Mohon tunggu...
ELPIDA YANTI
ELPIDA YANTI Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah salah satu cara mengungkapkan isi hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menunggu Panen Buah Naga

19 Februari 2023   22:51 Diperbarui: 19 Februari 2023   23:13 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pen membuka pintu. Mulai terang. Pen melihat jam usang yang masih berdetak pasti di dinding rumahnya. Baru jam lima lewat tiga puluh menit. Pantasan mulai terang. Perlahan dan pasti Pen bisa melihat sekitarnya dengan jelas. Pen merasakan sejuknya udara pagi ini. Pen belum mau beranjak untuk mandi. Sebentar lagi, bisik hatinya.

Tiba-tiba mata Pen membulat. Segera Pen beranjak dari tempatnya berdiri dan menghampiri rumpun tanaman naga di halaman rumah. Matanya tertuju pada salah satu belalai pohon naga yang mulai rimbun. Senyum mengembang di bibirnya dengan sempurna. Seakan tak percaya, Pen melihat ada bakal bunga di sana. Masih kecil memang, tetapi Pen berangan bunga naga itu segera berbuah dan dia akan memanen segera.

"Wah..., cantiknya. Aku tak sabar melihat kembangmu dan berubah menjadi buah. Alangkah manis rasa buahmu nanti," ujar Pen kepada pohon naga. Tentu saja tak ada jawaban, Pen tahu itu. Pen seakan terbuai pada khayalnya sendiri. Buah naga pertama setelah hampir setahun lalu dia menanamnya.

"Pen, ayo mandi. Sudah siang," teriak ibu dari dalam.

"Iya, Bu." Pen segera masuk ke dalam. Menghampiri Ibu yang sibuk di dapur dan berujar "Bu, pohon nagaku berbunga bu, udah ada bakal bunganya. Kebayang deh manisnya nanti kalau buahnya udah matang." 

Ibu hanya tersenyum memandang ke arah Pen. Tanpa menunggu jawaban ibu, Pen masuk ke kamar mandi dan mulai terdengar semburan air. Tak lupa, Pen bernyanyi seperti biasa. Katanya agar airnya tak terasa dingin diguyurkan ke badan. Hanya dalam waktu singkat Pen menyelesaikan ritual mandi pagi dan bersiap untuk memakai seragam.

"Ayo, Pen. Sarapan dulu. nanti telat," terdengar panggilan ibu seperti biasanya. 

"Iya, Bu. Sebentar lagi," sahut Pen dari kamar. 

Bapak juga sudah bergabung di meja makan dan mulai sarapan, karena Bapak akan berangkat kerja. Akhirnya Pen keluar juga. Mengambil posisi duduk dan menyendok nasi ke piringnya. 

"Pak, pohon nagaku berbunga, Pak. Tak sabar rasanya menunggu buahnya matang, Pak. Pasti manis rasanya. Kira-kira buahnya daging buahnya berwarna merah, putih, atau kuning ya, Pak?" Pen antusias sekali menerangkan kepada bapak.

"Ya, kita lihat saja nanti, Pen. Masih butuh waktu beberapa lama, agar kamu bisa icip rasanya," jawab bapak. 

"Lama juga ya, Pak. Gak sabar aku mau mencobanya." Mata Pen berbinar.

"Kamu coba cari di google, bagaimana perawatannya, dan berapa lama kamu menunggu matangnya."

"Iya, Pak. Nanti akan ku cari sepulang sekolah." 

Pagi ini hati Pen berbunga-bunga karena bakal bunga di pohon naganya. Dengan gembira Pen bilang pada teman-temannya. Seakan bunga naganya banyak sekali. Padahal baru satu yang muncul. Tetapi begitulah kebahagiaan yang Pen rasakan. Kebahagiaan anak-anak yang masih polos. Tanpa beban. 

Sepulang dari sekolah, Pen segera mengambil ponselnya. Padahal baju seragam belum dia buka. Pen mulai mencari bagaimana perawatan tanaman naga agar buahnya bagus dan manis. Dan Pen baru mengetahui bahwa bunga naga harus dibantu penyerbukannya oleh manusia agar berhasil dan menjadi buah. 

Tiga minggu berselang, bunga naga mulai mekar. Pen yang telah mengetahui bunga naga mekar di malam hari siaga untuk membantu penyerbukan kepala putik, agar berhasil menjadi bakal buah. Dengan teliti dan penuh harap Pen melakukan seperti petunjuk yang dibacanya di google. Pen seperti menemukan dunia baru dari tanaman naga. Apalagi bunga lain mulai bermunculan juga. Membuat Pen semakin bahagia.

Akhirnya setelah melewati waktu selama lima puluh hari, Pen merasa senang dan bahagia. Karena buah naganya sudah mulai merah. Itu berarti dalam waktu beberapa hari lagi, Pen akan panen buah naga perdana. Alangkah bahagianya. Sebentar lagi Pen akan mencicipi rasa manis buah naga yang telah dia pelihara dengan telaten sejak berbunga.

Pagi itu, seperti kebiasaan Pen sejak pohon naga berbuah, Pen bergegas ke halaman rumah. Pen rasa pagi ini adalah waktu yang tepat untuk memanen buah naga yang dia impikan sejak dua bulan lalu. Tetapi, alangkah kagetnya Pen. Buah naga yang selama ini diidamkannya tak ada lagi di pohonnya.

"Ibu..., Ibu..., Bapak...," teriak Pen. Matanya mulai memanas. 

"Ada apa, Pen?" tanya ibu yang tergopoh-gopoh dari dalam. Ibu kaget melihat Pen berdiri terdiam tetapi air mata mengalir di pipinya. Sementara matanya masih tertuju pada pohon naga yang tak lagi nampak buahnya. Ibu seakan tahu yang terjadi. Kemudian langsung merengkuh kepala Pen dan membawa ke pelukannya.

"Ya Allah....," tak ayal Ibu merasakan pedih di hati Pen. "Mungkin belum rejeki kamu, Pen." Ibu mencoba menenangkan Pen yang masih terisak.

"Ada apa, Bu?" tanya Bapak yang baru saja muncul dari dalam rumah.

"Ini Pak, buah naga Pen hilang."

"Ya sudah, bawa Pen masuk dulu. Mandi dan ganti baju, sudah mulai siang." Bapak mengajak Pen untuk masuk ke dalam. Membimbing tangannya. Pen menurut saja, tetapi air matanya masih mengalir.

"Sekarang mandi dulu, ya." Ibu membawakan handuk dan membawa Pen ke kamar mandi. Tetapi Pen tidak beranjak. Dia hanya menunduk. Terlalu sedih hatinya karena buah naga yang dipelihara dan diharap-harapkan hilang begitu saja.

Akhirnya pagi itu Pen tidak pergi sekolah. Dia hanya mengurung diri di kamar. Tidak mau mandi ataupun sarapan. Ibu jadi bingung. Belum pernah Pen sesedih ini. Pen pada dasarnya anak yang periang. Tetapi hanya karena buah naga bisa membuatnya sesedih ini. Bahkan sampai siangpun Pen tidak beranjak dari kamarnya. 

"Pen ..., Pen...," ibu mengetuk pintu kamar Pen. Tidak ada sahutan. "Pen..., makan dulu yuk, Nak. Kamu belum makan dari pagi." Masih tidak ada jawaban. Akhirnya ibu membuka pintu dan menemukan Pen tidur dan menutup seluruh badannya dengan selimut. Saat meraba keningnya, ibu kaget karena badan Pen sangat panas. 

"Pen..., badan kamu panas, Nak." Ibu nampak cemas sekali. 

Ibu mengambil air putih dan meminumkannya pada Pen. Lalu mengompres kepala Pen dengan air hangat. Masih dengan raut wajah cemas, Ibu menghubungi bapak agar segera pulang. Ibu mulai Panik melihat Pen menggigil kedinginan sedangkan badannya makin panas dan bibirnya pucat pasi. 

Setelah Bapak sampai, buru-buru mereka membawa Pen ke puskesmas. Kata dokter, demam Pen disebabkan kondisi shock yang dia alami. Tetapi demam akan sembuh dengan sendirinya jika shock nya hilang. Akhirnya Pen dibolehkan pulang dan diberi resep obat pereda demam.

Sore hari demam Pen sudah mereda, tetapi Pen masih saja diam. Pen masih belum selera makan. Keceriaannya hilang begitu saja hanya karena kehilangan buah naga. Bapak sudah mencoba menghibur Pen dengan membeli beberapa buah naga sepulang dari puskesmas, tetapi Pen tidak menghiraukannya sama sekali. Pen hanya melirik buah naga itu sekejap dan kembali acuh. Pen tidak tergiur seperti saat dia mulai melihat bakal bunga naga. Hanya Pen yang tahu seberapa perihnya hatinya saat kehilangan yang dia idam-idamkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun