publik atas keperbihakan kaum intelektual terhadap orisinalitas kebenaran. Pada titik mana pendapat yang dibangun dapat dipercaya sebagai hasil ilmiah tanpa keberpihakan terhadap kepentingan politik?

Sejalan dengan sejarah bangsa indonesia, kaum intelektual adalah salah satu golongan yang berperan penting dalam memperjuangkan dan merebut kemerdekaan Indonesia. Dalam menggagas visi dan misi bangsa ini, tokoh-tokoh seperti Soekarno dan Bung Hatta memberikan andil yang sangat besar. Mereka adalah tokoh intelektual bangsa ini yang sangat berperan dalam membangun kesadaran masyarakat akan nilai suatu kemerdekaan. Kaum intelektual adalah kaum penggagas kesadaran kritis suatu bangsa dan memcinptakan suatu pencerahan dalam merebut kemerdekaan yang adil dan beradab.

Realitas di atas dapat dibenarkan kalau kaum intelektual tak mampu lagi menunjukan taringnya. Mereka mengkhianati eksistensi mereka sebagai tokoh pencerah yang membawa jalan kebenaran dan keadilan. Bukan alasan bahwa kaum intelektual adalah manusia yang dalam situasi tak berbeda dengan politisi, tetapi mereka mengkhianati hakekat keintelektualan yang ada. Benar bahwa kaum intelektual bukan malaikat atau dewa tetapi mereka adalah tokoh pencerahan yang bisa diandaikan sebagai "malaikat" dalam membangun kesadaran kritis masyaakat.

Walaupun demikian pengkhianatan intelektual tak dapat dielak.  Ada tanda-tanda dari pengkhianatan kaum intelektual. Ada kaum intelektual dalam kurun waktu tertentu konsisten mengkritik strategi pemberantasan korupsi yang dicanangkan oleh pemerintah, tetapi pada kurun waktu tertentu diajak bergabung dalam gerbong dan sama-sama menikmati kekuasaan yang dulu dikritik, lalu diam. ada juga kaum intelektual yang terang-terangan membelot dari paham keadilan dan kebenaran demi kekuasaan dan harta.

Karena itu, realitas pengkianatan di atas harus disikapi oleh kaum intelektual sendiri. Kaum intelektual sebagai satu golongan intelektual dalam masyarakat harus bisa menjaga keseimbangan pertimbangan akan kebenaran dan keadilan. Bisa saja kelompok kecil kaum intelektual yang berkhianat. Numun  bagi mereka yang masih berpegang pada eksistensi dan esensi diri  harus tetap mengeritik mereka yang telah keluar jalur. Sikap tanggung jawab ini penting untuk menjaga keberadaan dan kelanggengan kaum intelektual dalam masyarakat. Sikap kritis ini adalah juga suatu bentuk tanggung jawab terhadap negara dan bangsa.

Kaum intelektual adalah salah satu elemen masyarakat yang patut bertanggung jawab terhadap situasi ini. Bagi mereka yang pesimis mungkin akan mencibir peran kaum intelektual yang lagi compang-camping, namun hal ini bukan menjadi alasan bagi kaum intelektual menghindar dari tanggung jawab normatif ini. keterlibatan intelektual dalam mendorong perubahan sosial dan politik di Indonesia adalah tanggung jawab asasi.

Tanggung jawab asasi bukan dinyatakan dengan mencuci tangan seperti Pilatus dalam sejarah pengadilan Yesus di Yerusalem. Kaum intelektual harus bisa terlibat pada realitas konkret bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun