Mohon tunggu...
El
El Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemimpi

Bercerita kepada dunia melalui rangkaian kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kehidupan dan Seorang Teman

9 Juli 2024   21:26 Diperbarui: 9 Juli 2024   21:57 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    “Susah tahu, Ga. Dua tahun ini kamu sering banget bilang begitu ke aku. Minta aku bahagia, terus jangan nangis sering-sering, atau nggak nyuruh semangat. Udah capek aku, Ga. Kamu tahu sendiri bagaimana hidupku dua tahun terakhir ini.” Aku berucap lesu, tidak lagi berselera untuk menghabiskan roti yang tinggal dua gigit di tanganku.

    “Iya, tahu. Tetapi kamu harus tetap semangat, ya. Kalau capek berhenti dulu sebentar asal jangan berlarut-larut. Aku selalu dukung kamu, kok, jangan lupain orangtua kamu juga ya. Aku yakin mereka sama seperti aku sekarang yang percaya kamu bakal bisa raih impian kamu tahun ini untuk masuk Kedokteran.”

    Aku mengambil napas panjang, memejamkan mata dan menerawang jauh ke waktu di mana ketika aku bertemu dengan Arga, dia adalah temanku sejak dua tahun lalu. Kami bertemu secara tidak sengaja, dia dahulu yang menghampiriku ketika sudah berulang kali aku menjadi orang gagal. Gagal memenangkan olimpiade Biologi tingkat Provinsi Jawa Barat saat SMP, gagal masuk SMA impian, dan berbagai kegagalan lain. 

Arga mendekatiku saat sedang memakan es krim untuk sejenak melupakan kegagalan masuk kuliah di jurusan Kedokteran pertama kali. Waktu dia menenangkan aku saat menangis sembari makan es krim itu aku kira dia hanya berbohong dengan mengatakan akan selalu menemaniku ketika aku sedih. 

Tetapi ternyata dia sungguhan dengan kalimatnya waktu itu, buktinya dia ada di sini sekarang saat aku sedih dan berjuang sendirian, untuk terakhir kalinya mengejar jurusan Kedokteran di kampus negeri. Karena ini adalah tahun ketigaku mendaftar.

    Gagal untuk kedua kalinya sebetulnya membuatku kecewa dengan diri sendiri. Bahkan, menjadi pembatas bagi diriku ketika sedang merasa senang akan sesuatu lalu teringat belum mampu mencapai impian itu aku tidak boleh terlalu bahagia dahulu.

    “Ca, jangan merem gitu ih,” kata Arga menginterupsi. Aku langsung membuka mata lantas terkekeh, “Nanti kamu pasti tiba-tiba nangis kayak yang udah-udah. Jangan berpatok sama kegagalan yang pernah kamu rasain sebelumnya, Ca. Fokus saja sama apa yang ada di depan nanti. Contohnya kamu yang berhasil masuk Kedokteran gitu. Lihat kebelakang boleh tetapi untuk acuan saja, untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, untuk motivasi semangat juga. Dengerkan kamu? Masih semangat, Ca?” Arga bertanya hati-hati, seolah takut aku terluka karena pertanyaan sederhananya.

    “Iya, Arga. Aku masih semangat kok menjalani hidupku sekarang.”

    Dan seperti biasa, setelah pikiranku tidak sekalut sebelumnya Arga menghilang. Sepersekian detik setelah aku menjawab dia tidak ada lagi dalam pandanganku. Saat itulah aku kembali tersadar bahwa Arga hanya ilusi yang aku ciptakan sendiri untuk membantu meyakinkan diri sendiri dalam menjalani kehidupan.

Pulpen Kompasiana
Pulpen Kompasiana

Pulpen Kompasiana
Pulpen Kompasiana

https://bit.ly/KONGSIVolume1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun