Mohon tunggu...
Ellyta Lufihasna Wakhanda
Ellyta Lufihasna Wakhanda Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger | Full time mom | Magister Pendidikan

Sedang belajar menulis secara konsisten :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kepercayaan Diri dan Potongan Rambut yang Dipaksakan: Relevankah dengan Kurikulum Merdeka?

12 September 2023   14:29 Diperbarui: 12 September 2023   14:38 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cukur rambut | sumber gambar: freepix.com

Razia cukur rambut di dunia pendidikan sebenarnya sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Hal ini terkait dengan peraturan sekolah dan penegakan kedisiplinan.  Di lingkungan sekolah, model potongan rambut bisa jadi tolak ukur penilaian terhadap etika kesopanan, kedisiplinan, dan kerapian. 

Potongan rambut pendek agaknya memang lebih diakui sebagai variasi potongan rambut tersopan dan paling direkomendasikan untuk laki-laki. Rambut pendek dipercaya bisa meminimalkan risiko masalah etika di sekolah hingga lingkungan sosial di luar sekolah. Sedangkan untuk perempuan, jika memiliki rambut panjang maka wajib untuk diikat dan tidak diperkenankan untuk digerai dengan alasan dapat menganggu fokus dalam belajar.

Namun, baru-baru ini razia cukur rambut menjadi topik yang cukup kontroversial di dunia pendidikan. Hal ini bersamaan dengan viralnya unggahan video di media sosial tentang seorang ibu yang protes anaknya dicukur setengah botak oleh gurunya. Lalu, adapula video oknum guru di sebuah SMA sedang memotong rambut panjang seorang siswi berhijab secara paksa karena tidak memakai ciput (dalaman jilbab) sehingga nampak rambutnya. Tapi dengan aksinya tersebut justru menambah makin nampak rambutnya dan dilihat oleh teman-teman satu kelasnya.

Berkaca dari kasus tersebut, sebenarnya yang menjadi masalah dan bersifat kontroversial bukan soal razia cukur rambutnya, melainkan cara guru dalam memotong rambut. Jika hasil cukurannya rapi, atau tidak sampai ugal-ugalan hingga pitak atau botak pastilah tidak akan viral secara negatif. 

Seperti video yang pernah beredar pula di media sosial, ada seorang guru SD yang memotong rambut peserta didik dikarenakan menemukan banyak kutu rambut dan telur kutu di rambut panjang seorang murid perempuan. Ketika video itu diunggah dan viral, justru mendapatkan banyak komentar positif dari warganet.

Maka, dalam sudut pandang sebagai orangtua, sebenarnya tidak apa-apa jika guru melakukan razia dan cukur rambut siswa dalam rangka menegakkan disiplin aturan. Tetapi, yang menjadi catatan adalah etika dalam mendisiplinkan haruslah sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. 

Mencukur rambut secara ugal-ugalan, tidak memperhatikan estetika, dimodel nyleneh, asal-asalan dengan kesan 'lucu' tentunya tentunya akan melunturkan bahkan menghilangkan rasa percaya diri peserta didik. Hal ini menurut saya tidak memanusiakan peserta didik. Jika dalam razia cukur rambut saja ada indikasi penjajahan dan pemaksaan berarti implementasi praktik baik kurikulum merdeka di sekolah tersebut masih perlu dipertanyakan. Di sini jelas tidak ada kemerdekaan berpikir, berdiskusi untuk menimbulkan kesadaran secara mandiri dari siswa untuk mengikuti aturan sekolah.

Bayangkan, kalau yang jadi korban pemotongan rambut secara paksa ini adalah siswa yang punya tipe rambut yang tumbuhnya lama, berapa lama dia harus menanggung rasa malu? berapa lama dia harus mengembalikan kepercayaan diri? Terlebih psikologis anak juga bisa terdampak karena tindakan itu dilakukan di lingkungan sekolah dan dilihat teman-temannya. 

Lalu, bagaimana anak bisa tetap merdeka belajar dengan tetap taat aturan sekolah?

Kurikulum merdeka bukan sekedar perubahan dokumen dan administrasi belaka, tetapi lebih meningkatkan kualitas hubungan guru dengan peserta didiknya. Kurikulum merdeka menawarkan pendekatan-pendekatan pendidikan yang  berpusat pada peserta didik. Sehingga guru dan sekolah perlu memiliki strategi yang lebih bijak dan hati-hati dalam upaya menerapkan aturan kedisiplinan di sekolah, termasuk aturan mengenai rambut siswa. 

Berikut strategi yang bisa guru sesuai dengan kurikulum merdeka;

1.  Jalin Komunikasi dengan Pola Bahasa Persuasif

Pola bahasa persuasif adalah pola bahasa yang mampu menembus lapisan kritis sehingga mempengaruhi bawah sadar penerimanya. Dengan pola bahasa ini, alih-alih memberi perintah dengan memaksa, berikan siswa pilihan agar siswa ikut dalam proses pengambilan keputusan terkait cukur rambut. Misalnya: Nak, kamu mau cukur rambut di salon/tukang cukur/barbershop hari ini atau bapak/ibu guru besok yang akan mencukur rambutmu? 

Komunikasi seperti ini tentunya sebagai peringatan awal dengan intonasi suara netral dan tidak menekan. Selain itu, guru juga perlu untuk melakukan visualisasi hasil cukur rambut yang diharapkan.

2. Guru sebagai Role Model/Teladan

Guru haruslah menjadi teladan dan seorang model sekaligus mentor dari murid dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah pikir, olah hati dan olah rasa mereka. Seperti semboyan Ki Hajar Dewantara, "ing ngarso sung tulodho"--di depan memberikan teladan, maka dengan pendekatan yang lebih humanis, guru dapat memberikan teladan terkait dengan aturan cukur rambut.

3. Kolaborasi dengan Orang Tua dan Profesional

Sebuah aturan atau tata tertib sekolah, apapun bentuknya, akan lebih efektif jika didukung oleh orangtua. Maka, apabila siswa masih melanggar aturan, guru dapat berkomunikasi dan kolaborasi dengan orangtua melalui surat panggilan ke sekolah, pemberitahuan melalui telepon dan WhatsApp. Selain itu guru dan pihak sekolah juga bisa berkolaborasi dengan tukang cukur profesional, dengan mengundang ke sekolah sewaktu dilakukan razia cukur rambut. Sehingga, hasil cukuran rambut lebih rapi dan tidak asal-asalan.

Zaman telah berubah menjadi era teknologi dan informasi yang mudah menyebar. Dari beberapa kasus dan kejadian, diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak. Dengan menerapkan semangat "memanusiakan manusia" semoga dapat membentuk individu yang juga humanis, berkualitas dengan etika yang kuat dan paham akan hak serta kewajiban mereka sebagai seorang manusia dalam kehidupan sosial masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun