Mohon tunggu...
Elok Setiawardani
Elok Setiawardani Mohon Tunggu... -

Baru sadar kalau suka dan sempat menulis belum lama, syukurlah bertemu kompasiana. Menulis,berbagi ilmu dengan kompasioner, tanpa menyerah! :) salam kompasiana..http://eloktenan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anak Teroris, Anak Korban Teroris dan Noor Huda Ismail

12 Maret 2010   06:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:28 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wis tak kirim bab lanjutane yo! tak tunggu komentarmu" (sudah saya kirim bab kelanjutannya ya? ku tunggu komentarmu)

Diatas adalah sepenggal kalimat tentang percakapan saya dan teman lama ketika kuliah, Noor Huda Ismail, namanya.

Kebetulan beberapa hari ini Noor Huda biasa saya lihat di layar kaca dalam bahasan seputar terorisme, dia kerab kali saya lihat  diwawancarai  beberapa stasiun TV, setelah kematian Dulmatin, buron teroris dunia, yang ditembak mati polisi beberapa hari lalu di Pamulang. Pagi ini, kembali saya baca opininya di Harian Kompas, ditulis sebagai Alumnus Ponpes Al-Mukmin, Ngruki; Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian yang merehabilitasi mantan-mantan Kombatan.

Tetapi saya tidak akan membahas profilnya lebih lanjut, sudah saya pernah posting di note facebook saya. Ingat benar saya ketika itu, karena saya ambil angle yang sedikit berbeda, berbekal data berteman dengan Huda sebelumnya, saya bisa menceritakan perjalanannnya dari ketika masih di Pondok Ngruki, kuliah IAIN, UGM hingga beasiswanya ke Inggris. Cukup menarik buat saya yang lagi doyan menulis ketika itu, sekaligus nostalgia dengan banyak teman-teman lama ditambah teman baru, karena bekerja di Jakarta.

Kali ini yang menarik perhatian saya adalah, tentang bukunya. Untuk inipun biarlah nanti kita akan kupas resensinya.

Lalu tentang apa?

Diantara beberapa ketertarikan saya pada kumpulan bab di bukunya, yang mengupas tentang persahabatannya dengan para mantan teroris ketika sama-sama mondok di Ngruki itu. Saya terkesima dengan bahasan tentang "anak", ya anak !

Yang pertama adalah anak teroris,

Kenapa?

Huda dalam diskusinya dengan saya, sempat menyampaikan kepada saya, bahwa yayasan yang dibentuknya adalah untuk merehabilitasi mantan-mantan kombatan, dengan cara dan pemahaman yang diyakininya itu, dia berharap kegiatan itu bisa memberi kontribusi supaya tidak ada lagi gerakan-gerakan teroris selanjutnya (dan ini statusnya on progress)

Tetapi selain itu, Huda juga berencana memberikan hasil penjualan bukunya kelak untuk membantu anak-anak yang kemudian menjadi yatim piatu, karena bapak dari anak itu adalah teroris dan dihukum mati atau ditembak mati. Disaat usianya belum cukup untuk memahami kenapa dia jadi tidak punya bapak dan kenapa bapaknya di tembak mati, bahkan ada yang di depan matanya. Tujuannya bukan semata-mata tentang bantuannya, tetapi juga adalah upaya untuk meredam bahkan menghapus sama sekali rasa dendam pada anak tersebut.

Ah,... anak teroris yang merindukan bapaknya?... Sungguh belum sempat terlintas di pikiran saya, sebelum bertemu Huda ketika itu.

Yang kedua adalah anak korban teroris,

Membahas tentang ini pun tak kalah mirisnya buat saya, bagaimana tidak? Huda secara intens melakukan komunikasi terhadap beberapa nara sumber yang ada di bukunya itu. Salah satunya adalah anak seorang aktivis Islam yang kebetulan juga menjadi korban Bom Bali.

Saya membaca dengan jelas, deskripsi perihal bagaimana anak tersebut siang-malam menanyakan ayahnya kepada ibunya, hingga Ibunya kehabisan kata-kata. Dia juga membenci orang-orang yang dia kenal sebagai teroris meski agamanya sama dengan dirinya, kakek dan Ibunya. Setiap habis mengaji dia meratapi foto bapaknya, ditambah kerinduan yang amat sangat kepada sosok yang dia kenal baik sebelum kematiannya.

Tidak perlu ke Bali, buat saya, untuk sekedar membayangkan, betapa pilunya, dan tidak mudahnya bagi si anak, juga keluarganya, mengahadapi cobaan itu.

Membahas tentang strategi yang dilakukan polisi untuk menangkap para gembong teroris atau juga mengupas tentang paham yang sangat diyakini para teroris itu, adalah bukan agenda saya dalam tulisan ini.

Tetapi saya coba mengajak pembaca, bahwa tidakkah kita merasakan bahwa ternyata agenda memberantas teroris di negara kita ini melibatkan banyak dimensi yang mesti disentuh, lebih jauh dari sekedar memburu, menangkap hidup atau mati, tapi kemudian mati satu tumbuh seribu? Naudzzubillahi min dzalik...

Beberapa diantaranya adalah negara bahkan kita juga mesti aware dengan beberapa pekerjaan rumah sesudahnya, yakni bagaimana merehabilitasi para mantan teroris supaya memungkinkan kembali ke kehidupan masyarakat dengan baik.

"Memperbaiki sistem lembaga permasyarakatan di Indonesia dengan membenahi perspektif jihad kelompok ini. Penting juga bagi para jaksa yang tergabung dengan satuan tugas anti-teroris memahami pola-pola ideologi mereka, bukan hanya sekadar mengungkap fakta hukum secara materiil"(opini,  Noor Huda Ismail, Harian Kompas - 12 Maret 2010)

Juga tidak lupa, mencegah tumbuhnya rantai dendam berkepanjangan, dengan memikirkan jiwa, perasaan dan masa depan anak, juga keluarga yang ditinggalkan.

Kepada mereka, anak-anak yang secara tidak langsung juga menjadi korban, juga melekat status padanya; sebagai  anak teroris maupun anak korban teroris.

Salam Kompasiana,....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun