Kata Nenekku yang sudah pikun, Ibu sudah tak lagi waras. Pernyataan itu selalu diulang-ulang olehnya. Entah karena dia ingin aku percaya, atau memang karena kebiasaan setiap orang yang sudah mendekati usia tujuh puluh tahun memang seperti itu, selalu mengulang-ulang kata yang sama setiap harinya.
Nenek mengatakan Ibu tak waras karena Ibu masih saja berharap Ayahku kembali ke kehidupan kami untuk menjalani hari-hari seperti biasa. Padahal Ayah sudah jelas-jelas meninggalkan Ibu serta aku yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan memilih hidup enak bersama seorang wanita yang lebih tua dari Ayah, namun memiliki kekayaan yang tak habis dimakan hingga keturunan kelima belas sekali pun.
Sejak ditinggal Ayah, kini setiap hari Ibuku hanya memegang payung merah yang tangkainya melengkung menyerupai mata kail pancing itu. Tangkai yang menyerupai kail itu sudah lama terpisah karena patah.
Nenek, dengan segala keterbatasan kemampuan untuk mengingat pernah bertutur pada seorang tetangga. Tetangga yang memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, bahwa payung itulah yang mempersatukan mereka.
Begini penuturan nenek tentang kisah pertemuan Ibu dengan Ayah pada tetangga.
Sebelum mereka dipersatukan oleh yang namanya ikatan pernikahan, mereka merupakan dua orang yang tidak saling kenal. Kemudian pada suatu sore yang hujan, Ibuku terjebak di sebuah pintu keluar-masuk bagian utara sebuah pusat perbelanjaan.
Mobil Ibuku yang masih dalam proses cicilan itu memang sedang berada di bengkel yang berada di seberang jalan pusat perbelanjaan tersebut. Karena memang Ibuku sangat rajin sekali merawat kendaraannya sesuai jadwal. Jadi, sambil menunggu kendaraannya selesai di servis, Ibuku selalu mampir ke pusat perbelanjaan itu, meskipun tak selalu ada barang yang dibelinya setelah keluar dari pusat perbelanjaan tersebut.
Tiba-tiba sebuah suara yang berat menyentuh telinganya dan menyadarkannya dari setengah lamunan di hari itu. Pria yang kemudian nanti akan menjadi Ayahku itu menawarkan sebuah payung untuk Ibuku agar bisa melewati hujan yang begitu rapat seperti tirai.
Ibu, yang sebetulnya tidak mudah akrab dengan setiap orang, menolak halus dengan basa-basi formal antara orang yang baru bertemu. Tetapi, entah pada tawaran yang keberapa kali, Ibu akhirnya menerima tawaran lelaki tersebut. Dalam hati, Ibu sempat bertanya-tanya, bagaimana lelaki tersebut tahu jika merah adalah warna kesukaannya?
Tiba di seberang jalan, seorang petugas bengkel yang sudah tak asing dengan Ibu menyiapkan segala hal seperti biasanya. Tetapi raut si petugas tak menyembunyikan keheranannya dengan kehadiran seorang laki-laki yang memegangi payung merah menaungi Ibu yang sebenarnya sudah terlindungi oleh kanopi bengkel tersebut. Karena biasanya Ibu selalu sendirian.