Sebagaimana kita memaknai kehidupan, seperti itulah kita menjalaninya. Kali ini saya ingin menyampaikan tentang sebuah filosofi Jawa.
Dalam filosofi Jawa ada sebuah ungkapan yaitu “Sejatine urip kuwi mung sawang sinawang” yang artinya kurang lebih yaitu “Hakekat hidup itu hanyalah persoalan bagaimana seseorang memandang/melihat sebuah kehidupan".
Begitu sederhana, namun memiliki kedalaman makna, itulah filosofi Jawa. Persoalan “melihat orang lain” dan “dilihat orang lain”ternyata amat sering kita jumpai bahkan kita alami sendiri.
Bahwa terkadang dalam kehidupan ini, “bayangan dari kenyataan” merupakan sesuatu yang bisa/ingin diterima pikiran kita, sementara kenyataan yang didapat kadang sama sekali berbeda atau bahkan tak pernah kita tahu.
Tahu kenapa hidup kita mulai tidak enak? Karena kita mulai memandingkan hidup kita dengan hidup orang lain.
Membandingkan apa yang mereka punya, sementara kita tidak. Terselip rasa iri akan jalan mereka yang lurus, sedang jalan kita berputar-putar penuh liku.
Menginginkan perjuangan mereka yang begitu mudah, sedang perjuangan kita begitu sulit hingga seringkali diri merasa payah. Yahh…Membandingkan adalah aktivitas tanpa akhir. Tersebab itulah kita lupa tentang hakikat syukur.
Seperti halnya Aisyah ra yang pernah “menyawang” akan nikmatnya hidup Sang Suami, Rasulullah SAW.
Namun, pada akhirnya ia terheran tatkala beliau (Rasulullah saw) sedang mengerjakan sholat tahajud sampai membuat kaki Rasulullah bengkak sebab berdiri terlalu lama.
‘Aisyah melihat hal tersebut dan berkata kepada Nabi,“Wahai Rasul, mengapa engkau selalu melakukan ini di malam hari, sedangkan hal ini bukanlah suatu kewajiban? Dan juga, bukankah semua dosa-dosamu baik yang akan datang ataupun dosa yang telah lalu akan diampuni oleh Allah?”Rasulullah Nabi Muhammad Saw. pun tersenyum dan beliau berkata,“Apakah salah apabila aku ingin menjadi Hamba Allah yang bersyukur?”
Syukur, apakah kita sudah benar-benar meresapinya dengan baik?
Menjalani hidup dengan tujuan mencari ridho Allah dan kerelaan pandangan dari sesama makhluq. Karena apapun yang kita kerjakan akan berpengaruh terhadap nasib diri kita maupun orang lain.
Baik atau buruk, amal salah atau amal shaleh yang kita kerjakan akan memperoleh penilaian, baik dari Allah SWT maupun dari sesama manusia.
Maka, ada sebuah budaya jawa yang juga mengingatkan bahwa “wong urip kuwi ngundhuh wohing pakarti, tegese wong kuwi bakal nampa wales apa kang ditindakake” yang artinya orang akan memperoleh balasan apa yang telah dilakukan selama hidupnya.
Disadari atau tidak, bayangan tentang hidup seseorang seringkali berbeda dengan kenyataan. Hingga, pada akhirnya hanya jika kita mampu menguasai seni memandang/melihat kenyataan hidup pribadi maupun orang lain.
Niscaya kita menjadi lebih peka terhadap kelemahan, kekuatan diri dan mengerti kesulitan yang dihadapi orang lain. Kita akan bersyukur dengan sesuatu yang bahkan itu sangat sederhana. Semoga kita semua senantiasa ditetapkan sebagai golongan orang-orang yang pandai bersyukur.
“..Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
(TQS. Ibrahim: 7)
Ditulis oleh Ellyta Lufihasna Wakhanda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H