Mohon tunggu...
Latatu Nandemar
Latatu Nandemar Mohon Tunggu... Relawan - lahir di Pandeglang Banten

Lahir di Pandeglang, Banten. seorang introvert yang bisa menjadi extrovert ketika situasi mengharuskan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wisata Religi yang Semakin Dikomersialisasi

1 Februari 2023   15:30 Diperbarui: 1 Februari 2023   15:36 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah ikut teman yang mengajak ziarah kubur ke salah satu tempat wisata religi di daerah saya, Pandeglang, yang terletak di provinsi Banten.

Ini memang pertama kalinya saya ikut wisata semacam ini karena sebelumnya rasa ketertarikan terhadap yang satu ini tidak terlalu kuat. "Biar hati tidak gersang seperti sekarang!" Begitu teman saya membujuk dengan sedikit keras.

Setiba  di gerbang lokasi, saya sama sekali tidak merasakan aura sakralnya, apakah karena hati saya memang benar-benar sudah gersang seperti yang diungkapkan teman? Entahlah?

Yang jelas, setelah saya turun dari kendaraan roda empat, justru saya dibuat sebal oleh sikap pedagang souvenir dan oleh-oleh yang menyorongkan jualannya dengan cara setengah memaksa. Entah strategi marketing level berapa yang mereka implementasikan? Tetapi jelas, bukan saya seorang yang merasakan ketidaknyamanan itu. Saya lihat peziarah yang lainnya merasakan hal yang sama. Teman saya yang sudah terbiasa dengan hal ini cuek dan tetap melanjutkan perjalanan 'suci' ini dengan berjalan kaki ke lokasi pemakanan dan meninggalkan kendaraan di lokasi parkir yang sudah ditentukan pihak pengelola.

Ternyata oh ternyata, lumayan jauh antara lokasi parkir dan pemakaman yang akan kami ziarahi. Jarak yang lumayan dan kondisi yang panas itu membuat saya ingin mengistirahatkan kaki dan membasahi tenggorokan dengan air sejuk. Aqua, merk lejen yang hingga saat ini menjadi "raja" air di kalangan air kemasan saya beli. Ketika saya tanya harga, wow, Sungguh terlalu! (ucapkan dengan nada bang Haji Rhoma). Untuk botol kecil dihargai setara dengan harga botol ukuran besar yang biasa saya beli. Jika di lokasi wisata hiburan saya mungkin tidak heran. Tapi, ya sudahlah.

Kami melanjutkan perjalanan dan kemudian tiba di lokasi makam. Rasa takjub menusuk hati Nurani yang gersang ini. Tidak, bukan suasana sakral yang sebelumnya saya bayangkan saya dapati, tetapi sikap para panitia pengelola yang  ada di sana sungguh membuat miris hati ini. Atau lebih tepatnya membuat jengkel.

Sambutan yang diberikan oleh pengelola yang berdiri di samping sebuah kotak amal tinggi besar layaknya lemari baju anak kos sungguh tidak menyenangkan. Tanpa senyum tanpa kata, dengan gestur memaksa, memukul-mukul permukaan kotak amal yang ia kawal dengan tangan kiri sambil mengarahkan para peziarah agar memasukkan uang ke dalam kotak dengan tangan kanannya.

Hari sudah siang. Kami memutuskan sholat dhuhur terlebih dahulu. Memasuki tempat wudhu, hal yang sama terjadi lagi. Seorang pria tanpa kata, tanpa senyum, dan juga tanpa basa-basi berlaku sama dengan pria yang tadi saya ceritakan di atas. Berdiri di samping kotak amal dan memberikan kode keras agar menyelipkan sejumlah uang ke dalam kotak yang ukurannya sama dengan yang pertama tadi. Rasa tidak nyaman semakin berat menggelayuti Langkah kaki ini. Dan ternyata itu semua belum selesai.

Usai wudhu dan sholat kami tunaikan, kami berjalan ke lokasi pemakaman yang di lingkari tembok. Ada pagar gerbang dijaga oleh pihak pengelola yang duduk di kursi dan terdapat meja dengan buku catatan, alat tulis, dan.... lagi-lagi kotak amal. Betapa eksistensi benda yang satu ini begitu kuat di sini, tetapi ukurannya lebih kecil dari ukuran yang tadi. Di bagian yang ini, pengelola agak sedikit ramah meski hanya sekedar berbasa-basi dengan menanyakan alamat asal kami. Dan benar dugaan saya, kotak amal di sorongkan dan bertanya, berapa jumlah uang yang akan kami sumbangkan untuk kotak tadi sambil bersiap mencatat di buku catatan mereka.

Sambil menanti urusan proses 'administrasi' tadi, saya  melayangkan pandangan ke dalam pagar gerbang, beberapa orang laki-laki berdiri dengan pandangan terus memperhatikan kami dan peziarah lainnya. Saya mengira mereka adalah peziarah yang hendak pulang tapi tertahan oleh antrian kami, karena system keluar-masuk hanya satu pintu. Setelah urusan catat-mencatat selesai, kami dipersilahkan masuk. Para pria yang tadi saya perhatikan menggamit teman saya yang berjalan lebih dulu. Terlihat mereka berbicara sebentar dan kemudian berjalan beriringan. Ternyata pria tadi menawarkan jasa memimpin doa yang nantinya di penghujung doa saya melihat teman saya memberikan amplop berisi uang untuknya.

Di dalam pagar kami melewati selasar sekitar belasan meter. Sepanjang selasar banyak bocah-bocah kecil yang langsung menyerbu ke arah kami dan peziarah lain. Menengadahkan tangan sambil mulut mereka tak henti-henti mengucap minta uang tanpa ragu tanpa malu. Mungkin mental mengemis mereka sudah terbentuk, atau memang sengaja dibentuk oleh orang-orang dekat mereka.

Kami tiba di lokasi ziarah, dan melaksanakan ziarah hingga tuntas. Setelah semua selesai, kami bersiap pulang. Seluruh rangkaian kejadian ketika kami datang kembali terulang, tetapi prosesnya terbalik. Dalam hati saya berpendapat bahwa segala sesuatunya berjalan dengan tidak benar di tempat ini. Tempat yang seharusnya menjadi tempat mengingat mati sebagai langkah membersihkan hati.

Bocah-bocah yang mengemis, penjaga kotak-kotak amal yang memaksa, jasa memimpin doa, pedagang yang sedikit memaksa, ditambah penitipan wajib alas kaki, toilet dengan tarif  tak wajar dan debat dengan juru parkir yang belum sempat saya ceritakan di sini. Bagi saya ini adalah sebuah potret buram siklus ekonomi di lingkungan wisata religi.

Teman saya mengatakan bahwa memang beginilah tempat-tempat ziarah. Hampir semua wisata religi sudah kaprah dengan keadaan-keadaan seperti ini, yang bagi saya sangat meresahkan dan mengganggu para pengunjung dari berbagai daerah. Komersialisasinya begitu nyata, bahkan terlalu gamblang. Kaprah bukan berarti tidak boleh dirubah. Kaprah bukanlah sebuah pembenaran untuk sesuatu yang salah dan sudah lama berlaku.

Bukankan dalam Islam mengemis diharamkan kecuali dalam keadaan terpaksa? Tetapi bocah-bocah  di tempat ini seperti sudah membiasakan atau dibiasakan untuk meminta sehingga tak ragu dan tak malu untuk mengemis dengan setengah memaksa. Bukankah tidak ada paksaan untuk mengisi uang pada kotak-kotak amal di mana saja benda ini berada?

Seharusnya pemuka agama di wilayah ini melakukan peranan penting untuk memperbaiki keadaan seperti itu. Mereka punya hak dan kewajiban memberikan edukasi mana yang boleh dan tidak. Dengan memanfaatkan pengaruh mereka sebagai tokoh masyarakat. Serta adanya pemerintah setempat yang turut juga memberi penyuluhan untuk memperbaiki masalah seperti ini.

Artikel ini adalah artikel saya pernah tayang di cangkemandotnet dengan judul sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun