Mohon tunggu...
elmiya sari
elmiya sari Mohon Tunggu... Guru - Guru/ penulis/

Hobi membaca, menulis, olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paradigma Baru Kurikulum Merdeka Belajar dalam Membangun Budaya Positif Anak

17 Mei 2022   23:38 Diperbarui: 17 Mei 2022   23:45 1790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PARADIGMA BARU KURIKULUM MERDEKA BELAJAR DALAM MEMBANGUN BUDAYA POSITIF ANAK

ARTIKEL 11

Oleh: Elmiya Sari, S.Pd.

Tantangan Menulis 70 hari PMA

Budaya positif sejatinya harus dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu dengan cara merubah mindset. Namun  seringkali kita berpemikiran bahwa kita bisa merubah mindset seseorang dengan cara menghukum, memberi hadiah, atau jika  kedua  cara tersebut tidak berhasil maka kita akan melakukan jurus andalan  yaitu dengan memaksa.

Terdapat beberapa paradigma yang  keliru selama ini yaitu paradigma stimulus respon yang menyatakan bahwa kita bisa mengontrol murid dengan sekehendak hati tanpa memikirkan perasaan serta keinginan murid. Kita sering beranggapan bahwa dengan melakukan kritikan yang dapat menimbulkan rasa bersalah akan menguatkan karakternya. 

Kita selama ini beranggapan bahwa semua penguatan positif adalah cara yang efektif dan bermanfaat. Dan yang lebih ironis lagi kita  beranggapan bahwa orang dewasa dalam hal ini guru dan orang tua memiliki hak untuk memaksa anak-anak. Padahal paradigma stimulus respon bukanlah pilihan yang bijaksana untuk diterapkan.

Berbeda halnya dengan paradigma   teori kontrol yang  mempunyai pandangan yang bijak dalam menghadapi anak

dan orang dewasa.  Paradigma  teori kontrol beranggapan bahwa semestinya kita berusaha memahami pandangan orang lain bukan mengontrol pandangan. Teori kontrol berpendapat bahwa hanya diri kita sendiri yang dapat mengontrol apa yang menjadi prinsip dan nilai diri bukan orang  lain.

Dengan kolaborasi dan konsensus dapat menciptakan pilihan-pilihan baru melalui sharing bersama bukan dengan paksaan ketika bujukan gagal. Teori kontrol menawarkan kemenangan baik bagi diri kita dan orang lain. Karena sejatinya untuk menciptakan budaya disiplin diperlukan cara yang bijaksana. 

Berbicara tentang disiplin, disiplin sendiri berasal dari bahasa Latin, 'disciplina', yang artinya   belajar.  Meurut  Socrates dan  Plato Disiplin diri adalah suatu pemikiran yang membuat orang  menggali potensinya menuju sebuah tujuan, menurut apa yang dihargainya.

Namun dalam budaya kita makna disiplin  mengalami perubahan  yang bersifat konotasi. Makna disiplin menurut budaya kita berubah menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan.

Kecenderungan umum adalah menghubungkan kata disiplin dengan ketidak nyamanan, bukan dengan apa yang kita hargai, atau pencapaian suatu tujuan mulia. 

Sehingga selama ini anak melakukan perbuatan baik dan memilih melaksanakan suatu peraturan karena merasa takut akan hukuman yang akan diterima atau bahkan memilih bertindak disiplin karena ingin mendapatkan hadiah baik berupa barang ataupun berupa pujian.

Melaksanakan kedisiplinan dengan dengan kedua alasan tersebut dikatakan sebagai motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang terbangun dari luar. 

Motivasi  yang terbangun secara ekstrinsik hanya bersifat sementara karena jika anak merasa tidak ada yang ditakuti dan tidak adanya hukuman atau tidak tersedianya hadiah yang diinginkannya maka anak atau seseorang akan kembali melakukan pelanggaran kedisiplinan.

Lantas bagaimana cara menumbuhkan kedisipilan yang sesuai dengan teori motivasi pada  manusia?.Motivasi intrinsic dapat kita tumbuhkan dalam diri anak-anak ketika kita mampu menghargai nilai-nilai kebajikan  yang ada pada diri anak serta menuntun anak-anak untuk menemukan nilai-nilai kebajikan yang telah  diyakinnya.

Seperti apa yang telah dikatakan Ki Hadjar Dewantara melalui filosofinya, bahwasannya seorang pendidik diibaratkan  sebagai seorang petani maka ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya." (Ki Hadjar Dewantara, Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr.1937.

Menuntun untuk menumbuhkan budaya positif tak  dapat dipisahkan   dari  kata "Merdeka". Karena dengan merdeka anak merasa bebas menentukan keinginannya yang menurutnya benar  dengan tanda kutip setelah mendapat tuntunan dari guru tentang perilaku kebaikan yang ada pada anak dan anak menghargai nilai kebenaran  yang telah diyakinnya. Menurut Ki Hajar Dewantara "...merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri." (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013,Halaman 469). 

 Jika memperhatikan makna merdeka yang disampaikan Ki  Hadjar Dewatara dapat disimpulkan dengan memberikan  kemerdekaan pada anak, akan menumbuhkan motivasi intrinsic pada anak karena anak akan melakukan kedisiplinan karena paham akan manfaat kedisiplinan bagi dirinya. Anak mampu memerintah dirinya kapan waktu belajar karena anak memahami manfaat belajar bagi dirinya.

 Bagaimana proses menumbuhkan motivasi intrinsik? Menumbuhkan motivasi intrinsik tidak serta merta terbangun layaknya membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan proses dan langkah-langkah untuk megimplemenasikannya. 

 Di sekolah motivasi intrinsik harus dimulai dari diri guru sendiri sebagai penyebar virus budaya positif. Kemudian dapat dimulai di dalam kelas yang diampuhnya, lalu menjalar ke lingkungan sekolah bahkan dapat terimbas di lingkungan rumah .

 Virus budaya positif dapat di tularkan guru di kelas melalui pembentukan keyakinan kelas. Keyakinan kelas adalah suatu kesepakatan positif berisi nilai-nilai kebajkan yang dibuat bersama-sama antara guru dan siswa untuk mendukung tumbuhnya motivasi intrinsik. 

 Melalui kesepakatan kelas yang telah dibuat sendiri oleh anak, anak di beri tantangan untuk mampu melaksanakan keyakinan kelasnya dan diberikan konsekuensi yang mendidik jika anaka belum mampu melaksanakan keyakinan kelas yang telah dibuatnya. 

Sebagai contoh jika anak menumpahkan air di meja maka  konsekuensinya anak membersihkan tumpahan air di meja tersebut. Memang sih anak merasa tidak nyaman akan konsekuensinya namun itu besifat sementara setelahnya anak akan menyesuaikan diri, kaena dari sini anak akan belajar mematuhi peraturan yang bagus untuk menumbuhkan konsep pada dirinya. Anak akan menghargai  disiplin dan belajar untuk tanggap dengan peristiwa sekitar.

Ketika anak melanggar peraturan langkah yang sebaiknya di ambil guru adalah melakukan restitusi. Apakah restitusi itu? Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen;2004). Proses melakukan restitusi yaitu dengan berbicara empat mata antara murid dengan guru.

Dalam pembicaraan tersebut guru perlu  mengidentifikasi 5 dasar kebutuhan yang ada pada anak. Apakah anak tersebut melakukan pelanggaran karena membutuhkan cinta kasih/perasaan di terima. Ataukah butuh kesenangan, kebebasan, survival atau karena adanya keinginan butuh penguasaan.

Setelah mengetahui kebutuhan dasar manusia yang ada pada anak langkah selanjutnya adalah menempatkan kita (guru) pada posisi kontrol yang tepat ketika proses menuntun. Terdapat 5 posisi kontrol antara lain:

1. Guru sebagai penghukum.

Contoh perkataan guru : "Kalau kamu tidak melakukannya, awas ya! Rasakan!

2. Guru sebagai pembuat merasa bersalah pada anak.

Contoh perkataan guru : "Ayolah, lakukan demi Ibu..." "Masa kamu tidak mau, ingat tidak Ibu pernah bantu..."

3. Guru sebagai teman, guru sebagai pemantau.

Contoh perkataan guru: "Apa peraturannya?"

4. Guru sebagai manager. Contoh perkataan guru: "Apa yang kita yakini? Apa yang bisa kau kerjakan untuk memperbaiki masalah ini?"

Nah dari ke empat posisi control di atas, manakah yang anda pilih untuk menyelesaikan masalah pada siswa anda?

Yap betul, pendapat anda sama dengan pendapat saya. Saya lebih memilih posisi control sebagai manager ketika melakukan restitusi pada siswa saya yang melanggar peraturan. 

Karena dengan memposisikan diri sebagai manager akan menguakan pribadi siswa dan dampak pada murid yaitu siswa akan mengevaluasi diri bagaimana cara memperbaiki dirinya. 

Di posisi manager ini siswa akan memposisikan dirinya sebagai individu yang yang positif dari dunia yang berkualitas yang terbangun dari dalam dirinya sendiri.

 Berbeda dengan ketika kita memposisikan diri sebagai teman atau pemantau, siswa akan merasakan ketergantungan dan dan akan menyesuaikan diri jika hanya di awasi. 

Memang sih siswa akan patuh tapi murid  meletakkan guru di sebagai orang yang sangat penting di dunia berkualitas dan murid meletakkan guru peraturan dan hukum di dunia berkualitas. 

 Memang  sih anak akan patuh dengan peraturan tetapi kepatuhan tersebut terbangun dari luar yaitu adanya imbalan atau ketergantungan kepada orang lain yang biasa kita sebut motivasi ekstrinsik.

 Apalagi jika kita memposisikan diri sebagai penghukum ketika siswa melakukan suatu pelanggaran, maka kita akan menjadi guru yang gagal dalam menuntun siswa. Karena selain hanya menumbuhkan motivasi ekstrinsik siswa hasilnya siswa akan menjadi seorang pemberontak dan akan menyalahkan orang lain bahkan berbohong karena takut akan hukuman.

 Dan murid meletakkan guru di luar dunia berkualitas artinya murid tidak akan segan dan menghormati gurunya. Bagaimana bapak/ibu guru hebat? 

Sudahkah anda menentukan pilihan untuk memposisikan diri pada posisi yang tepat? Selamat....anda akan mewujudkan misi anda dalam mewujudkan visi anda untuk murd-murid tercinta.

 Dalam menyampaikan pesan terdapat tiga cara yang dapat kita lakukan agar pesan diterima siswa dengan baik. 

1. Melalui kata-kata.

Jika dihitung dalam prosentase penyampaian pesan melalui kata-kata akan terserap 10 %.

2. Melalui  nada suara

Nada suara dapat menyampaikan pesan sebanyak 35 % artinya panyampaian pesan melalui nada suara berkontribusi lebih tinggi dari pada menggunakan kata-kata.

3. Melalui bahasa non verbal/bahasa tubuh

Bapak /ibu guru hebat ternyata penyampaian pesan menggunakan bahasa non verbal atau menggunakan gesture tubuh lebih besar tersampaikan yaitu sebesar 55% artinya anak lebih memahami pesan melalui gerture tubuh misal memberikan uplouse ketika anak berani tampil, atau memberi jempol dua ketika anak berhasil menjawab pertanyaa.Atau  mengelus kepala anak jika anak berbuat baik.

 Menempatkan diri dengan menentukan posisi control sebagai manager, memahami kebutuhan dasar anak, konsekuensi, dan keyakinan kelas adalah bagian dari sebuah restitusi yaitu upaya yang dilakukan guru untuk menumbuhkan budaya positif yang terbangun secara intrinsik. 

Berikut adalah segitiga restitusi yaitu langkah-langkah menyusun pertanyaan dan perlakuan yang tepat kepada murid yang melanggar peraturan. 

Dokpri
Dokpri
1. Langkah pertama yaitu Menstabilkan Identitas 

Yaitu tindakan guru kepada murid yang bersalah dengan menjadikan murid merasa positif terhadap dirinya.

Contoh perkataan guru: 

Berbuat salah itu hal yang manusiawi,tidak ada manusia yang sempurna. Bapak/Ibu juga buat salah kita pasti bisa menyelesaikan permasalahan ini. Bapak/Ibu tidak tertarik untuk mencari tahu siapa yang benar, siapa yang salah, Bapak/Ibu lebih tertarik untuk menyelesaikan masalah. Kalau kamu menyalahkan dirimu sendiri terus menerus, apakah kamu bersikap baik pada dirimu sendiri?

2. Kedua Validasi Tindakan yang Salah.

Pada langkah ini guru membantu murid mengenali basic need/kebutuhan (basic needs (kebutuhan dasar), apakah itu power (penguasaan), freedom (kebebasan), love and belonging (diterima), fun (kesenangan) atau survival (bertahan hidup) yang ingin dipenuhinya ketika melakukan kesalahan itu.

Contoh perkataan guru:

  • Kamu bisa saja kan melakukan hal yang lebih buruk, tapi kamu tidak melakukannya kan?
  • Kamu pasti punya alasan mengapa melakukannya
  • Apa yang penting bagi kamu?
  • Kamu boleh tetap berusaha menjaga sikap itu, tapi tambahkan sikap yang lain, yang baru,
  • Maukah kamu belajar cara lain untuk mendapat yang kamu butuhkan tanpa harus memukul?
  • Apakah kamu bisa melakukan dengan lebih baik besok lagi?
  • Langkah ketiga yaitu Menanyakan Keyakinan

Pada langkah ini guru akan mengajak murid melihat kesalahannya kemudian dihubungkan dengan nilai-nilai kebajikan yang diyakininya, yang mendasari manusia berinteraksi dengan orang lain. Hal ini berhubungan dengan keyakinan kelas yang terlebih dahulu di buat dan disepakati bersama.

Contoh perkataan guru:

Apa nilai yang kita percaya di kelas/sekolah kita? Nilai-nilai kebajikan/Keyakinan apa yang telah kita sepakati? Kelas yang ideal itu seperti apa sih? Kamu ingin jadi anak seperti apa? Apa yang kamu rasakan? Ketika kamu melakukan itu, kamu menjadi orang yang seperti apa?

Nah demikianlah cara-cara pembangun budaya positif melalui paradigm baru yang dapat kita tanamkan kepada anak-anak didik kita. Semoga bermanfaat dalam membangun karakter dan terwujudnya profil pelajar Pancasila.

Salam Merdeka Belajar,

Penggerakkebaikan.

Sumber Tulisan : Modul 1.4 CGP Angkatan 4.

Penulis adalah guru pada satuan pendidikan UPT SDN WOnokerto, Kabupaten Pasuruan-Jawa Timur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun