Mohon tunggu...
Elfish Angelic
Elfish Angelic Mohon Tunggu... Supir - Suka baca yang tidak terbaca

Mari berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekilas Mengukur Dino Patti Djalal

20 Januari 2014   20:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="628" caption="Image source: kompas.com"][/caption] Dino Patti Djalal, lahir di Beograd, Yugoslavia (sekarang Serbia) pada 10 - 09 - 1965. Kota Beograd ketika masih bernama Yugoslavia hanya menjadi tempat kelahirannya. Selama beberapa tahun selanjutnya, dia menjalani hidup ala nomaden di beberapa Negara, seperti New Guinea (Afrika), Indonesia, Amerika Serikat dan Kanada. Hal ini karena Ayahnya, Prof. Dr. Hasjim Djalal,  adalah seorang diplomat. Sekembali ke Indonesia, DPD memulai mengenyam pendidikannya di SD Muhammadiyah Jakarta, lalu  SMP Al Azhar - masih di Jakarta. Kemudian, setelah itu pindah ke AS dan menyelesaikan dua jenjang selanjutnya disana yaitu SMA di McLean High School serta Strata I di Carleton University. Setelah itu, dia meraih gelar Master of Arts dari Simon Frazer University (Kanada) dan di tahun 2000 lulus dari London School of Economics and Political Science (LSE) University of London (Inggris) dengan gelar doktor bidang hubungan Internasional. Dia memulai karier diplomatnya di tahun 1987 dengan bergabung di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengikuti jejak ayahnya sebagai diplomat. Sebuah cita cita yang sampai meski dia juga ingin jadi seorang pengajar.   Selain terinspirasi dari sang Ayah, menurutnya hal yang menarik dari menjadi seorang diplomat adalah karena semuanya bersentuhan dengan kepentingan masyarakat,  terlibat dalam hubungan antarbangsa. Sejak masih kanak kanak, secara tidak langsung  DPJ cilik sudah seolah diarahkan alias  di-program atau di-brainwash menjadi seorang diplomat. Kegiatan wajib seperti  membaca, saat makan bersama diajak berdiskusi masalah politik internasional, memberikan komentar setelah nonton tipi, atau kadang diajak membuat konsep pidato serta diberi kesempatan untuk terlibat di resepsi resmi  diplomatik. Ada satu pengalaman yang sangat mengesankan dan membuatnya tersadar  selama menjadi seorang diplomat. Pengalaman itu adalah   sebagai seorang yang benar-benar menekuni  dunia diplomatik yaitu saat menengahi konflik Kamboja di tahun 1991. Konflik ini menjadi pengalaman sangat berharga karena secara langsung dia merasakan lika-liku  dunia diplomatik. Singkat cerita, aksi diplomatik tersebut, membuat pihak Indonesia bisa mempengaruhi kondisi masyarakat di Kamboja secara makro dalam masa yang panjang, dimana jika tidak ada penyelesaian konflik, Kamboja akan tetap perang hingga sekarang. Karier diplomatik yang pernah diukir selama bergabung dengan Kemenlu RI yaitu sebagai juru bicara Satgas P3TT (Pelaksana Penentuan Pendapat di Timor Timur), Kepala Departemen Politik KBRI Washington DC (AS) dan Direktur Urusan Amerika Utara dan Amerika Tengah Kemenlu RI. Selain itu, dia juga sempat menjadi juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Andi Mallarangeng. Setelah sertijab sebagai Dubes Indonesia untuk AS, Dino Patti Djalal  menarik diri dengan fokus  Konvensi Capres Partai Demokrat 2014 ini. Sebagai salah satu pesert, dia mengusung visi Nasionalisme Unggul untuk Indonesia 45-21 yaitu semangat 45 dalam realita dan prestasi abad 21. Selain ideologi persatuan dan kesatuan, Indonesia juga memerlukan integritas ke ideologi unggul dengan memiliki konsep nasionalisme yang dapat memunculkan budaya unggul. Nasionalisme Unggul itu sendiri menjadi suatu semangat, etos hidup, karakter bangsa, serta resep sukses untuk bangsa Indonesia agar dapat melesat sebagai raksasa Asia. Pada acara peluncuran buku Nasionalisme Unggul: Bukan Hanya Slogan, menurut Dino, sejak kemerdekaan pembangunan Indonesia patut dikagumi dan sebagai agen perubahan yang dibutuhkan bukan hanya perubahan sesaat. Indonesia tidak boleh merendahkan kapasitas diri sendiri sebagai bangsa dari Negara berkembang karena kita juga memiliki kesempatan dan hak yang sama seperti bangsa-bangsa di Negara maju. Semua  tergantung bagaimana mengolahnya. Inilah kunci penting dari Nasionalisme Unggul yaitu Meritokrasi. Hal tersebut adalah sistem dimana semua insan mempunyai hak dan peluang yang sama untuk bersaing dan maju sesuai kemampuannya masing-masing tanpa melihat status kesukuan, agama, ras, umur, gender dan kelas ekonominya. Sehingga, di abad 21 saat ini, bangsa Indonesia harus memiliki keunggulan di dalam negeri maupun di luar negeri dimana yang sudah seharusnya setiap generasi harus lebih progresif dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu, dari bangsa Indonesia yang bagus bisa menjadi bangsa Indonesia yang hebat. Inspirasi Jiwa “Nasionalisme Unggul” ini telah disosialisasikan olehnya ke sebanyak mungkin daerah di Indonesia serta melalui sosial media. Sumber:

http://id.wikipedia.org/wiki/Dino_Patti_Djalal

http://www.mail-archive.com/rantau-net@rantaunet.com/msg22664

http://news.liputan6.com/read/794470

http://wartaekonomi.co.id/berita19374

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun