Nak, pertemuan kita memang baru menghitung bulan. Belum sampai satu tahun. Namun awal ibu melangkahkan kaki ke sekolahmu, kau sambut ibu dengan ramah dan senyum bahagia.Â
Karena keramahanmu itu, engkaupun langsung berada di hati ibu. Serasa anak kandung yang setiap hari berjumpa. Kau selalu memanggilku"bu, ibu.. bunda ratu, begitulah panggilan kesayanganmu sama ibu. Kalau ibu tak melihat ke arahmu, suaramu pun semakin kuat.Â
Kadang sengaja ibu pura-pura cuek nak, hanya ingin membuktikan apakah engkau marah atau sebaliknya. Eh ternyata tidak, engkau malah datang dan berlari ke hadapan ibu hanya untuk bersalaman.Â
Sambil tersenyum engkau berucap, "Bu, salaman dulu dong, ibu kok sombong kali sih," ucapmu kepada ibu. Ibu hanya membalas dengan senyuman, tak tau lagi mau bilang apa. Ibu hanya tersenyum, sambil bergumam, "anak ini kok lain ya dari yang lain gitu, sudahlah ganteng, rapi, ramah pula. Ngga' sombong sama sekali. Â
Saat ibu masih bengong, engkau pun berlalu masuk ke kelas. Ibu memperhatikan langkah kakimu sampai tiba di depan pintu kelasmu. Hampir setiap hari hal inilah yang engkau lakukan kepada ibu nak.
Di dalam kelaspun saat belajar, jika ada sahabatmu yang ribut atau bikin masalah, engkau marah duluan sama mereka. Padahal ibu belum ada ngomong apa-apa. Saat ibu memberimu sedikit sambal rendang, pada lebaran Idul Adha semalam, engkaupun berucap dengan candamu. "Wah mantap ni Bu, tapi ibu ikhlas kan, katamu sambil tersenyum lebar."
Apapun yang ibu mintain tolong samamu, engkau tak pernah menolak. Kau selalu datang, walaupun terkadang engkau lagi sibuk. Namun engkau pastikan ibu ini minta tolong apa begitu. Andaikan engkau tak bisa kau pasti mencarikan orang untuk menggantikannya.Â
Saat kau bawa jajananpun dari rumah, kau cari ibu dan kau bagi sama ibu nak. Engkau tak bisa memakannya sendiri. Kau ajak ibu untuk makan sama-sama dengan sahabatmu. Walau semua kebagian sedikit, tapi tetap dibagi sama ibu.Â
Hati siapa coba, yang takkan hancur, begitu mendengar Khabar kalau engkau sudah tiada. Walau aku ini bukan ibu kandungmu, tapi jujur kau itu sudah ibu anggap sebagai anak kandung ibu. Apalagi namamu hanya beda huruf dengan nama anakku. Engkau Adit, sedangkan anak ibu Adib.Â
Di mata ibu kau adalah anak yang sangat istimewa. Kau begitu tulus kepada siapapun. Wajahmu tak pernah muram apalagi masam. Setiap hari kau selalu tersenyum, walau kadang sedang ada masalah sama guru yang lain tapi kau tetap tersenyum.Â
Inilah yang tak bisa kami lupakan darimu nak. Sikapmu yang sungguh berbeda dengan yang lain itukah yang membuatmu mendapatkan tempat istimewa di hati semua guru-gurumu. Begitu juga di hati semua sahabatmu. Apalagi di hati ayah dan ibumu, serta keluarga besarmu dan masyarakat yang mengenalmu.Â
Saat kau tiada, begitu banyak air mata yang tercurah nak. Begitu banyak hati yang terluka. Serasa nyawa kami ikut terenggut bersama kepergianmu. Tak tau lagi entah ucapan apa yang akan dikeluarkan. Tak tau lagi entah rintihan dan tangisan seperti apa yang harus kami teteskan.Â
Andaikan kami semua tak bisa menahan tangis ini, mungkin raungan akan memenuhi setiap sudut rumahmu. Namun kami berusaha untuk menahan semua itu walau air mata tetap menetes dan dada terasa nyesek banget sampai hari ini.Â
Selamat jalan anakku sayang, di mata kami nasibmu sungguh malang. Namun semua itu tak terlepas dari takdir Allah atas dirimu. Kami sayang kepadamu namun ternyata Allah lebih menyayangimu lagi. Di saat kau mau pulang ke rumahmu di situlah maut merenggut nyawamu melalui tabrakan maut yang tak bisa lagi dielakkan. Engkau bersimbah darah, kami yang tinggal bersimbah air mata.Â
Dalam doa ibu dan orang tuamu, serta keluarga besarmu dan semua sahabatmu, serta karib kerabatmu handai taulan dan sebagainya, engkau selalu kami doakan nak. Semoga syurgalah tempatmu. Aamiin ya Allah ya rabbal aalamiin.Â
Sebagai bukti sayang kami kepadamu, kami antar engkau sampai ke pusaramu. Nak, walau raga kita sudah berpisah. Namun engkau tetap hidup di dalam hati kami semua. Semoga engkau tenang di alam sana nak, dan mendapatkan tempat terindah yakninya syurga.Â
Mengenang anakku tersayang
Aditya Tri Cahyono kls 9C
17 Juli 2024Â
( Hari duka yang mendalam )
Kandis Riau, Â 21 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H