Mohon tunggu...
Hani Elmahida
Hani Elmahida Mohon Tunggu... Lainnya - Writer

Education, psychology, and writing enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Dari Perspektif "Ibu" - Anak adalah alasan bertahan

31 Desember 2024   07:32 Diperbarui: 31 Desember 2024   07:38 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasca kegiatan diskusi Perpustakaan Manusia oleh menjadimanusia

Ibu adalah individu dengan jutaan peran, terutama untuk anak. Menjadi Ibu bukan hal yang mudah; aspek mental, materi, serta komitmen diri tentunya penting dipersiapakan sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi orang tua dan mendidik anak. Melalui acara diskusi Perpustakaan Manusia dengan tema hari Ibu yang diadakan oleh platform menjadimanusia, banyak perspektif yang disampaikan, namun dengan satu kesamaan yaitu, anak adalah alasan bertahan.

1. Dari persepektif Ibu pejuang PTSD & bipolar

Pola asuh konvensional yang abusive digadang-gadang “berhasil” membentuk generasi “tahan banting”. Nyatanya pernyataan tersebut hanya sebuah geralisasi tanpa dasar. “C” adalah seorang Ibu yang tumbuh bersama trauma kekerasan fisik dan verbal dari pola asuh orang tuanya terdahulu yang dibawa sampai akhirnya dia mendapat diagnosa Post-Traumatic Stress Disoder (PTSD) dan bipolar, enam tahun lalu.

Sebagai seorang Ibu dengan gangguan kesehatan mental, “C” berjuang untuk sembuh karena tidak ingin mewarisi trauma masa kecil pada anak-anaknya.

Bersamaan dia sebagai survivor gangguan kejiwaan, “C” tetap berusaha menjalankan peran Ibu dengan baik. Diantaranya adalah memberikan pengertian-pengertian terkait kondisinya melalui story telling dengan anak-anaknya. Hal ini secara berkelanjutan akan menumbuhkan rasa empati yang baik pada anak.

2. Dari perspektif Ibu seorang budak korporat

Ibu rumah tangga merupakan sebuah pekerjaan tanpa imbalan materi. Ketika seorang Ibu memilih untuk berperan ganda juga sebagai pekerja korposasi, bisa bayangkan bagaimana hecticnya dia?

Hal ini yang dialami oleh “L”, Ibu dari baby new born, yang sekaligus seorang budak korporat 9-5 di Jakarta. Setelah diskusi panjang bersama suami dengan  mempertimbangkan pro dan kontra, “L” memutuskan untuk menitipkan anak di daycare selama ia bekerja.

Hal itu bukan keputusan yang mudah, ditambah dengan stigma daycare yang menjurus ke arah negatif. Meskipun begitu, sejujurnya “L” merasa sangat passionate tentang parenting dan mengurus rumah. Namun, karena adanya kebutuhan yang harus dipenuhi, “L” memilih tetap bekerja. Kontradiktif dengan ketidakhadiran “L” terjadap anaknya selama waktu kerja, justru bukan suatu hal yang perlu dikhawatirkan terkait bondingnya dengan anak. "Quality over quantity," tuturnya. Setiap ia memiliki waktu bersama dengan anak, “L” selalu memanusiakan anaknya. Hal ini dilakukan guna membangun kelekatan sang anak dengan Ibunya.

3. Dari perspektif Ibu yang memulai dengan salah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun