Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari kalau sebenarnya mereka sedang dihasut dan diadu domba oleh Belanda. Mereka diadu domba dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda pada waktu itu, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan Blater yang seringkali melakukan carok. Pada saat itu, mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang biasa digunakan masyarakat Madura zaman dahulu, tetapi beralih menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.
Senjata celurit ini sengaja Belanda beri kepada kaum Blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan Agama Islam. Celurit digunakan Pak Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.
Rupanya, upaya Belanda tersebut berhasil merasuki sebagian pola pikir masyarakat Madura, yang kemudian mendarah daging bahkan beralih menjadi filsafat hidup mereka. Setiap ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah dan sebagainya selalu menggunakan “langkah bijak” dengan carok; tak lebih demi menjunjung harga diri dan kehormatan. Tidak heran jika terjadi perselingkuhan dan perebutan tanah yang dilakonkan oleh orang Madura; baik di Madura, Jawa atau Kalimantan, selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun massal. Dan senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.
Kondisi semacam itulah yang membuat masyaratkat non-Madura berasumsi bahkan mengecam orang Madura adalah sekelompok masyarakat yang hobi carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau melakukan aksi pembunuhan selalu menggunakan celurit. Sehingga wajar, jika perempuan-perempuan non-Madura merasa enggan dan takut kalau didekati oleh laki-laki Madura.
Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian. Ada banyak masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, cerdas dan sebagainya. Mereka biasanya berasal dari kalangan masyarakat santri. Mereka merupakan keturunan orang-orang zaman dahulu yang melawan Belanda. Hal ini dapat direpresentasikan dengan budaya-budaya masyarakat Madura dalam bersosial dan berintraksi antar sesama suku Madura atau non Madura. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai kemanusian; seperti tolong menolong, saling menghormati dan gotong royong, juga prestasi-prestasi masyarakat Madura yang diperoleh saat ini.
Selain fenomena di atas, masih banyak cerita tetang Madura dan keunggulan masyarakatnya di berbagai bidang; baik yang berhubungan dengan kekerasan (budaya carok) atau yang berhubungan dengan aspek pendidikan di Madura yang mulai berkembang maju.
Hidup Madura…!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI