Minggu ini aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah seorang ibu yang telah aku anggap sebagai ibu kandungku. Sampai di sana dia sangat bahagia dan raut wajahnya sangat senang sekali.
"Bu, lagi ngapain ibu sapaku sambil menyalaminya dan mencium tangannya". "Ga ada, ini lagi berjemur biar ibu kenaatahari. Dari semalam sudah di kamar saja karena aku kurang sehat", kata beliau. "Oh, ibu sakit apa, udah berapa lama ibu demam", lanjut ku. "Sebenarnya ibu udah lama kurang sehat, cuma Adek ibulah yang selalu bolak balik kemari mengantar makanan", kata beliau dengan air mata yang sudah hampir jatuh.
"Kenapa ibu tak kasih tau kami, kan kami juga bisa kemari nungguin ibu". "Ibu takut ngerepotin kalian, anak kandung ibu aja tak peduli, lihatlah sekarang ibu sudah ada dikursi roda ini, namun dalam sebulan sekali pun mereka tidak datang", katanya sambil mengusap air matanya.
"Astagfirullah ibu...apa betul begitu. Kenapa mereka tega sekali ibu. Atau apa anak-anak ibu tak tahu kalau ibu lagi sakit ? ". "Ya ga mungkin lah mereka ga tahu. Orang kemaren kan mereka yang jemput ibu dari rumah sakit", katanya sambil terisak.
Melihat sang ibu sudah menangis aku berfikir sendiri. Ada apa dengan dunia sekarang. Kenapa begitu tega anak kandung kepada ibu sendiri. Padahal ibu ini di rumahnya itu sendiri. Tidak ada yang menemani. Anaknya bulan cuma satu, ada empat orang malah. Cucu-cucunya juga sudah pada gede semuanya.
Waktu ibunya punya uang sua menadahkan tangan kepadanya. Tetapi setelah semuanya habis kok seakan tak ada yang peduli lagi. Apa mang begini ya dunia saat ini. Apa yang salah dengan pendidikan anak-anaknya. Rata-rata tamatan pendidikan tinggi. Lalu kemana ilmunya. Aku ngomong sendiri didalam hatiku.
Orang tua ini butuh banget bantuan anak cucunya apalagi keadaannya sudah saling sepuh. Matanya pun hanya sebelah yang terang, sebelahnya lagi sudah buta, karena mengalami kegagalan dalam operasi belum lama ini.
"Kamu yang bukan siapa-siapa aku malah peduli. Kalian dapat datang ke sini dalam kesibukan yang luar biasa. Ibu tahu kalian sibuk dan malah sangat sibuk. Tapi kenapa kalian biasa melihat aku. Kenapa kalian bisa menjenguk ibu yang sudah tak berdaya ini". Katanya dalam keadaan setengah marah. Sepertinya geram dengan perangai anak cucunya.
Aku coba menenangkannya. "Ibu...sekarang ya sudah, ibu tidak usah memperpanjang masalah ini. Ibu santai, ibu rileks biar penyakit ibu sembuh. Walau anak kandung ibu tak kemari, ini...ini masih ada anak angkat ibu yang peduli sama ibu".
"Kami janji setiap hari kami akan tengok ibu kemari, jadi hapus air mata ibu. Ibu harus kuat, ibu harus tegar. Ini ujian hidup ibu. Semoga ibu lulus. Aku yakin ibu bisa. Dahulu ibu kan yang selalu menguatkan aku ketika aku rapuh. Mana semangat ibu yang itu. Ibu kembalikan lagi ya. Ibu harus kuat. Ibu pasti bisa. Kami semua sayang sama ibu", kataku kepada ibu angkatku.
"Iya aku akan coba kuat. Kaulah kekuatanku itu. Tidak ada lagi yang bisa aku harap selain kamu. Terimakasih untuk kepedulianmu terhadap ibu. Ibu telah salah mendidik anak ibu sehingga dia lupa kepada ibu", katanya lagi.
"Sssst,..ibu berhentilah untuk menyalahkan diri sendiri. Ini semua bukan salah ibu. Sekarang tak usah cari siapa yang salah siapa yang benar. Yang terpenting ibu harus sehat ya, ibuku sayang, ingat ibu masih muda, ibu tidak boleh berlama-lama di kursi roda ini", kata ku menguatkannya. Padahal dia bukan muda lagi dia sudah sepuh. Umurnya sudah 80 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H