Mohon tunggu...
Rachmat Solikhin
Rachmat Solikhin Mohon Tunggu... -

pecandu syair,,,,

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nyanyian di Gerbang Fajar

26 Juni 2010   15:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:16 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Fajar kelabu. Suara gaduh hujan diatas daun pisang memaksa Mariyah terbangun dari tidur lelapnya. Masih dalam kantuk , mata Mariyah tertuju pada jam yang terpajang di dinding kamarnya yang terbuat dari anyaman bambu. Jam dinding tua itu mengingatkan Mariyah agar ia segera sholat subuh. Mariyah mendapati suaminya masih terlelap, perlahan ia menepuk- nepuk punggung suaminya yang tidur dengan posisi tengkurap. Selirih mungkin Mariyah membangunkan suaminya. Masih dengan menepuk- nepuk punggungdengan pelan-pelan agar si kecil Saleh tidak lekas terbangun dari tidurnya.

Beberapa hari ini hujan selalu turun di ambang fajar, setelah beberapa bulan sebelumnya terjadi kemarau panjangyang melanda desa ini. Sebelumnya desa ini tidak pernah kekeringan meskipun memasukimusim kemarau , Karena desa ini memiliki mata air yang tidak pernah surutairnya meskipun musim kemarau tiba, sebelum akhiryamata air yang menjadi sumber kehidupan warga di desa inidi jual oleh Pemerintah Daerah setempat kepada investorasing setelah di sahkannya UU SDA oleh wakil- wakil mereka yang ternyata menghianati mereka , yang selanjutnyadi jadikan pabrik air minum dalam kemasan ,yang saat ini menjadi merekpaling terkenaldi Negaradimana Mariyah tinggal. Eksploitasi yang semakin menjadi –jadimembuatladang- ladang, sawah- sawah dan sumur –sumur di daerah ini menjadi kekeringan di musim kemarau. Roda kehidupan di daerah ini seakan menjadi terhenti. Sebuah ironi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya , kerongkongan mereka kering sedang mata air melimpah ruah di depan lubang mulut mereka.

“ Kang Sarno , bangun Kang sudah subuh “ Kata mariyah lirih. Sarno tidak lekas bangun .Mariyah tak peduli. Mariyah mengambil airwudlu . Mariyah menggelar sajadah subuh seorang diri.

Pagi mualai memutih. Sarno masih tengkurap .Si kecil Saleh yang baru berumur sebelas bulan menatap langit – langit dengan sesekali tertawa kecil , seolah sedang di candai “sesatu” . Ya “sesuatu”. Mariyah Sang ibu sibuk menimba air dari sumur di samping depan rumahya, satu- satunya sumur di desanya yang masih deras mata airnya meski kemarau melanda,sehingga tak jarang warga di desanya berduyun –duyun untuk meminta air dari sumurnya saat kekeringan. Sumur tua. Biasanya Sarno membantunya , tapi tidak untuk pagi ini . Hingga Mariyah selesai memasak air kemudian mengisi termos, Sarno masih dalam posisi tengkurap . Dihampirinya Suaminaya itu dengan rasa heran memenuhi benaknya . Tidak biasanya Sarno bermalas- malasan , malah biasanyaSarno yangmembangunkan Mariyah ketika fajar.

Semalam memang Sarno ikut ronda malam , tapi itu biasa dan tidak membuat Sarno telat bangun di waktu fajar. Sarno dan warga sudah hampir tiga minggu berjaga menyusulmerebaknya isu tentang ninja pembunuh. Seperti tidak ada lagi ketenangan hidup untuk orang kecil. Sebelumnya ada ulama di desanya yang hampir – hampir menjadi korban dari ninja pembunuh ini, namun akhirnya dapat digagalkan oleh Sarno dan warga lainnya walaupun mereka tidak berhasil menangkap pelakunya. Awalnya hanya berupa teror,lewat surat kaleng dan sms gelap hingga akhinya rencana pembunuhan itu benar –benardilaksanakan. Malam itu Sarno dan warga lainnya sedang berjaga di pos ronda dan ada beberapa yangmelakukan patrolikeliling. Tiba-tiba terdengarjeritan minta tolongdari arah rumah Pak Mahmud , kemudian Sarno dan warga lainya segera menghamburke rumah Pak Mahmud , untung mereka datang tepat waktu, sehingga usaha pembnuhan ituberhasil di gagalkan, waktu itu Sarno melihat ninja pembunuh itu melarikan diri meloncat seperti setengah terbanglewat jendelakamar Pak Mahmud.

“Kang. Kang Sarno .Bangun Kang.” Kata Mariyah membangunkan Sarno, masih dengan menepuk –nepuk punggungdan sesekali menggoyang-goyangkan punggung Sarno. Mariyah mencoba meraba leher Sarno .Tangan perempuan desa itu merasakan panas yang menjalar dari leher Sarno.Tangan Mariyah yang dingin berhasil membuat lelaki paruh baya itu sedikit bereaksi. Sarno mambalikkan tubuhnya.

“Iya Dik”. Jawabnya singkat. Mata Sarno masih terkatup rapat layaknya katup Kantung Semar yang sedang menyandra mangsa.Perlahan Mariyah menempelkan pungung tangannya ke dahi Sarno . Mariyah merasakan panas bara dalam tubuh suaminya itu. Mariyah tak dapat menyembunyikan kecemasannya.Mariyah berusaha tetap tenang. Tanpa banyak kata mariyah melesat keluar kamar . Mengambil air dan kain untuk mendinginkan bara yang ada dalam tubuh Sarno. Panas tubuh Sarno menurun . Wanita berputra satu itu sedikit tenang.

Sebenarnya menikah dengan Sarno bukanlah pilihan Mariyah , namun lebih pada kemauan orang tua Mariyah. Ikatan persaudaraan yang kuat antara orang tua Mariyah dan Sarno menjadi alasan terkuat mengapa mereka berdua harus menikah. Untuk mempertahankan tradisi. Sebelumnya Mariyah telah dekat dengan Parman , pemuda di desannya yang mampu memberi warna dalam hidupnya, dan memberikan harapan bahwa ia akan hidup bersama pemuda yang di cintainya. Tapi ternyata cinta klasik tak mampu menembus tembok tradisi yang kokoh. Untuk tingkatan orang desa seperti Mariyah dan Sarno mereka pikir cinta akan tumbuh, menguncup dan mekar seiring berjalannya waktu setelah janur kuning melengkung. Mungkin benar. Mungkin salah.

“Kang , hari ini sebaiknya aku yang cari rumput untuk kambing. Kang Sarno istirahat saja dulu. Saleh , ya Kang.” Kata Mariyah sambil membetulkan selimut suaminya.

“Iya Dik.” Jawab Sarno singkat.

Mariyah mengecup pipi kiri anaknya. Mariyah beranjak keluar kamar. Di depan pintu kamarnya ia menoleh ke arah Sarno dan bayi mungilnya. Sarno tak bereaksi . Si kecil Saleh bercanda dengan sesuatu.

Mariyah keluar rumah dengan pakaian ala wanita desa, mengalungkan selendang di sekitar lehernya dan menjinjing tapih yang melilit dengan tangan kirinya. Sementara tangan kananmya memegang sabit erat- erat . Gerimis dan mendung yang berkolaborasi tak menyurutkanniatnya untuk tetap merumput. Karena Sarno sedang terkapar lemah , mau tidak mau Mariyahlah yang harus merumput hari ini. Lalu siapa lagi ?

Mariyah memandang sekeliling sunyi senyap yang ada. Titik- titik air hujan seperti sedang berlompatan mengiringilangkahnya dari satu daun ke daun yang lainnya. Barisan pohon albasia menemani dengan keangkuhan dan kebisuan di sepanjang perjalanan .Burung burungpun enggan berceloteh. Hanya ada satu burung yang tetap berdendang ,itupun dengan suara sendu dan nada pilunya.Burung Gagak.

Ada semacam kegundahan yang tidak henti- hentinya menghinggapi perasaan Mariyah. Tapi entah apa Ia pun tak tahu pasti. Mariyah hanya bisa melafalkan berulang – ulang kalimat sayyidul istighfar - yang pernah ia dapat dari guru ngaji di desanya – untuk menetralisir kegundahannya.

Mariyah. Mariyah. Mariyah… . Mungkin itu tafsir dari nyanyian pilu burung Gagak.Entahla

Bersambung..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun