Mohon tunggu...
Elnado Legowo
Elnado Legowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Kata-kata memiliki kekuatan untuk mengesankan pikiran tanpa menyempurnakan ketakutan dari kenyataan mereka. - Edgar Allan Poe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mikrolet 413

21 Februari 2023   10:47 Diperbarui: 21 Februari 2023   10:50 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Media Sulutlink

Setiap daerah pasti memiliki kisah horornya tersendiri. Dari setan penculik anak-anak, ritual berbahaya, orang tua misterius yang jahat, hingga kendaraan gaib. Tetapi kendaraan gaib adalah yang paling fenomenal, karena hampir semua daerah pasti memiliki kisah tersebut. Salah satunya adalah Mikrolet 413.
 
Kasusnya mirip dengan bus atau kereta hantu; tapi yang membedakan adalah orang yang masuk ke Mikrolet 413, mereka tidak pernah terlihat lagi. Mikrolet 413 sering berkeliaran di beberapa daerah; tapi paling sering terlihat di wilayah Jakarta saat waktu mendekati tengah malam tertentu. Bagi orang-orang yang pernah melihat Mikrolet 413, mereka bersaksi bahwa mikrolet itu melaju sangat kencang -- muncul dan hilang secara misterius -- sulit terdeteksi bagaikan bayangan dan tidak dapat dianalisis secara logika.
 
Kabarnya Mikrolet 413 dikemudikan oleh setan atau malaikat pencabut nyawa -- tapi ada juga yang menyangkutpautkan dengan para penculik untuk perdagangan manusia. Spekulasi liar tersebut lahir karena tidak ada yang tahu akan identitas dari Mikrolet 413. Terlebih lagi mikrolet itu tidak terdaftar di angkutan umum resmi daerah manapun.
 
****
 
Mirza adalah seorang karyawan biasa. Dia bukan orang yang memiliki kemampuan spesial seperti indigo. Tetapi dia mengalami peristiwa mengerikan yang tidak dapat ditoleransi oleh nalar, sekaligus menjadi salah satu korban Mikrolet 413.
 
Suatu malam, Mirza baru saja pulang dari Bandung karena tugas kantor. Dia tiba di Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, setelah melalui perjalanan panjang. Itu adalah kereta malam terakhir sehingga jumlah penumpangnya sangat sedikit -- terlebih lagi itu bukan hari libur.
 
Namun malam itu tampak berbeda. Para angkutan umum sudah tidak terlihat di sekitar stasiun, sehingga keadaan jadi sangat sepi dan hening. Padahal biasanya mereka masih mangkal di sekitar stasiun, demi menanti penumpang dari kereta malam terakhir.
 
Suasana terasa seperti pagi buta, sementara waktu masih pukul 10:45 malam. Para penumpang lain sudah pulang, berkat jemputan dari kerabat maupun keluarga yang menanti di pintu utama stasiun. Tetapi nahas bagi Mirza; tidak ada kerabat maupun keluarga yang bisa menjemputnya.
 
Apalagi lokasi rumahnya di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, sehingga mustahil untuk pulang berjalan kaki. Walhasil Mirza terpaksa harus menunggu dan mencari angkutan umum yang dapat ditemukan, dan bersedia mengangkut penumpang di malam hari.
 
****
 
Setengah jam kemudian, secara mengejutkan mata Mirza menangkap sebuah mikrolet yang sedang mangkal di Jalan Bekasi Barat, di seberang Stasiun Jatinegara. Mikrolet itu berwarna keruh dan berasal dari Toyota Kijang model tahun 1980-an akhir. Di bagian atas kaca depan tertulis nomor "413" dengan font berukuran besar dan berwarna kuning keruh yang mencolok.
 
Awalnya Mirza merasa ganjil dengan eksistensi mikrolet tersebut, karena muncul seketika bagaikan hantu. Walaupun begitu, Mirza tidak mau terlalu mempersoalkannya. Kemudian dia lantas menghampiri mikrolet itu; masuk ke dalam; lalu duduk di bangku penumpang yang dekat dengan sopir dan kernet. Suasana di dalam sana sangat gelap -- saking gelapnya dia sampai tidak dapat melihat sopir dan kernet dengan jelas, yang sedari tadi hanya duduk diam di bangku depan.
 
Mikrolet itu tidak langsung berangkat dan masih menunggu penumpang. Itu adalah hal yang membingungkan bagi Mirza. Sebab kondisi lingkungan sangat sepi -- bagaikan kota mati -- sehingga terasa mustahil untuk bisa mendapatkan penumpang lebih.
 
Walakin spekulasi itu terpatahkan ketika ada dua penumpang; yaitu perempuan -- berusia sekitar 20-an -- dan nenek yang datang entah dari mana. Perempuan serta nenek itu masuk dan duduk di bangku seberang kiri Mirza, bersebelahan dengan pintu masuk mikrolet. Mereka berdua tampak kusut, berambut panjang, dan kepalanya tertunduk, sehingga sulit untuk bisa melihat wajahnya. Selain dari itu, mereka memakai pakaian adat Betawi, yang sering dipakai di zaman kolonial. Mirza merasa gugup melihat mereka, tapi dia berusaha tidak menghiraukannya.
 
Meski sudah bertambah dua penumpang, mikrolet itu masih belum berangkat, seakan masih menunggu beberapa penumpang lagi. Tidak ada satupun penumpang di sana -- termasuk Mirza -- beserta sopir dan kernet yang mengatakan sekatapun. Hanya ada keheningan sekaligus keremangan yang mencekam. Sampai-sampai bisa mendengar suara angin bersiul beserta suara binatang-binatang nokturnal di luar mikrolet.
 
****
 
Beberapa waktu telah berlalu, seketika ada satu penumpang yang masuk ke dalam mikrolet. Kali ini dia adalah pria dewasa yang berperawakan seperti perisau. Pria itu duduk tidak jauh di sebelah kiri Mirza. Lagi-lagi dia memiliki postur yang serupa dengan penumpang lainnya -- kepala menunduk serta tampak kusut -- tapi kali ini Mirza dapat melihat wajahnya yang pucat dan terlihat tidak asing, seolah dia pernah melihat pria itu sebelumnya.
 
Tiba-tiba terdengar suara lolongan ganjil dan menyeramkan. Mirza sama sekali tidak paham -- dan tidak bisa memahaminya -- suara apa yang sedang dia dengar. Itu seperti komposit suara tiupan pipa iblis dengan suara lolongan binatang buas yang sama sekali tidak dikenali oleh telinga manusia awam.
 
Walaupun begitu, satu-satunya hal yang dapat diketahui oleh Mirza adalah suara itu datang dari arah bangku depan, alias bangku sopir dan kernet. Di saat itulah, dia dapat menyaksikan rupa mereka lebih saksama daripada sebelumnya.
 
Sang sopir tampak seperti manusia pada umumnya, tapi memiliki rupa yang cacat menakutkan. Sedangkan sang kernet memiliki wajah yang absurd, yaitu hanya sebuah kerucut pucat meruncing ke sebuah tentakel merah darah. Di mata tentakel itu terdapat lubang tunggal yang menjadi sumber suara lolongan.
 
Belum sempat Mirza berpaling dari adegan horor tersebut, seketika pintu penumpang tertutup dan mengunci secara gaib. Lalu sopir itu mulai memberangkatkan mikrolet dan melaju dengan kecepatan yang tidak masuk akal -- sampai-sampai Mirza terlempar ke belakang.
 
Selama di perjalanan, Mirza terus menjerit minta berhenti sambil menggedor-gedor pintu maupun jendela seperti orang yang kesetanan. Akan tetapi, dia satu-satunya orang yang panik. Sebab para penumpang lainnya hanya duduk diam secara dingin.
 
Lantas Mirza segera menghampiri mereka untuk meminta pertolongan. Tetapi saat Mirza menghampiri penumpang perempuan dan nenek, dia dapat melihat wajah mereka yang sedari tadi tertutup oleh rambutnya -- dan itu sama sekali bukan penampilan yang menyenangkan.
 
Penumpang nenek itu tidak memiliki kelopak mata -- tampak bekas luka robekan di bagian tersebut -- sehingga dia tampak melotot tajam. Lalu terdapat sebuah luka sayatan parah yang merobek mulutnya secara horizontal, sehingga membuat nenek itu terlihat sedang menyeringai lebar secara mengerikan.
 
Sedangkan untuk penumpang perempuan, dia tidak memiliki hidung dan tampak seperti habis dipotong secara bengis. Terus dia juga tidak memiliki rahang bawah, sehingga lidahnya menjulur bebas ke bawah secara mengerikan dan sangat mengganggu untuk dideskripsikan dengan kata-kata.
 
Sontak Mirza menjerit histeris dan melompat menjauhi mereka berdua. Perempuan dan nenek itu hanya menatap Mirza secara dingin dan menakutkan -- dengan bola mata yang terus mengikuti ke arah manapun dia pergi. Lantas Mirza mengemis pertolongan kepada penumpang pria, satu-satunya penumpang yang tampak manusiawi.
 
Tetapi Mirza terdiam seketika dan menggeligis, saat dia menatap wajah pria itu lebih dekat. Mirza telah mengidentifikasikan pria tersebut; dia adalah preman bengis yang berkeliaran di Tanah Abang, sehingga wajahnya sering masuk di berbagai media. Namun nahas, pada akhirnya pria itu tewas ditembak oleh polisi yang menyamar; saat di tengah pelariannya; dan sedang bersembunyi wilayah Jatinegara, sekitar satu setengah minggu yang lalu.
 
Lantas Mirza menjadi histeria. Dia tidak paham harus berbuat apa; selain menatapi para penumpang dengan penuh kengerian yang tidak dapat dijelaskan secara harmoni.
 
****
 
Selang beberapa waktu kemudian, mikrolet itu tampak melaju ke sebuah tempat yang gelap dan asing. Tempat itu seperti rawa yang lembap dan dicekik oleh alang-alang liar yang tidak berujung. Mirza sama sekali tidak mengenali tempat tersebut.
 
Kalakian mikrolet itu berhenti; lalu pintu penumpang terbuka dengan sendirinya. Di momen itulah, Mirza mengambil kesempatan untuk melompat keluar dan berlari secara gila-gilaan. Sampai pada akhirnya dia kelelahan dan terpaksa menghentikan aksinya.
 
Di saat itu jugalah, Mirza menyaksikan sebuah panorama lembah asing yang diselimuti oleh cakrawala gelap, serta hanya disinari oleh sebuah bulan purnama merah darah. Di tengah-tengah panorama itu dia melihat dari jauh; ribuan orang -- atau bahkan lebih -- yang sedang jalan berbaris dengan posisi kepala tertunduk dan sangat kusut; beberapa dari mereka tampak tidak utuh, berantakan, dan penuh kerusakan parah; menuju ke suatu tempat yang tidak terjangkau oleh mata.
 
Mirza benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang dia lihat. Dia berharap itu hanya mimpi -- mimpi buruk yang paling menakutkan -- dan cepat terbangun. Di tengah pertikaian batinnya, datang sopir dan kernet mikrolet dari arah berlawanan -- alias dari belakang Mirza -- sambil menuntun para penumpang ke arah rombongan tersebut.
 
Sopir itu berjalan merangkak -- seperti binatang reptil -- dan lehernya diikat seutas tali yang dipegang kendali oleh kernet. Sedangkan para penumpang; mereka hanya menatap dingin ke Mirza, serta berjalan secara taat dan kaku di belakang sopir beserta kernet. Mirza tidak bisa lari. Dia sudah kehilangan banyak tenaga dan emosinya telah mati.
 
Lalu kernet itu mengangkat kepalanya dan mengeluarkan suara lolongan nyaring -- tapi dengan alunan yang berbeda -- dari lubang tentakel di wajahnya. Tampaknya itu sebuah sambutan untuk para pendatang, atau mungkin untuk hal lain yang tidak dipahami. Itu adalah pemandangan terakhir yang ditangkap oleh mata Mirza, sebelum semuanya berubah menjadi ambigu.
 
****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun