Siti dan Ibunya, harapan utama mereka hanya dari hasil pertanian yang seadanya di lahan yang juga seadanya. Ini karena mereka tidak memiliki banyak lahan atau tanah sepeninggal ayahnya. Tanah satu-satunya peninggalan dari ayahnya telah dirampass oleh rentenir sebagai bayar hutang ayahnya, itu-pun belum bisa melunasi hutang tersebut. Kini mereka hanya memiliki tanah atau lahan yang menjadi rumah mereka dan sedikit lahan yang dikasih oleh penduduk setempat yang merasa iba dan kasihan terhadap mereka. Lahan itulah yang mereka manfaatkan untuk bertanam sayur-mayur dan buah-buahan. Lahan tersebut-pun hampir diambil oleh rentenir, namun karena lahan tersebut bukan meilik mereka sepenuhnya, maka hal tersebut tidak terjadi.
Bagi mereka hasil dari pertanian yang sedikit tersebut sudah mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Yang terpenting bagi mereka adalah bersyukur dengan pemberian dari Yang Maha Kuasa, itulah hal yang paling utama. Dan yang lebih penting dari itu semua adalah diberikan kesehatan dan kekuatan oleh-Nya. Karena tanpa itu semua, sehebat apapun manusia di dunia ini tidak ada apa-apanya. Apalagi jika Tuhan telah berkehendak sesuatu, tidak ada yang bisa menghindar dan tidak ada yang dapat mengahalanginya. Hanya satu yang menjadi beban pikiran, yakni harus melunasi hutang-hutang tersebut.
Selain itu, saat musin kemarau atau dalam bahasa sehari-hari penduduk setempat musim kering tiba, menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka berdua. Mengapa tidak, musim ini menjadi salah satu mata pencaharian tambahan bagi mereka berdua. Musim tersebut saatnya bagi mereka untuk mencari ikan dan udang ke sungai. Ini tidak hanya bagi mereka berdua saja, semua penduduk di perkampungan juga ikut mencari ikan dan udang bila musin tersebut tiba. Tetapi ini bukanlah cerita atau kisah tentang penduduk lain, melainkan cerita atau kisah Siti dan ibunya, yang berharap lebih dalam momen tersebut.
Â
Kebetulan saat ini adalah musim kemarau yang panjang. Banyak penduduk kampung pergi ke sungai untuk mencari ikan dan udang. Semua sungai yang ada di kampung tersebut sangat menjanjikan bagi para penduduk setempat untuk memperoleh udang dan ikan. Akan tetapi di antara sekian banyak sungai dan anak sungai yang ada di perkampungan tersebut, ada satu anak sungai 'terlarang' yang tidak dibolehkan untuk didatangi dan menangkap ikan dan udang di sana, kecuali hanya bagi orang dewasa dan tidak sendirian. Anak sungai tersebut menjadi terlarang karena di sana sangat banyak sekali buaya.Â
Di antara buaya-buaya tersebut tidak diketahui secara pasti apakah tergolong jenis buaya yang ganas ataukah tidak. Hanya saja menurut cerita orangtua terdahulu bahwa anak sungai tersebut dahulu menjadi tempat yang sangat ditakuti oleh penduduk, karena dahulu pernah terjadi peristiwa yang sangat tragis, yakni seorang lelaki paruh baya yang babak belur compang camping karena diterkam buaya dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Siti dan ibunya juga tak ketinggalan ikut pergi ke sungai. Suasana di sungai jadi ramai oleh suara obrolan para penduduk yang sedang menangkap ikan dan udang. Serasa seperti berada di pasar pagi, yang ramainya hanya di waktu-waktu tertentu saja. Demikian juga dengan musim menangguk ini, ramainya hanya seketika dan kemudian berpindah-pindah menyusuri aliran anak sungai. Sesekali dengan canda dan tawa, senda dan gurau meriuhkan suasana menangguk. Tidak terkecuali Siti dan ibunya juga.
Alat yang digunakan untuk menangkap (menangguk) ikan atau udang masih tradisional. Penduduk biasa menyebutnya dengan nama "tanggok ". Terbuat dari anyaman bambu atau wei  yang sudah dibelah kecil dan memanjang. Kemudian belahan bambu atau wei tersebut dianyam dalam bingkai yang telah dibentuk persegi panjang. Setelah anyaman selesai, agar tanggok tersebut menjadi kuat dan kokoh maka harus dijemur terlebih dahulu. Jika tidak dijemur, tanggok tersebut sangat mudah sekali roboh, karena selalu terkena air yang terus-menerus.
Di sungai dengan suasana yang sejuk dan ramai suara obrolan para penduduk, ditambah kicauan burung dan suara serangga sungai, Siti dan ibunya juga asik menanggok (menangkap) ikan dan udang. Para penduduk yang lain juga tengah asiknya menangkap ikan dan udang. Di tengah keasikan tersebut, Siti dan ibunya memisahkan diri dari keramaian para penduduk lainnya. Mereka memilih tempat lain yang masih dekat dengan anak sungai tadi, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih banyak. Dalam benak mereka jika hanya berdua yang menangkap di tempat lain, maka akan lebih banyak jumlah tangkapannya. Sembari tersenyum kecil. Kemudian hasil dari tangkapan tersebut jika dijual dapat mencicil hutang mereka kepada rentenir.
Matahari hampir tepat di atas kepala. Menandakan hari sudah dipertengahan siang. Waktu untuk istirahat dan makan sudah tiba. Secara hukum adat (tidak tertulis), ketika siang hari (tengah hari atau biasa diasumsikan dengan pukul 12 siang) segala aktivitas apapun harus dihentikan, di mana-pun dan kapanpun. Ini tidak ada pengecualian, berlaku kepada semua penduduk di kampung teersebut. Ibu Siti kemudian memanggil anaknya untuk istirahat, untuk mematuhi hukum adat tersebut.
Ibu Siti : "Nak, kita singgah dan maken dulok yoh!"
(Nak, kita istirahat dan makan dulu yuk!)
Siti : "Dilak mo mak a, ko yik agik nek nanggok, agik tengah seru seru temen mo".
(Nanti saja bu, saya masih mau menangguk  (menangkap) ikan dan udang, masih lagi seru-serunya ini)
Ibu Siti : "Yoh lah nak, dak usah bala-hen, dilak sudah maken agik dapet kita neros a agik".
(Ayolah nak, tidak usah bantah, nanti selesai makan masih bisa kita lanjutkan lagi)
Siti:" Dak apan dak i mak istirahat dan maken dulok, ko dilak pandei nyusol mak gek kiyun".
(Tidak masalah ibu istirahat dan makan duluan, saya nanti bisa menyusul ibu ke sana). Sambil menanggkap ikan dan udang, Siti sesekali memakan udang yang ditangkapnya, satu persatu dia terus mengunyah udang di mulunya. Baginya makan udang yang baru ditangkap tersebut sangat seru dan rasanya sangat manis serta enak. Kebiasaan memakan udang yang baru ditangkap sambil menangguk ini, bukan hanya dilakukan oleh Siti saja, tetapi rata-rata penduduk lainnya juga melakukan hal sama.
Kemudian ibu Siti menanggil Siti kembali dengan suara yang sedikit lebih keras dibandingkan sebelumnya. Itu ia lakukan takut-takut dengan panggilan yang tadi anaknya tidak begitu kedengaran dengan suaranya.
Ibu Siti : "Siti..... Oooo nak.... Panggil ibunya. Lanjutnya, dak bayek dak i nak a, tengah-tengah arei namai pak a sikok dirik di aek. Apa agik kau yuk urang betinak".
(Siti..... Ooooo nak. Tidak baik nak, di siang bolong seperti ini sendirian di air, apalagi kamu itu anak perempuan)
Siti : "Tunggu dulok mo mak a suat agik, dak lama agik dak i a ko gek kiyun lah. Pukok e mak yuk teneng-teneng lah, mak maken lah dulok".
(Tunggu saja sebentar lagi bu, tidak lama lagi saya akan ke sana, pokonya ibu tenang-tenang saja, ibu makan aja dahulu)
Ibu Siti : "Ngapa nyek ge kau ik umbang balahen temen, umbang dak peti nenger kalei kata urang tua ik. Nyek ge men umbang balah-balahen gek urang tua yuk dan nye bayek mo. Dilak kau ketulahen mo a ge. Cube nenger-nenger lah sikit. Anek mak ik panggak sikok kau lah, jadi dak usah panggak gek nyusah urang tua ik lah gawi a. Cube mateh-mateh lah mereh urang tua ik, amek seneng atei mak ik".
(Kenapa kamu ini sepertinya bantah sekali, seperti tidak mendengar kata-kata orangtua. Jika selalu membantah orangtua itu tidak baik. Nanti kamu kualat sama orangtua. Coba jadilah anak yang penurut. Anak ibu hanya seorang kamu saja, jaddi jangan hanya jadi anak yang menyusahkan orangtua saja kerjaannya. Coba patuhlah pada orangtua, supaya senang hati ibu ini.)
Ibunya mengelus dada, sedikit kecemasan mulai berbisik-bisik di hatinya. Ibu Siti terus makan dan istirahat seraya mencoba menenangkan hatinya dari kecemasan yang mulai menghantui. Firasat dan prasangka yang tidak-tidak mulai membenak pikirannya. Siti yang dipanggil tak kunjung juga tiba. Hati semakin merasa tidak enak. Entah apa yang membuat ibunya semakin khawatir, seperti ada bisikan-bisikan yang tidak jelas mengusik telinganya. Kemudian ibu Siti kembali memanggilnya anaknya, seraya memastikan akan anaknya.
Ibu Siti : "Siti uuuuuuuu Siti....... mename lebem lah nyek a ge kau ik tei. Disapa-sapa i dak nenger kalei, macem urang dak bebilong agik. Nyek men kata urang tua dulok dak nye bayek men balahen mereh orang tua. Sudah ge men tengah arei bute namai pak kata urang tua dulok dak nye bayek la, dilak kepon selagik a lah. Sudah ge dak usah jaoh-jaoh igak bejalen seikok-ikok diri yuk. Ik kau umbang maken jaoh dari mak ik. Dilak kau tetamak gek aek nok dalem, dilak kau kelembes."
(Siti uuuuuuuu  Siti..... kamu ini memang sudah keterlaluan. Dipanggil-panggil tidak mendengar sama sekali, seperti orang tidak bertelinga. Kata orangtua dahulu tidak baik membantah kepada orangtua. Apalagi kalu siang bolong seperti ini kata orangtua dahulu juga tidak baik, nanti bisa kepunan . Sudah itu tidak usah jauh-jauh berjalan sendirian. Ini kamu sepertinya semakin menjauh dari Ibu. Nanti kamu terinjak dengan air yang dalam, nanti kamu tidak bisa bernafas karena tenggelam)
Siti : "Aok mak age, ko dak nye jaoh-joah dak i a, panggak napek-napek diyei lah."
(Iya bu, sayaa tidak akan jauh-jauh, hanya dekat-dekat sini sajalah)
Dengan suara yang antara kedengar dan tidak, yang bercampur dengan suara arus sungai. Sayup-sayup suara Siti masih sampai ke telinga ibunya. Tetapi yang namanya orangtua sangat khawatir dengan anaknya. Apalagi anak satu-satunya yang sekaligus sebagai teman hidupnya. Selain itu, orangtua zaman dahulu sangat tunduk dan patuh dengan petuah dan adat dari orang-orang terdahulu, meskipun tidak tertulis.
Siti : "Ko agik napek yik lah mo mak a, mak dak usah peneng-peneng dak i a, istirahat lah mo mak yuk, ko lum rengak maken lum i a, dilak asak ko la laper ko pandei lah maken".
(Saya masih di sekitar sinilah bu, ibu tidak usah pusing-pusing (khawatir), istirahatlah ibu itu, saya belum mau makan, nanti kalau sudah lapar saya bisa makan sendiri) Jawab Siti yang suaranya sudah samar-samar terdengar oleh ibunya.
Suara Siti perlahan semakin tidak terdengar nyaring lagi. Samar-samar-pun mulai tidak terdengar lagi. Kecemasan dan kekhawatiran ibunya telah memuncak. Rasa tidak terbendung lagi, sudah di ubun-ubun. Namanya saja orangtua, orangtua mana yang tidak khawatir. Ketakutan-ketakutan akan perkataan (petuah) orangtua terdahulu semakin menghantui, takut terjadi sesuatu terhadap anaknya.
Di sisi lain, Siti masih terus mengkap  ikan dan udang. Ia juga masih terus memakan udang satu persatu. Tak pernah ada dalam benaknya untuk istirahat, apalagi makan. Rasa laparnya telah terganti dengan memakan udang tersebut. Namanya juga masih anak-anak, tidak pernah berpikir akan kekhawatiran orangtuanya. Ia juga tidak pernah berpikir panjang dengan apa-apa atau hal-hal yang dikhawatirkan ibunya. Baginya kesenangan adalah segala-galanya.
Udang dan ikan yang ada di anak sungai yang disusuri oleh Siti semakin banyak. Ia merasa gembira dan riang sekali, karena ia bakalan banyak dapat udang dan ikannya. Sampai-sampai ia membayangkan jika begitu banyaknya ia mendapat udang dan ikan, maka mereka akan banyak mendapatkan uang. Dan tentunya uang tersebut dapat membantu mereka membayar hutang-hutang kepada rentenir. Dalam benaknya, seandainya hutang mereka telah lunas pastinya ia tidak akan menjadi istri dari rentenir tersebut.
Siti : "Udang dan ikan a maken bine mo mak a, dilak men singgah dak dapet agik. Dilak men la dak bine agik kita dak dapet mayer utang kita mo a."
(Udang dan ikannya semakin banyak ibu, nanti kalau berhenti tidak dapat lagi. Nanti kalau tidak banyak kita dapat udang dan ikannya, maka kita tidak bisa membayar hutang) Â
Kecemasan ibunya semakin manjadi-jadi. Rasa khawatirnya bertambah memuncak. Panik-pun menumpuk menjadi isi di kepalnya. Entah apa yang ada diotaknya, serasa seperti air yang sedang mendidik. Apalagi sayup-sayup suara Siti yang menyebutkan udang dan ikannya yang semakin banyak. Ibunya khawatir kalau-kalau anaknya Siti menuju ke arah sungai terlarang tersebut. Ia pun tahu, jika udang dan ikan semakin banyak merupakan pertanda tidak baik. Karena biasanya udang dan ikan yang banyak tersebut bermain disekitaran dekat buaya. Dan jangan-jangan Siti telah berbelok ke arah anak sungai yang dikhawatirkan dan ditakutkan olehnya. Untuk meyakinkan dirinya, kembali ia memanggil anaknya.
Ibu Siti : "Nak......... cepetlah kemai, istirahatlah gek kemai, maken dulok, dilak kau kepon".
(Nak...... cepatlah ke sini, istirahatlah kemari, makan dulu, nanti kamu kepunan)
Siti: ........ Â tidak ada jawaban
Ibu Siti sudah di puncak kecemasan. Tidak ada jawaban dari Siti untuk panggilannya. Ia-pun bergegas mengemas barang-barangnya. Bersegera menyusul Siti yang tak kunjung menjawab panggilannya. Dengan penuh berbagai rasa, cemas, gelisah, khawatir terjadi sesuatu, semua telah menjadi satu. Tanpa pikir panjang, ia bersegera menyusuri aliran anak sungai. Tak perduli dengan barang-barang yang tidak sempat lagi dikemasnya, apakah sudah dibawa semua atau tidak. Yang terpenting baginya segera bertemu dengan anaknya Siti, sambil sesekali ia memanggil-manggilnya
Ibu Siti : "Siti uuuu..... Siti, mane nyek ge kau ik tei, disapai-sapai dak nyaot kalei".
(Siti uuuu.... Siti, di mana kamu ini, dipanggil-panggil tidak menyahut sama sekali)
Siti: ........ Â tetap tidak ada jawaban
Ibunya masih terus memanggil-manggil nama Siti sambil terus menyusuri aliran anak sungai tadi. Tak henti-hentinya ia memanggil nama Siti.
Ibu Siti : "Nak......... oooooo..... nak, Â oooo..... Siti..., oooo..... Siti. Sahot ti lah be.... mak ik tei. Kau dak ade agik bunyi suara e".
(Nak...... oooooo....... nak, oooo.... Siti..., oooo.... Siti. Menyahutlah kamu nak.... panggilan ibu mu ini)
Siti tetap tidak ada jawaban apapun. Setelah beberapa meter ia menyusuri anak sungai, perasaannya semakin tak menentu. Helai demi helai rambut hitam terurai di aliran anak sungai tersebut. Tetapi ia masih meyakinkan dirinya, menenangkan hatinya, ini hanyalah rumbai-rumbai pohon kabong  yang hanyut di anak sungai ini. Keyakinan itu sebenarnya hanya sebagai penghibur saja. Padahal dalam hatinya sudah tidak karuan. Seperti ombak yang besar yang menghempas batu, suaranya besar diiringi dengan percikan buih ombak. Ia juga sebenarnya sudah bisa menebak apa yang telah terjadi terhadap anaknya Siti.
Hatinya semakin berkecambuk tatkala melihat sarau  dan tangguk Siti terapung di pinggir anak sungai. Dan itu semakin menjadi setelah ia menemukan potongan baju yang dikenakan oleh Siti sudah tidak utuh lagi. Rasa bagai nano-nano, berjuta rasa, rasa yang tidak mengenakkan, yang tidak mampu untuk digambarkan lagi. Ubun-ubun ibu Siti seakan tak bisa dikendalikan, seolah akan meledak bagaikan bom atom saat menghancurkan Hirosima. Luluh lantahlah semua yang ada, hancur ancur tiada terkira.
Kecemasan ibu Siti bertambah jadi puncaknya, ketika ia melihat linangan warna merah di anak sungai dan celana yang dikenakan oleh Siti terapung dengan kondisi robek compang camping. Tubuh ibu Siti terkulai lemas dan terjatuh di anak sungai. Tubuhnya gemetar tak bisa berkata apa-apa, tak mampu menjerit, dan tak kuat berbuat apa-apa lagi. Hanya pasrah dan menerima nasiblah yang bisa ia lakukan. Benar apa yang telah ia duga sebelumnya, Siti memang benar-benar telah berada di anak sungai yang terlarang tersebut.
Anak satu-satunya yang ia miliki kini telah tiada. Anak yang menjadi teman hidupnya telah meinggalkan ia untuk selama-lamanya. Ia serasa tak mau lagi untuk bangkit, jangankan untuk pulang kembali ke rumah, menegakkan tubuh untuk berdiri-pun seakan tak sanggup lagi. Semua terasa seperti lunglai dan kaku. Bergerak tetapi tidak dapat digerakkan. Tubunya yang kurus seperti tidak berdaya lagi.
Nasi telah menjadi bubur. Penyesalan tiada lagi berguna. Terlalu memberikan kepercayaan terhadap anak yang ia berikan, ternyata telah menjadi malapetaka. Terkadang kita harus mengawasi dan mengayomi anak kita, jangan hanya bermaksud untuk mengajarkan kemandirian kepada anak, tetapi lupa untuk mengontrol dan mengawasinya. Karena penyesalan tidak pernah berada diawal, ia selalu diakhir. Dilain sisi, ibu Siti merasa senang karena akhirnya anaknya Siti tidak jadi dinikahi oleh rentenir tua. Meskipun ia masih tetap harus melunasi hutang-hutang tersebut. Tetap di sisi lain, ia kini tidak ada teman yang selalu menemaninya di waktu senang ataupun di waktu susah. Tidak ada lagi tempat ia bercerita dan berbagi kata. Kini ia tinggal seorang diri.
Siti, si anak yang malang, karena tidak mendengarkan kata-kata orangtuanya. Ia diterkam dan ditelan oleh buaya sungai. Meskipun waktu itu siti telah berusaha memberontak, tetapi apalah daya, tenaga buaya lebih besar dan kuat daripada tenaga Siti. Jeritan dan teriakan yang dikeluarkan oleh Siti tidak pernah terdengar oleh Ibunya, karena jeritan dan teriakan yang ia keluarkan berada di dalam air sungai. Sehingga tidak ada suara yang keluar, meskipun ia telah berusaha dengan sepenuh tenaga dan kekuatan mengeluarkan suara tersebut. Ronta dan tangisan kala itu tidak memberikan rasa iba dari sang buaya. Buaya yang tidak diketahui, yang secara tiba-tiba muncul dan lansung menerkam Siti dari arah sampingnya. Sungguh hal yang tidak terduga, siaga dan spontanitas-pun tidak dapat lagi beraksi, tidak dapat lagi memberi respon yang cepat dan tanggap. Sekalipun orang yang jago silat, tidak akan mampu menghindar dari kecepatan buaya tersebut.
Konon katanya, menurut orang-orang tua dahulu, jika ada orang yang diterkam dan ditelan oleh buaya tanpa meninggalkan bekas atau tanda sedikitpun, kecuali beberapa helai rambut saja (sebagai pertanda), maka orang yang diterkam dan ditelan buaya tersebut masih hidup. Entah ia dijadikan istri si buaya tersebut dalam alam kehidupannya, atau bisa jadi ia menjadi pembantu atau pesuruh yang harus melayani buaya tersebut. Cerita ini bisa jadi dalam kerajaan buaya, orang yang dimakan oleh buaya tersebut jika ia perempuan maka akan menjadi istri atau permaisuri baginya. Namun jika ia laki-laki (yang ditelan), maka akan dijadikan budak atau pesuruh, penjaga, pengawal, tentara perang, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, jika orang yang diterkam dan dimakan buaya meninggalkan bekas atau tanda; seperti baju yang robek compang camping, uraian rambut, warna merah darah, dan lain sebagainya, maka buaya yang menerkam dan memakan orang tersebut adalah buaya jadi-jadian atau biasa disebut dengan buaya siluman. Dalam cerita nyatapun, buaya yang sebenarnya tidak akan mengganggu manusia, kecuali ia terancam atau kalap (salah sangka/salah lihat). Tanpa hal demikian buaya yang sebenarnya tidak akan menerkam dan menelan manusia.
Sejak saat itu, Ibu Siti tak pernah lagi mau pergi menangguk bila musim kemarau tiba. Peristiwa tersebut meninggalkan sedih yang tak pernah hilang sepanjang hidupnya. Bila mendengar kata sungai dan tangguk, wajahnya lansung ekspressinya berubah menjadi pucat dan tubuhnya menjadi lemah lunglai. Dari peristiwa inilah masyarakat setempat akhirnya menyebut anak sungai tersebut dengan nama 'lubok Siti'.
Pelajaran yang dapat diambil dari kisah tersebut adalah sebaik apapun seorang anak, ia harus menurut kepada orangtua. Jangan mengambil keputusan sendiri. Bila waktunya untuk istirahat gunakanlah dengan sebaiknya. Jika waktunya makan maka penuhilah kebutuhan tubuh kita. Jangan biarkan ia kosong dan dipaksakan untuk kosong. Ketika makan jangan sambil melakukan aktivitas atau pekerjaan. Duduk dan nikmatilah pemberian dari Yang Maha Kuasa. Karena segala sesuatu pasti ada nilai dan balasannya.
Sebagai orangtua, jangan terlalu yakin dengan kepercayaan yang telah diberikan kepada anak. Karena tidak semua anak dapat menjalankan kepercayaan yang iberikan dengan sepenuhnya. Bagaimana-pun juga yang namanya anak, tingkat pemikirannya tidak sama dengan orang yang telah dewasa. Orangtua harus tetap memberikan kontrol dan pengawasan kepada anaknya. Meskipun anak tersebut adalah anak yang baik dan penurut kepada orangtua. Kita tahu bahwa tidak adda manusia yang sempurna. Kesempurnaan itu hanya milik Yang Maha Sempurna, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
By: Suryan