Mohon tunggu...
Ellyta Lufihasna Wakhanda
Ellyta Lufihasna Wakhanda Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger | Full time mom | Magister Pendidikan

Sedang belajar menulis secara konsisten :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendidik dengan Hati: Bagaimana Jika Ruh dan Jiwa Itu Menjadi Keruh?

14 September 2017   10:02 Diperbarui: 14 September 2017   10:14 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa jadinya jika jiwa yang lembut, bahkan sangat lembut itu ditampar dengan kekerasan yang tiada lembut-lembutnya?

***
"Kalau lihat si ibu marah-marah ke anaknya gitu orang lain kayak juga berfikir kalau itu anak tiri/angkat. Padahal anak kandung.....ya walaupun anaknya kadang agak bandel, cuma metode pendidikannya aja yang menurut saya kurang pas."

Dari seseorang yang berbagi cerita kepada saya, tentang seorang ibu yang sering memarahi anaknya.

"Saya cuma kasian liatnya, kadang si anak sampai ngejar ibunya sambil minta maaf." Lanjutnya.

"Hmm... malah pas anaknya ke dapur nyari makan aja juga dimarahi, padahal klo ibu liat anaknya makan banyak kan malah seneng."

Saya menyimaknya, dan selintas bayangan tentang itu muncul. Bagaimana bisa? Tak adakah rasa bersalah selepas marah? Pernah seorang ibu juga bercerita kepada saya, bagaimana anaknya begitu memancing kesabarannya hingga meletuplah amarah itu. Tapi setelah itu, si Ibu merasa bersalah. Ia memandangi anaknya setiap malam kala tidur dan meneteslah air matanya sebagai wujud penyesalan.

Rasulullah SAW. pernah menegur Ummu Fadhl ketika merenggut anaknya secara kasar karena pipis di dada Rasulullah. "Pakaian yang kotor ini dapat dibersihkan dengan air," kata Rasulullah Saw, "tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan jiwa anak ini akibat renggutanmu yang kasar?" Ust. Mohammad Fauzil Adhim--Saat Berharga untuk Anak Kita.

Dari Rasulullah SAW lah kita harus banyak belajar tentang bagaimana seharusnya akhlak kita terhadap anak-anak. Marah memang hal yang manusiawi, tapi mengedepankan nafsu tanpa mempergunakan akal apakah masih bisa dikatakan manusiawi?

Sungguh bukan fisik itu yang saya takutkan terluka. Tapi ruh dan jiwa yang berada di dalamnya. Pada jejak luka yang bisa saja tertinggal, akan berbekas pula pada karakternya mendatang. Dan satu hal yang saya khawatirkan, yaitu mengerasnya fitrah hati yang lembut.

Waktu mendengar cerita yang demikian, kadang ingin rasanya pada saat itu memeluk dan mengenggam tangannya. Tidakkah kamu juga merasa seperti itu? Tapi entah saat itu pula setengah tubuh kita mengalami hemiparesis. Sebagian terasa melemah, namun tak sepenuhnya lumpuh. Kita hanya mampu menatap opera yang begitu menyayat hati, yang tak jarang membuat air mata tertahan. Dan lagi, kita kehilangan momen untuk melindungi ruh dan jiwa itu. Begitu banyak alasannya. Satu hal yang pasti, kita tidak berdaya.

Karena hampir sebagian kita hanya mampu menjadi penonton, begitu juga dengan saya pada suatu ketika saat melihat hal yang sama. Saat di tempat umum, saya melihat seorang ibu memarahi anaknya karena minta dibelikan sesuatu...Namun ibu itu justru memakinya dengan kata-kata yang buruk. Bodoh, cerewet, cengeng, dan beberapa kata yang sangat menyakitkan hati bahkan saking marahnya si Ibu mencubit anaknya sampai menangis. Apapun itu sungguh tak benar menurut saya, apalagi di depan umum. Dan pada kasus yang baru saja saya ceritakan, itu bukan pula wilayah saya, untuk melakukan sebuah tindakan pada "sang ibu dan sang anak tersebut", karena kami baru saja saling melihat. Dan belum saling mengenal.

Ya begitulah, terkadang kita yang sudah mengetahui, bahwa kekasaran, teriakan, dan segala cacian yang negatif bukanlah sebuah solusi yang terbaik, pun hanya mampu terdiam tak berdaya. Namun dengan berjuta rasa bersalah yang mendera dalam dada, karena ketidakmampuan kita, karena itu bukan wilayah, bukan hak kita.

Maka tatkala saya mendapati cerita demikian, ini justru memberikan sebuah pelajaran yang teramat berharga.

"Ketika kita, mengambil keputusan untuk menjadi seorang guru atau pengajar, entah guru apapun itu. Baik di sekolah formal, TPQ atau bahkan guru les, sungguh, tak hanya sebuah amanah yang luar biasa besar atas kita pada diri dan jiwa anak-anak didik kita, namun juga ada kesempatan dan wewenang (ekstrimnya kekuasaan) atas kita pada jiwa dan pemikiran mereka, selagi mereka berada pada "jam belajar" dengan kita. Kita akan menjadi salah satu sosok yang memiliki peran untuk membentuk mereka."---Apriani Riza.

Maka, mendidiklah dengan hati, agar fitrah keimanan mereka dapat tumbuh merekah. Karena sungguh, ketika seorang anak telah beriman, maka (InsyaAllah) imannya yang akan menggerakkan mesin dalam dirinya, baik tubuh, pikiran, maupun semangat, untuk berbuat yang terbaik yang dia mampu lakukan. Bahkan, terkadang melebihi batasan kotak dirinya.

Dan untuk penutup dari tulisan ini, mari kita berbuat dan menanamkan kebaikan pada jiwa anak-anak disekeliling kita yang teramat lembut itu, dengan cara yang baik dan santun. Pendidikan itu bukanlah dengan kekerasan, melainkan dengan kelembutan dan kasih sayang. Bahkan, dalam urusan dakwah pun, setiap dai diperintahkan untuk menyeru umat manusia dengan cara yang lembut, bijaksana, dan memberikan nasihat yang baik. (QS an-Nahl [16]: 125).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun