pejabat tinggi yang memiliki gengsi di sebuah instansi pemerintahan. Yaitu anak Rafael Alun Trisambodo yang menjadi pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kementerian keuangan.
Arogansi kembali terjadi. Pelakunya kali ini adalah Mario Dendy Satrio yang ternyata adalah anakApa yang dilakukannya adalah penganiayaan terhadap seorang remaja laki-laki hingga luka cukup serius. Sampai-sampai tak sadarkan diri dan harus dirawat secara intensif.
Ini semakin menambah daftar panjang sikap arogan para petinggi yang menjadi viral di dunia maya. Sebelum-sebelumnya pernah muncul kasus yang dilakukan oleh oknum berpakaian PNS bersikap arogan terhadap pengendara motor wanita karena mobil sang oknum terserempet oleh wanita pengendara tersebut. Dan banyak lagi sikap arogan yang dilakukan oleh mereka yang statusnya adalah pejabat di sebuah instansi pemerintahan.
Banyak sekali komentar-komentar yang mengarah atau menyerempet pada status sosial jabatan yang disandang oleh pelaku arogan tersebut. "Mentang-mentang pejabat, berbuat seenaknya pada setiap orang!". Kira-kira seperti itulah komentar-komentar banyak orang. Tetapi, benarkah sikap arogan selalu dilakukan oleh para pejabat karena merasa berada pada posisi tinggi?
Ternyata, pada kenyataannya, arogansi tidaklah selalu dimonopoli oleh pihak-pihak yang memiliki jabatan di sebuah instansi. Bahkan orang-orang yang tidak memiliki jabatan ataupun biasa disebut kalangan rakyat biasa juga sering menunjukkan sikap arogan yang tak kalah merugikannya dengan sikap arogan yang dilakukan para pejabat.
Contohnya, belum lama ini beredar dalam pemberitaan sekelompok pengamen jalanan di wilayah Bandung. Mereka bertindak sangat kasar bahkan melakukan pemukulan terhadap badan bus pariwisata. Mereka marah karena tidak diperbolehkan masuk ke dalam bus untuk mengamen.
Bukankah itu adalah sebuah sikap arogan? Ketika mereka dilarang masuk karena bisa mengganggu kenyamanan para penghuni bus, seharusnya yang mereka lakukan adalah pergi mencari bus lain. Bukan malah bersikap sok jagoan dan arogan. Dan ini hanyalah salah satu kasus yang dilakukan oleh mereka yang berasal dari kalangan non-pejabat.
Contoh lainnya adalah para sopir truk yang ugal-ugalan. Banyak sopir truk yang kebut-kebutan dalam mengendarai kendaraan yang kebanyakan bukan kendaraan milik mereka pribadi. Seolah mereka adalah penguasa jalanan. Dan jika kita tegur, mereka malah bersikap lebih galak dari yang menegur. Padahal mereka berada pada posisi salah. Bukankah ini sebuah arogansi, dan ingat! mereka lagi-lagi bukan dari kalangan instansi pemerintahan ataupun orang kaya yang  menjadi penyandang jabatan tertentu.
Saya sendiri, sebagai orang yang berasal dari kalangan rakyat biasa, sering juga menjadi korban dari sikap arogan sesama kalangan rakyat biasa. Ketika berkendara di jalan raya, misalnya. Beberapa kali terjadi saya harus keluar aspal jalur jalan yang sedang saya gunakan karena jalur saya tersebut "direbut secara paksa" oleh bus besar yang beroperasi di kota saya. Karena saya orang kecil yang menggunakan kendaraan jenis motor kecil, sementara lawan saya adalah orang kecil yang menggunakan kendaraan jenis bus besar, akhirnya saya harus mengalah.
Dan suatu kali, pada lain waktu, ketika saya coba nekat untuk tidak mau mengalah ketika jalur saya kembali di serobot, justru sang sopir bus malah membunyikan klakson dengan intonasi yang membuat siapa saja pasti berpikir lima kali untuk melanjutkan perselisihan. Padahal sang sopir tadi ada pada posisi yang tidak benar.
Sudah banyak contoh-contoh sikap arogan yang di buat oleh kalangan biasa. Dimulai pengemis yang menoyor kepala karena tidak diberi uang. Pengamen yang memukul bus dan membentak penumpang karena tidak diberi uang. Ormas yang meminta jatah dan kemudian marah ketika tidak diberi, padahal dia tidak memiliki hak untuk meminta jatah. Dan yang terbaru adalah debt kolektor yang membentak-bentak polisi dalam kasus sengketa kendaraan.