Dalam keluarga kecil yang akrab. Suasana hangat dan penuh cinta melingkupi ruangan yang dipenuhi harmoni.Â
Setiap jarum jam bergerak dengan lancar, mengalirkan waktu dalam irama yang sempurna. Di sudut ruangan, terdapat seorang wanita dengan senyum yang menghiasi wajahnya.Â
Sibuk mengayun bangku kayu yang indah ditemani oleh melodi musik yang indah pula. Mengalun dari pianonya yang sudah tua.Â
Setiap nada yang ditangkap oleh telinga para pendengar merasuk ke dalam jiwa, menjalin harmoni antara romantisme dan kehidupan sehari-hari.
Ya, beliau adalah seorang pecinta seni. Di masa mudanya dia seringengjabiskan waktunya untuk main piano di mana-mana.Â
Dia juga memiliki grup yang sangat kompak. Sesekali mereka yang masih ada sering juga berkumpul alyaknya anak-anak muda. Mereka bercerita mengenangasa lalu yang indah.
Aku memperhatikannya dari balik jendela rumahku. Ya nenek Juminah. Orangnya ramah, banyak sahabat, dan selalu menebar senyum pada siapapun. Hari ini tangannya yang sudah keriputpun kasih saja piawai memainkan piano itu.
Aku merasa malu dan kalah dengannya. Karena aku tak bisa memainkan alat musik apalagi piano. Sementara nek Juminah masih sering bernyanyi dengan piano yang ia miliki. Seakan piano itu adalah sahabatnya. Dia memgajak pianonya berbicara. Membuat aku tersenyum sendiri melihat tingkahnya.
Sementara itu di sudut jendela yang tak jauh darinya, duduk seorang pria berambut putih di atas kursi roda.Â
Dengan mata yang memancarkan kehangatan dan kelembutan. Ia adalah pria yang telah melalui banyak perjalanan hidup bersama nek Juminah.
Dia juga yang memahami arti kemeriahan harmoni dalam setiap ruang dan waktu bersama nek juminah. Ketika musik berhenti, suara lembutnya memecah keheningan,