"Dont Judge A Book Just From Its Cover!" Saya pernah mendapatkan pelajaran kehidupan yang sangat berharga dari pepatah barat yang satu ini.
Saya memiliki banyak teman. Di antara semua teman, ada satu teman yang belum begitu lama saya kenal yang menurut saya sangat menyebalkan. Tingkahnya, cara berbicara, cara berpakaian dan lainnya sangat tidak saya sukai. Pokoknya, hampir 99 persen apa yang ada pada dirinya sangat tidak saya sukai dengan alasan karena gayanya yang tidak sesuai dengan saya.
Kemudian teguran untuk ke-subjektif-an saya datang dalam bentuk musibah yang tidak pernah saya inginkan (emang ada musibah yang diinginkan?). Istri saya mengalami pendarahan tak lama selang dua pekan pasca melahirkan anak pertama.
Darah yang keluar cukup banyak. Oleh karena itu harus ada darah yang masuk untuk menggantikan. Pendeknya istri saya membutuhkan darah segar bergolongan B dari kalangan apa pun, entah dari kalangan darah biru, darah ningrat atau pun dari kalangan biasa saja.
Ternyata sangat tidak mudah. Dari belasan group WA yang di mana saya tergabung di dalamnya, banyak yang menyatakan keprihatinan tetapi tak ada satu pun yang memberi kabar gembira. Sisanya tidak merespon. Bahkan satu group WA yang bernama group "Best Friends", tak ada yang memberi respon sama sekali.
Ketika saya sedang kalut di luar ruang perawatan, sebuah pesan dari nomor yang tak saya kenali muncul di smartphone saya. Gambar profilnya adalah gambar sebuah toko yang memajang susunan sembako. Nomor tersebut menanyakan lokasi dan memastikan kebenaran bahwa istri saya butuh donor darah bergolongan B. Saya langsung jawab tanpa bertanya "ini nomor siapa?".
Karena khawatir orang tersebut tersinggung dengan pertanyaan semacam itu, dan juga isi kepala saya memang sedang penuh terisi oleh kepanikan.
Semuanya pasti sudah bisa menebak siapa yang muncul, ya, benar. Sosok yang sangat tidak saya sukai itulah yang datang. Awalnya, saya tidak terlalu bergembira dengan kehadirannya karena saya tidak tahu bahwa dia adalah pemilik nomor yang tadi, yang kemudian saya segera menyesali ketidak gembiraan saya ini.
Dia mengatakan bahwa golongan darahnya sesuai dengan golongan darah yang sedang saya cari. Kemudian dia menanyakan di mana dia bisa mendaftarkan dirinya untuk berdonor. Saya yang masih sedikit malu karena yang datang menolong ternyata orang yang saya anggap menyebalkan ini lebih memilih meminta ijin kepadanya untuk ke toilet.
Setibanya di toilet, entah itu toilet pria entah itu toilet wanita yang sudah saya masuki, saya menangis sejadi-jadinya di depan cermin yang ada wastafelnya. Malu, terharu, dan banyak lagi rasa lain bercampur seperti diblender dan mengaduk keadaan emosi saya. Saya tidak tahu berapa lama saya tenggelam dalam isak air mata, tetapi saya segera cuci muka dan menemui teman "menyebalkan" yang tadi saya tinggalkan di luar.
Ternyata setiba saya di luar, sosok teman tadi sudah tidak ada. Saya celingak-celinguk tapi tidak juga saya dapati. Akhirnya dengan sedikit rasa kesal yang tiba-tiba menghasut kembali pikiran saya tentang teman yang tadi, saya duduk di kursi RS yang jauh untuk dikatakan bersih itu.
Selang sekitar 45 menit, ternyata dia datang dengan kondisi tangan ada tempelan segumpal kapas kecil yang dilekatkan oleh plester warna coklat. Dia, dengan inisiatifnya sendiri, tanpa menunggu saya keluar dari toilet tadi (mungkin karena saya terlalu lama di toilet tadi) mendatangi sendiri lokasi tempat untuk mendonorkan darahnya itu. Dan kali ini saya tidak pergi ke toilet untuk menyembunyikan tangis saya. Saya  menangis sejadi-jadinya di depan dia yang pastinya teman saya itu tidak tahu perasaan apa yang sebenarnya melanda hati saya pada saat itu.
Dia mengatakan tahu info saya terkena musibah ini dari status WA saya. Oh, Tuhan. Ternyata sosok yang sangat tidak saya sukai ini menyimpan kontak saya, sosok yang nomor kontaknya saya abaikan dengan tidak menyimpannya di Handpnone saya, malah menjadi penolong di saat saya memang benar-benar sangat membutuhkan pertolongan.
Tidak cukup  sampai di situ. Dia mengatakan harus segera pergi untuk kembali ke toko sembakonya yang sudah dia tinggalkan. Bayangkan, dia telah meninggalkan toko tersebut demi menolong saya yang sebelum peristiwa ini sangat tidak menyukainya! Kemudian, sambil meminta maaf karena tidak sempat menengok ke ruangan istri saya, dia memberikan selembar amplop putih ke tangan saya.
Saya mengucapkan banyak beribu terima kasih untuk segala yang sudah dia berikan dan juga beribu maaf untuk segala kebodohan dan kesalahan saya yang dia tidak sadari kesalahan apa yang sudah saya perbuat. Dengan mata berkaca antara penyesalan sikap saya terhadapnya dan juga rasa haru karena kebaikannya, saya melihatnya pergi berjalan keluar rumah sakit.
Amplop putih pemberiannya saat itu hanya saya pegang dan tidak segera saya buka. Saya tidak peduli isinya apakah uang dalam jumlah besar ataukah dalam jumlah kecil. Bahkan saya tidak peduli meskipun jika saya buka amplop tersebut pada saat itu isinya adalah sebuah tulisan "MAAF, ANDA BELUM BERUNTUNG", saya tetap tidak peduli.
Kedatangan dirinya yang bersedia mendonorkan darahnya yang lebih cepat daripada teman-teman lain yang saya anggap lebih baik darinya merupakan sesuatu yang lebih berharga daripada uang.
Dari kejadian ini saya belajar untuk menilai orang tidak berdasarkan dari penampilannya saja. "Dont Look The Book Just From The Cover".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H