Soepomo juga mengatakan bahwa Negara ialah suatu susunan masyarakat yan integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis.
Namun sayang, tidak semua orang berpikir bahwa ideologi tersebut cocok untuk diterapkan di Indonesia, sehingga gagasan ini tidak bisa bertahan lama.Â
Kurang lebih hanya bertahan selama tiga bulan sesudah proklamasi. Sebab dari awal munculnya pun sudah ada yang tidak setuju, bahkan sampai memperdebatkan hal tersebut. Salah satu penyanggah ideologi ini ialah Mohammad Hatta.Â
Beliau berpendapat bahwa ideologi yang dimaksud Soepomo akan menjadikan Indonesia sebagai negara penindas, bukan negara "pengurus" yang mengayomi rakyatnya. Walaupun di sisi lain beliau mengakui bahwa individualisme memang harus ditolak, tapi beliau juga tidak ingin apabila negara Indonesia menjadi negara totaliter.Â
Faktor dasar mengapa Mohammad Hatta menolak diterapkannya ideologi tersebut dikarenakan adanya sangkut paut ideologi integralistik dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menampung utusan golongan. Yang mana Soepomo secara tegas menyatakan bahwa urusan hak-hak dasar tidak perlu diatur dalam konstitusi. Menurutnya, pengaturan itu akan berdampak akan adanya paham yang bersifat perseorangan dalam konstitusi.Â
Dan hal itu tentu tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Itulah mengapa Mohammad Hatta membidas secara kontan gagasan Soepomo.
Di samping itu, tidak gentar, Soepomo juga menuding balik Hatta sedang mencoba mengajukan sistem perlementer yang sudah ditolak sebelumnya.Â
Mengenai utusan golongan dalam MPR, Soepomo menjelaskan bahwa yang dimaksud ialah "golongan kolektif", termasuk "golongan" berlatar ekonomi. Soepomo juga mencoba menangkal kritik dengan mengatakan bahwa konsepnya bukan berarti negara Indonesia akan mengabaikan keberadaan individu dan golongan.Â
Menurutnya, negara masih akan tetap mengakui dan menghormati keberadaan mereka, tetapi ia menekankan bahwa semua orang dan golongan harus sadar akan kedudukannya di dalam suatu negara integralistik, dan masing-masing memiliki kewajiban untuk menjaga persatuan dan keselarasan di antara semuanya. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa ideologi ini hanya bertahan kurang lebih selama tiga bulan pasca proklamasi.Â
Ideologi integralistik ini dimentahkan oleh Sultan Sjahrir dengan membentuk pemerintahan parlementer. Walaupun sebenarnya gagasan negara integralistik Soepomo agaknya mempunyai kemungkinan terwujud dalam demokrasi terpimpin yang dicetuskan Soekarno pada akhir 1950-an. Namun sayang sekali, Soepomo tidak sempat memastikan hal tersebut dikarenakan dia wafat pada 12 September 1958.
Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa pengembangan negara hukum Indonesia pada masa yang akan datang harus lebih bersifat substansial, yaitu menjamin terwujudnya kehidupan kenegaraan yang demokratis, sehingga mempercepat terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menjamin terwujudnya pemerintahan yang layak.Â