Beberapa bulan belakangan ini saya memang vakum menulis di Kompasiana. Namun hal itu bukan berarti bahwa aku melupakan media online Kompasiana.Â
Rasa rindu untuk bertemu dan bertegur sapa kembali dengan sahabat-sahabat semuanya merongrong hatiku untuk kembali menuliskan rangkaian kata demi kata di halaman artikel Kompasiana ini.Â
Mungkin sahabat semuanya bertanya-tanya kenapa saya vakum beberapa bulan ini tidak menulis lagi di Kompasiana. Jawabannya adalah itu semua karena saya memulai pekerjaan baru di sekolah yang baru, tentu saja itu menyita waktu dan pikiran saya untuk fokus dan beradaptasi pada lingkungan yang baru tersebut.
Namun seiring berjalannya waktu semuanya sudah terasa baik-baik saja dan semuanya sudah menyatu baik dengan sahabat-sahabat yang baru maupun dengan anak didik yang baru.Â
Saya tentunya bahagia sekali mendapatkan sahabat yang baru dan juga anak didik yang baru yang jumlahnya luar biasa banyak dibandingkan dengan anak didik yang saya tinggalkan pada sekolah yang lama.Â
Walaupun jarak antara rumah dan sekolah sangatlah jauh boleh dibilang begitu namun tidak menyurutkan langkah saya untuk terus maju mengayunkan kaki dari rumah memakai sepeda motor dengan menempuh liku-liku perjalanan yang medannya sangatlah tidak mulus seperti jalan tol yang sahabat-sahabat lalu semua.
Untuk menempuh perjalanan ke sekolah kami melewati hutan sawit yang sangat lebat di mana jika cuaca tidak bersahabat mungkin saja hujan turun di malam hari maka jalan yang kami lalui akan sangat licin dan sangat rawan dengan kecelakaan yang membuat roda sepeda motor mungkin saja terpeleset di jalan yang sangat licin itu.
Selama bertugas di sekolah yang baru yakninya di SMP Negeri 5 Kandis, saya sudah dua kali terjatuh di jalan yang kami lalui. Tapi alhamdulillah tidak membuat cedera yang begitu parah. Cuma lecet sedikit saja dan perjalanan ke sekolah masih bisa dilanjutkan.
Menempuh hutan lebat yang begitu panjang membuat hati sangat was-was karena jalan yang dilalui sangatlah sepi di mana rumah-rumah penduduk berada jauh sekali dari perlintasan jalan yang dilalui. Apalagi ketika kami mencari jalan alternatif agar cepat sampai ke sekolah.Â
Karena kalau menempuh jalan poros yang biasa dilalui oleh semua orang ditambah lagi dengan banyaknya mobil-mobil sawit yang berlalu lalang di jalan itu maka membuat jalan itu semakin rusak dan kami yang melaluinya dengan sepeda motor jika hari musim panas maka akan berselimut dengan asap kabut dan debu yang memenuhi muka kami di belakang mobil tersebut.
Oleh karena itulah kami mencari jalan-jalan alternatif yang tidak dilalui oleh banyak kendaraan yang berlalu lalang apalagi kendaraan sawit yang muatannya ratusan ton. Di mana jalan yang diinjak oleh mobil tersebut jika hujan mendera maka akan terbenam dan akan menyulitkan bagi kami yang bersepeda motor untuk melalui jalan tersebut.Â
Hati ini sangat berharap tentunya agar jalan yang dilalui itu bisa diaspal baik oleh pihak perkebunan maupun oleh pihak pemerintah yang ada di Kabupaten. Namun harapan hanya tinggal harapan sampai hari ini jalan yang dilalui masih seperti itu dan tentunya mau tak mau jalan itu harus ditempuh karena memang jalan itulah satu-satunya menuju jalan ke sekolah tempat saya bekerja.Â
Bersyukurnya ibu kepala sekolah kami tidak mempermasalahkan seandainya saya lama datang ke sekolah disebabkan karena keadaan di jalan yang terkadang tidak bisa di terka. Mereka guru-guru yang mengajar bersama saya di sana juga sangat memaklumi keadaan saya yang menempuh jalan yang sangat rumit dibandingkan dengan mereka yang rumahnya ada tak jauh dari sekolah tempat saya bertugas.Â
Untuk sementara mengisi artikel saya pada hari ini goresan saya cukupkan sampai di sini insya Allah nanti akan saya sambung di lain waktu pada cerita dan tema yang berbeda. Demikian terima kasih.Â
Dari penulis di ujung Riau
02 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H