Salah satu "tugas" Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara adalah menjaga "kestabilan" kawasan. Kawasan ini terletak di posisi yang sangat strategis. Salah satunya adalah Indonesia, yang merupakan Negara terbesar di Asia Tenggara dan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang terbentang dari Ujung Sumatera hingga Papua. Bagi Amerika kestabilan Indonesia adalah kestabilan Asia Tenggara dan sekitarnya, oleh karena itu penting bagi AS untuk tetap menjaga "kestabilan" Indonesia.Â
Jika terjadi geliat di Indonesia, maka AS akan menjaga Indonesia tetap "stabil". Oleh karena itu sejak kemerdekaan, AS terus terlibat didalam Indonesia. (lihat tulisan saya tentang Keterlibatan AS di Indonesia sejak kemerdekaan).
Kestabilan yang dimaksud AS adalah tetap menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang aman dan tidak hancur, tetapi juga menjadi Negara yang perkembangannya tidak boleh melebihi Negara-negara sekutu AS di Asia Tenggara seperti Singapura dan Australia. Hanya boleh sejajar dengan Philippina ataupun Thailand, oleh sebab itu AS terus terlibat aktif dalam perannya menjaga "kestabilan" Indonesia. salah satu bentuknya adalah terlibat dalam setiap penggantian pimpinan negeri ini.
"Big, beautiful, rich, and dumb", itulah gambaran Indonesia bagi AS. Tahun 2014 adalah tahun pergantian pimpinan negeri ini, ada dua calon yang bertarung, yaitu Prabowo Subianto yang seorang mantan Jendral, mantan menantu orang terkuat di Indonesia Presiden Suharto, yang juga anak dari tokoh ekonomi Indonesia yang berpengaruh, pendeknya Prabowo adalah salah satu elit Indonesia.Â
Kedua adalah Joko Widodo atau lebih popular dengan nama Jokowi, seorang pengusaha kayu, mantan walikota Solo dan Gubernur Jakarta, bukan keturunan tokoh terkenal apalagi dari kalangan elit negeri ini. Itulah 2 calon presiden Indonesia setelah era SBY.
Tidak sulit bagi AS saat itu untuk menjatuhkan dukungan. Prabowo adalah tokoh elit yang memiliki kapasitas pantas untuk menjadi Presiden, sosoknya gagah, wajahnya oke, dari keluarga terpandang, kecerdasannya tampak dari cara bicaranya, kemampuan mengolah kata ketika berpidato juga hebat, kaya raya, ditambah jargon politiknya yaitu menjadi macan Asia, pendeknya sosok pilihan bagi kebanyakan rakyat Indonesia.Â
Jokowi tampak lemah dengan sosoknya yang kurus, tampangnya (maaf) bloon, kemampuan bicaranya pas-pasan, tidak tampak hebat dalam mengolah kata, meskipun juga cukup kaya dan track record dalam mengelola pemerintah dianggap berhasil, pendeknya adalah sosok yang tidak ada wibawanya dan "dumb" tapi beruntung. Bagi AS inilah sosok yang cocok untuk menjadi presiden Negara sebesar Indonesia, orang yang pasti gampang "diarahkan" untuk mendukung hegemoni AS di kawasan Asia tenggara, maka AS mendukung Jokowi untuk menjadi presiden Indonesia, dan berhasil.
Euphoria dukungan langsung ditunjukan, presiden Obama menelpon Jokowi untuk mengucapkan selamat secara langsung, termasuk ucapan-ucapan selamat dari Negara "sahabat" yang notabene adalah sekutu AS. Tentu saja dalam hati mereka bersorak,, hore aman dan tenang deh asia tenggara. Bisa dibayangkan jika "macan asia" yang memenangkan pertarungan.
Seiring berjalannya waktu, ketika tiba pemilihan kabinet, lagi-lagi mereka bersorak ketika diangkatnya sosok perempuan selengean dan nyentrik bukan anak sekolahan untuk menduduki jabatan strategis yang menjadi salah satu unggulan Presiden Jokowi yaitu mentri kelautan dan perikanan, buat mereka, presiden Indonesia kali ini memang benar-benar "katrok". Bahkan ditanah air pemilihan beliau sempat menjadi gorengan terutama untuk penganut nyinyirisme.Â
Meskipun sosok inipun bukan orang sembarangan karena merupakan salah satu pengusaha terpandang di Indonesia. Tetap saja pemilihan bu Susi bukan merupakan hal yang umum, kecuali dilakukan oleh presiden "katrok".
Sorak-sorai itu perlahan surut, ketika gebrakan mentri susi dianggap "gila", mendobrak sana sini, dipicu dengan penenggelaman kapal yang dipublikasikan secara masif. Melalui mentri-mentrinya Jokowi terus melakukan gebrakan, terutama di bidang infrastruktur yang digawangi mentri Basuki Hadimulyono. Perlahan namun pasti Indonesia menggeliat, memang belum terlihat, tetapi hal ini sudah dapat dibaca oleh AS.Â
Ketika peluncuran "Tax Amnesty" yang digawangi mentri keuangan baru yaitu Sri Mulyani yang notabene adalah salahsatu tokoh di bidang keuangan dunia dianggap berhasil, beberapa Negara sahabat semakin risau dan galau. Salah satunya Singapura yang memikirkan bagaimana jika uang para anak bangsa yang nangkring itu benar-benar lenyap dari negeri singa itu. Belum lagi gebrakan-gebrakan mentri lain yang tidak terpublikasi namun berjalan baik seiring dengan waktu.
AS dapat melihat bahwa geliat Indonesia saat ini bisa berbahaya bagi mereka, mereka tahu bahwa kemajuan infrastruktur akan memudahkan pergerakan yang tentu saja perlahan tapi pasti akan menggerakan ekonomi, kekuatan Indonesia di laut juga sudah mulai menunjukan hasil, memang semuanya tidak akan serta merta, tetapi AS telah sadar bahwa sosok Jokowi ini ternyata sangat komit untuk kemajuan bangsanya yang berarti dia tidak akan mau diatur oleh Negara manapun, kemajuan ekonomi Indonesia tinggal menunggu trigger yang otomatis akan dibarengi dengan kemajuan dibidang militer. Kemajuan Indonesia adalah bahaya besar bagi AS, maka hal ini tidak boleh dibiarkan.
Kebijakan luar negeri AS adalah menjadi semacam "guardian" bagi Negara lain oleh karena itu AS tidak mau tampak lemah didalam sebuah kawasan, kekuatan baru yang perlahan ditunjukan Indonesia, mengkawatirkan mereka. Setelah 3 tahun lebih AS melihat bahwa orang yang selama ini dianggap "dumb", mudah untuk diarahkan ternyata adalah orang yang cukup tahu bagaimana bekerja untuk memajukan Negara, yang paling menyedihkan bagi AS, Jokowi adalah sosok yang tidak bisa diatur, tidak mau nurut bahkan terhadap Obama (presiden AS saat itu) yang notabene memiliki ikatan emosional dengan Indonesia.Â
Oleh karena itu AS melalui "tangan-tangannya" akan terus berusaha supaya Jokowi terjegal di pemilu presiden 2019, segala cara akan dilakukan untuk mencegahnya. AS sudah cukup berpengalaman dengan Indonesia, mereka paham betul bahwa potensi konflik di Indonesia sangatlah besar, berbagai issue dari berbagai sisi bisa dimainkan terutama SARA.Â
Beruntung bagi AS bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang sulit menerima perubahan yang dengan mudah menjadi permainan para elit yang terusik oleh cara Jokowi memimpin, para elit dan rombingannya yang terusik karena sulit menelisik bermain mengutak atik berbagai hal di negeri ini, ditambah lagi masih banyak rakyat yang terbuai dengan sosok seperti di film-film ataupun sinetron-sinetron, sosok bayangan khayal dan juga romantisme masa lalu yang bisa membawa pada kemajuan, semua ini tinggal dikemas dalam berbagai bentuk maka akan menjadi bahan menjegal Jokowi. Hal ini bisa dilihat bagaimana melalui "tangan-tangannya" baik langsung maupun tidak langsung, berbagai protes, opini, gerakan bahkan lagu yang semuanya berbentuk nyinyir dari berbagai issue digiring untuk menjegal setiap kebijakan Jokowi.Â
Media-media mainstream yang pro AS sudah terlihat memberikan pemberitaan yang semakin "kritis", ditambah media sosial yang bergerak dengan lebih masif dan fleksibel, upaya-upaya untuk mendeskreditkan setiap kebijakan bahkan kegiatan Jokowi itu terus dilakukan.Â
Untuk membawa pada keberhasilan ini, maka AS butuh sosok-sosok khayalan tadi, saat ini AS sedang menimbang dan mencermati beberapa tokoh yang sekiranya cocok, oleh karena itu AS siap dan akan mendukung sosok yang menjadi personifikasi tokoh khayal, siapapun itu, yang bukan lagi sosok yang tampak bodoh tetapi sebetulnya luar biasa. Ketika era Obama berakhir di AS, kebijakan mereka terhadap Indonesia tidak berubah. Maka demi "kestabilan" Jokowi harus dihentikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H