Perjalanan hidup tidak ada yang tahu. Awal menapaki kaki di sebuah pondok pesantren saya sering diminta oleh ustadz dan ustadzah untuk menulis di depan kelas. Tepatnya di papan tulis. Waktu itu baru saja mulai menulis memakai spidol.
Hal ini saya lakukan untuk menggantikan guru saya agar teman-teman saya semua bisa mencatat apa yang dipelajari. Sebab guru-guru kami pada waktu itu umumnya sudah pada tua, dan tidak sanggup lagi untuk berdiri lama. Dengan senang hati saya melakukannya. Hampir setiap hari tugas saya begitu di kelas. Karena sudah terbiasa saya pun dengan senang  hati melakukannya.
Ada satu hal menarik yang selalu saya lakukan di saat usia saya masih muda belia. Yakni waktu itu saya masih duduk di bangku kelas dua tingkat SMP. Namun karena keadaan keluarga yang kurang mampu saya mencoba untuk menjadi guru privat di rumah penduduk yang letaknya tak jauh dari asrama tempat saya tinggal.
Alhamdulillah mereka mau menerima saya untuk jadi guru ngaji sama anak-anaknya. Pekerjaan itu saya lakukan pada malam hari setelah shalat Maghrib. Saya berjalan kaki menuju ke rumah tempat saya mengajar.
Namanya masih muda, badan hampir sama besar dengan murid, usia pun juga begitu, maka terkadang anak yang saya ajari mengaji malah mengajak saya untuk bermain. Saya pun mengikuti saja ajakannya itu tapi saya kasih waktu hanya sebentar. Lalu kemudian kami kembali mengaji, (belajar membaca Al Qur'an).
Alhamdulillah mereka mau mengikuti aturan saya. Anak-anak yang saya ajarin waktu itu ada tiga orang. Semuanya hampir sama besar dengan saya. Tapi saya tidak mengerti kenapa mereka patuh dan mau belajar dengan saya.Â
Inilah pelajaran hidup yang sangat berarti bagi saya. Sampai akhirnya saya tamat dari pondok itu dan melanjutkan pendidikan saya ke perguruan tinggi. Di sana pun, saat awal kuliyah saya bingung. Â Karena sudah terbiasa mengajar maka saya tidak enak hati kalau saya tidak bekerja .
Saya pun mencoba untuk mencari tempat mengajar. Di sela padatnya jam kuliyah, saya masih bisa menjadi guru. Walaupun sebenarnya sangatlah susah karena anak-anak yang saya didik pada waktu itu sangat luar biasa perangainya.Â
Dari sana saya belajar sabar dan Ikhlas dalam menghadapi tingkah laku dari berbagai macam murid-murid yang saya didik. Sampai mereka bisa curhat ke saya, ternyata ada orang tua mereka ke-duanya berada di balik jeruji besi. Mendengar penuturan mereka saya tidak bisa marah malah saya berlinang air mata.Â
Akhirnya saya belajar mengenal psikologis siswa saya. Hal ini membuat mereka semakin dekat dengan saya. Saya juga tidak tahu apakah mereka menganggap saya ini gurunya atau sahabatnya. Karena mereka dengan saya tidak memanggil ibu atau umi, akan tetapi manggil kakak.Â
Apapun itu bagi saya tidak masalah yang penting mereka mau belajar dengan saya. Anehnya ketika sudah kenaikan kelas mereka tidak mau naik kelas kalau bukan saya yang menjadi gurunya. Astagfirullah...jadi ini bagaimana kata kepala sekolah dengan saya. Padahal waktu itu seharusnya saya tidak mengajar di kelas tinggi karena saya baru pemula.Â