[caption id="attachment_68592" align="alignnone" width="300" caption="bu tuti setelah 12 tahun"][/caption]
“Kau mau mati di sini?” gertaknya kujawab dengan gelengan. “Kalau tak mau mati di sini, makanlah ini…,” ungkap bu Tuti. Aku sangat lemas. Kurus nyaris tak bernyawa. Typhus menggerogoti sekujur badan. Dokter memaksa supaya aku diinfus, diopname. Tapi apalah daya. Uang aku tak punya.
Tahun 1994. Tak berbapak, tak beribu. Jauh pula sanak famili. Dan kota secantik dan selembut Bandung pun menjadi terasa begitu keras. Becakku sudah kujual. Maklum, semester 3, gengsi juga menarik becak sembari diri mengencani adik kelas yang baru masuk. Bisnis kecil-kecilan, dari sales Name Card hingga sablonan kaos.
Ketika duit tiada, jatuh sakit pula aku. Ibu Tuti—terkadang kupanggil Bu Tut untuk memancing senyuman kawan-kawan—mengantarku ke dokter. Aku tidak nge-kos di rumahnya. Cuma, nongkrongnya di situ, siang dan malam. Tidur di kamar Beben, anak jangkung asal Palembang, teman kelasku. (Mungkin juga karena Titin, anak bu Tuti, adalah gadis seumuranku yang tercerdas di kampung itu).
Bu Tuti memaksaku tinggal di rumah sempitnya itu. “Ngke tos sehat, sok atuh balik deui ka kos-na (Nanti kalau sudah sehat, silahkan kembali lagi ke kos-kosannya),”ungkap Bu Tuti. Dia memperlakukan aku dan Beben seperti anaknya sendiri. Makan seenakku, tidur di situ pun seenakku. Selalunya begitu. Aku sering lupa betapa sulitnya kehidupan bu Tuti, janda beranak tiga itu. Hanya keikhlasan senyumnya yang membuatku berani memperlakukannya seperti ibuku sendiri.
Si Upik, anak bungsu bu Tuti, memapahku bolak-balik tempat tidur dan kamar kecil. Mamahnya menyiapkan bubur halus. Ada juga sahabat-sahabat yang membelikan susu murni setiap pagi.
Aku mestinya sudah mati, menurut dokter. “Ntong paeh (Jangan mati) di Bandung, Nino…Nggak ada orang yang menggali kuburanmu. Kalau mau mati di sini, sok atuh makan saja dulu. Biar kuat. Nanti kalau sudah kuat, kamu gali kuburanmu sendiri,” candanya sambil menyuapiku. Duh, Bu Tuti. Kau buat aku tertawa dalam kematian raga.
Sebulan, sembuhlah aku. Seperti sedia kala. Gagah dan kuat, bernyanyi sepowerful Ahmad Dani.
***
Berpindah-pindah tempat tinggal. Luntang-lantung menjadi benalu di sekretariat beberapa organisasi, lebih sering lagi di kontrakan dan kos-kosan teman. Aku tetap saja kembali ke Bu Tuti kalau sedang kesulitan makan, minum dan merokok. “Kamu senyum saja, itu sudah membayar semua,” kata bu Tuti serius sambil tertawa ketika aku suatu kali mencoba membayar nasi yang kumakan. “Ini juga bukan warteg, kok pake bayar segala,” ungkapnya.
1998. Reformasi. Dan kululus sebagaimana nazar : di wisuda setelah Habibie jadi presiden. Wisuda yang sunyi. Wisuda yang sepi. Tak ada saudara-saudaraku di Bandung. Maka undangan menghadiri wisuda pun kuantar ke bu Tuti. Dia lalu berdandan secantik yang dia mampu, kemudian menjadi satu-satunya orang Dayeuhkolot (kecamatan dimana STT Telkom berdiri angkuh) yang menjadi orang tua wisudawan.
***
Takdir-takdir Tuhan mengantarku kemana-mana. Bogor, Jakarta, Gorontalo. Perjalanan hidup yang memiliki warna sendiri-sendiri.
***
2010. Tadi sore. Aku kembali menemuinya. Senyumnya itu masih ada. Tulus. Pancaran kebahagiaan. Hanya garis wajah yang menunjukkan betapa berat hidup selama ini. Aku tak sanggup memandangnya, tak pula mau menitik air mata. Rumah sempit itu masih sempit. Hanya hati manusianya yang lebih luas dari hamparan bumi. Rinduku terobati, perjalanan jiwaku tuntas.
Terimakasih bu Tuti…
Terimakasih telah mengajariku betapa senyum dan tulus adalah kunci kebahagiaan. Terimakasih atas ketulusan yang dulu, yang sekarang, yang akan datang.
Kuminta Allah meridhoimu sekeluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H