Mohon tunggu...
Elnino Gorontalo
Elnino Gorontalo Mohon Tunggu... -

mencoba menulis, seakan ayat yang pertama berbunyi : Menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jilbab

9 Februari 2010   12:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:01 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini ulang tahunmu. Untuk pertama kali aku melihatmu berjilbab. “Surprise…!” ucapmu setengah berteriak, senyum mengembang. Tentu saja jilbabmu is a big-big surprise for me. Aku tertampar surprise. Aku kamu hina. Dan aku malu. Malu kepada norma-norma yang selama ini aku langgar. Bersamamu.

“Kak…… Anything wrong with you? Apalagi kah yang salah dengan jilbab ini? Come on, kak…,” engkau mengelus kepalaku, “mestinya kakak senang…”. Aku masih bingung. Shock. Jejari belum bisa terkepal, masih gemetar. Kamu lalu mencium jidatku, sesuatu yang selama ini hanya aku yang melakukannya atasmu. Ini pertama kali.

Sedetik berlalu, aku merasa hampa. Aku tahu, kamu juga hampa. Surprise yang kau berikan padaku justeru memberi surprise kepadamu. Bibirmu yang menempel di bagian depan rambutku beresonansi dengan getar tubuhku. Dua kejapan, kepalaku kemudian basah. Berlimpah air matamu. “Kakak…. please…. Saya ingin kamu jadi suamiku. Nikahi saya sekarang, kakak… Saya tidak bisa hidup dengan dosa-dosa kita… Aku ingin segala lahir-bathinku milikmu sah selamanya…,” nafasmu tak teratur. Menahan tangis kau tak sanggup, untuk berteriak kamu malu. Malu kepada norma-norma yang berlaku.

Belum usai aku menggigit bibirku sendiri, mataku masih terpejam, kamu sudah pula memberi surprise kedua. Cinta, bagaimana aku menikahimu sekarang? Sudahkah engkau menjauh dari logika, Cinta? Aku tahu, aku sadar…betapa hatiku selalu menangis dalam tiadamu, betapa aku ditentramkan oleh dosa-dosa yang kamu tawarkan hingga hari ini. Tetapi menikahimu sekarang, Cinta? Hanya nafasku panjang menjawab pintamu. Aku menunduk, berat nian dagu ini untuk kutegakkan memandangmu. Berat.

Hari ini kamu ulang tahun. Jilbab kotak-kotak menutupi rambutmu yang kemarin-kemarin selalu menjadi milik hidungku. Lengan kuningmu yang bersih merona itu tertutup pulalah sudah. Biasanya malam-malam begini lengan itu melingkar-lingkar di leherku, bikinku tidur seperti ketindisan, susah menghirup. Hari ini seluruh tubuhmu tertutup. Tertutup sekali. “Demi agama, sayang…,” katamu. Dan aku semakin shock. Ada paradoks di antara ucap dan lakumu. Kamu bilang demi agama, di saat mana engkau sedang memeluk erat lelaki yang bukan muhrimmu.

Hari ini ulang tahunmu dan kamu memohon aku memperisterimu. Aku mau, sayang… Aku mau! Tolol sekalilah aku bila menyampahkanmu. Semua hasrat di diri ini kamu penuhi dengan paras dan elok tubuhmu, dengan senyummu, dengan kecerdasanmu, dengan pengorbananmu, dengan segala pengabdianmu, dengan lahir dan bathinmu. Tetapi sekarangkah? Cinta… aku tak peduli seberapa tinggi bukit dosa yang telah kita ciptakan, tapi aku ingin upacara pernikahan kita dilakukan terhormat di mata mereka yang mengagung-agungkan norma. Bukankah kehormatan upacara pernikahan di mata mereka hanya bisa dicapai dengan uang?

“Sederhana saja, kakak sayang… yang penting kita bahagia. Please…,” bisikmu. Sejak tadi aku tak bersuara, tapi kamu mendengar apa yang tersimpan. Aku semakin cinta padamu, Cinta…. Hanya… egoku tak sependapat. Egoku menuntut engkau menikah dengan terhormat di hadapan mereka. Egoku ingin engkau dihargai lebih pantas daripada kemarin-kemarin.

Inginku beristerikanmu as soon as possible. Tapi duit, aku butuh dua-tiga tahun lagi mengumpulkannya demi memenuhi standar kehormatan di dalam sukumu. Bukankah lima puluh juta belum dapat untuk memperisteri seorang keturunan bangsawan sepertimu? Aku masih sedih. Namun aku tahu, sesulit aku beroleh label sebagai suamimu, sesulit itu pula aku melepaskanmu, Cinta. Easy come easy go, kata Tukul Arwana.

Masalahnya, hasrat birahiku atasmu tak berkompromi. Aku telah terbiasa tidur di bawah nyanyianmu. Aku telah terbiasa menikmati setiap deru nafasmu. Aku telah terbiasa kau manja-manjai dengan tubuh, pikiran dan jiwamu. Aku telah terbiasa dengan syurgamu… Takkan mampu aku menangguhkan segala itu dua atau tiga tahun lagi. Tak dapat. Sebab aku sudah engkau biasakan dengan semuamu.

Aku tahu betapa kamu juga tahu semua ini. Kamu tahu aku tak mungkin bisa menikahimu sekarang. Kamu hanya ingin menegaskan betapa berharapnya engkau atasku. Kamu ingin meyakinkan aku bahwa sampai hari H, kamu tetap mencintai dan menungguku. Dan kamu tidak ingin dosa-dosa mewarnai masa menunggu itu.

Hari ini kamu berulang tahun, dan aku masih shock dengan jilbabmu. Jilbab yang kamu niatkan untuk menembok tebal-tebal perilaku kita selama ini yang menafsukan. Jilbab untuk menyucikan rasa cinta di dalam dirimu dan diriku. Oh, Cinta… kamu mencintaiku dunia-akhirat...

“Ta, kamu yakin dengan semua ini?” akhirnya aku bersuara. Pelan, serak. “Kakak…,” meski airmatamu masih mengalir engkau tersenyum, “aku ingin merasakan pelampiasan rindu yang bersangat-sangat.” Kamu meraih leherku, mencium bibirku, memeluk seerat yang kau mampu, menciumku lagi, lalu…. “Sampai dua atau tiga tahun lagi, kakak…. bye…”. Dan pergilah engkau, menjauh. Ya, kamu tidak ingin lagi melanggar norma-norma. Setidaknya, mulai besok.

Aku menjadi yakin, segalanya dapat kupersiapkan. Tahun besok engkau sudah menjadi isteriku! I love you.

===

Lion Air, 7 Oktober 2006, di antara bumi dan langit, tentang kisah seorang kawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun