Mohon tunggu...
Elly Suryani
Elly Suryani Mohon Tunggu... Human Resources - Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Membaca, menulis hasil merenung sambil ngopi itu makjleb, apalagi sambil menikmati sunrise dan sunset

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cafe Paket Co-Working Space dan Win-win Solution Bagi Pengusaha dan Mahasiswa

24 Juni 2024   03:31 Diperbarui: 24 Juni 2024   13:20 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Dok.Kompal

Tiba-tiba saya merasa semriwing membaca membaca tulisan admin Kompasiana, lupa judulnya. Pokoknya pemantik topik Pilihan Ini. Seandainya bisa ingin saya katakan, ah min, kamu berhasil memancing saya. Meski biasanya saya kurang tertarik menulis dengan tema-tema yang sudah ditentukan, baeklah, saya ikut kali ini. 

Sejujurnya sebelum topik ini muncul di Kompasiana, saya juga sudah mendengar keluhan tersebut. Kebetulan saya seorang afiliate di tiktok, mau gak mau, sering terperosok melihat hal-hal yang viral, apa saja. Sebab muncul terus di timeline saya.

Termasuk si bapak pemilik Cafe yang mengeluh, mengharapkan agar mahasiswa yang bergerombol tersebut, mbo yao beli dong minuman atau makanan disana. Masak rame-rame ngerjain tugas berjam-jam, kadang sampai cafe mau tutup pun harus menunggu mereka, yang beli cuma 1 (satu) orang ? Nah kan itu bikin cafe rugi. Kata si Bapak tersebut.

Ya saya paham, dan bisa  membayangkan. Tetapi sejurus kemudian, seketika saya teringat masa-masa puluhan tahun lalu. Saat dimana saya pada tanggal-tanggal muda menunggu dengan harap-harap cemas kiriman wesel pos dari kampung. Kiriman bapak saya, yang cuma 75 ribu. Psttt, tenang angka itu belum cukup melarat, mengingat ada teman saya yang dikirim bapaknya cuma 50 ribu. He, bayangkanlah itu tahun berapa (Ah, masih muda kok saya, he). 

Meski prihatin, saya mengenang masa-masa itu dengan indah, dengan semangat egaliter, yupz. Makan di warteg kampus, saya ingat nama Wartegnya " Warteg Bu Wito". Menunya cuma sayur gori dan goreng tempe, menghemat. Sebagai menu tambahan kalau-kalau malam saat belajar atau mengerjakan tugas saya lapar, saya beli beberapa bungkus mie instan, merknya Super Mie. Haha, saat itu hanya ada itu saja mie instan. 

Andai pada masa itu sudah marak cafe-cafe dengan free wifi seperti saat ini, mungkin sesekali saya juga akan ikut ajakan teman saya untuk ngumpul di cafe anu, cafe itu, mengerjakan tugas. Dan sangat mungkin saya juga tidak akan beli makanan atau minuman disana, meski saya sangat ingin. Alasannya sebab saya harus hidup sederhana dan ngirit. Tetapi sesekali pastilah saya beli, ice lemon tea atau kopi hitam tanpa gulanya. 

Kemudian kalau kembali ke masa kini, ke isu yang lagi naik daun, fenomena mahasiswa rame-rame ngumpul di Cafe ngerjain tugas tapi gak pesan makanan dan minuman, kalaupun pesan paling 1, 2 orang. Dan kondisi seperti itu jika terus menerus merugikan bagi pengusaha cafe. Bikin mereka empeg. Pengeluaran gak imbang dengan pemasukan dan berpotensi merugi.

Sampai disini saya agak sebal juga. Sebal pada situasi tersebut. Seharusnya ya win-win solution. Pihak cafe kasih diskon harga khusus mahasiswa, jadi mahasiswa yang mungkin saja kebanyakan adalah anak rantau, atau mahasiswa yang keuangannya tipis tertolong. Di sisi lain. mahasiswa mbo yao tahu diri juga, kalau sudah ada kemudahan, diberi harga khusus untuk mahasiswa ya belilah makanan dan minumannya.

Saya bayangkan sejatinya pengusaha cafe harus bersyukur kalau cafenya dijadikan tempat ngumpul mahasiswa untuk mengerjakan tugas, kenapa ? ya dengan adanya mahasiswa yang ramai, cafenya jadi rame. Para Gen Z itu bisa menjadi agen promosi secara tidak langsung. Lah ihat saja postingan di sosmed mereka, entah IG, tiktok, dll. Biasanya suka tampil tu, lagi bikin tugas, jepret. Tak lama kemudian Tampil suasana sibuk, laptop menyala,  minuman, entah jus atau es kopi, dan tentu saja nama cafe akan disebutkan. Kan, kan.

Saya melihat Kebanyakan cafe di Palembang sudah mulai mengusung konsep paket Co Working space untuk mahasiswa. Mereka menyediakan ruangan dengan kursi dan meja yang sangat mendukung suasana belajar dan tugas kelompok. Ada free Wifi, ruangan AC, colokan charger laptop dan HP disediakan banyak, interior yang cakep dan bikin nyaman. serta tentunya makanan dan minuman dengan harga bandrol untuk mahasiswa. 

Rasanya di beberapa kota hal tersebut sudah terjadi, di Jakarta, di Palembang juga (rasanya di Jogya juga sudah kan). Sepertinya pengusaha cafe dengan para mahasiswa di Palembang sudah saling memahami. Bahkan saya pernah liat iklan cafe co working space di sebuah Cafedi Palembang yang membandrol harga kongkow tugas bersama itu sebesar Rp.250.000 per 2 atau 3 jam (lupa) untuk 12 orang. Tentu saja itu di luar makan dan minum, baru harga tempat nyaman, beserta free wifi dll.

Lalu  masalahnya dimana ? ya memang tidak ada masalah. Kejadian viral pengusaha cafe itu ya mungkin selama ini tingkat keterus-terangannya sangat rendah, sangat sopan. 

Mungkin rasa tidak.enak. Mengingat Jogyakarta sebagai kota pelajar, berkumpul mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia dengan berbagai karakter dan kondisi. 

Selama ini mungkin dianggap biasa. Saya yakin karena kebanyakan pengusaha cafe tersebut memiliki sisi welas asih yang tinggi, mungkin melihat mahasiswa tersebut dia ingat anaknya juga dll.

Alasan lain, ya mungkin saja budaya Jawa yang ewuh pekewuh, sehingga membiarkan saja kondisi orang ngumpul nugas padahal yang beli cuma sebii dua biji. Ketika akhirnya beliau tidak tahan, meski sudah ditahan-tahan, hatinya tak rela, batin menjerit, lalu keluarkan uneg-uneg viral tersebut, wew. Kira-kira seperti ini.

"Mereka Rojali, Rombongan Jarang Beli..." 

"Nongkrong lama. Ada 30 orang, yang beli cuma 10..."

"itu terjadi hampir setiap malam..."

Win-Win Solution

Maraknya mahasiswa ngumpul di Cafe bikin tugas itu fenomena wajar. Lalu menjadi masalah ketika mereka jarang beli, yang disebut di pengusaha cafe itu sebagai oknum mahasiswa. Sebetulnya itu peluang loh, asal tau caranya. Bapak pengusaha cafe di Jogya itu kurang calak saja (Bahasa Palembang, artinya kira-kira kurang Lihay dan kurang jeli).  Coba tiru cara owner cafe di Jakarta, Palembang, atau kota-kota lain. 

Ada caranya. Ini menurut saya loh, hasil melihat dan membaca situasi, yang tentu saja pendapat pribadi. Begini kira-kira,

  • Buang jauh-jauh keluhan. Jadikan itu peluang. Tidak ada yang namanya oknum mahasiswa, yang ada hanya mahasiswa kurang beruntung, kalau tidak bisa disebut mahasiswa melarat. Harap diingat, mahasiswa itu toh anakmu juga. Mereka adalah generasi penerus bangsa ini.
  • Lengkapi fasilitas cafe sehingga nyaman dan layak, ruangan besar dilengkapi meja kursi, colokan, free wifi, AC dll
  • buat aturan yang jelas, sediakan paket ruangan untuk berkerja atau Tugas bersama dengan harga paket. Misal sekian ratus ribu untuk durasi sekian jam, untuk mahasiswa berjumlah sekian orang.  Kan mahasiswa tinggal berpikir. Jika sanggup let's go. Jika tidak, ya nugas rame-rame ke kosan teman, atau taman kota yang free wifi dll. Atau mereka bisa urunan. Jika ada yang kurang mampu tapi otaknya encer, biasanya teman-temannya tidak keberatan bayari dia. Setau saya rasa setia kawan mereka tinggi, jika ada yang kurang mampu, bisa ditutupi oleh teman lain. Kalau Nah dari harga paket ruang saja kan sudah lumayan. 
  • Agar mereka juga pesan semua makanan dan minuman, ya kasih diskon harga makanan dan minuman untuk mahasiswa.
  • Banyak senyum dan doa. Jangan ewuh-pekewuh, eh tau duarrrr, mengeluh di sosmed, ah gak banget.  

Selanjutnya dari sisi mahasiswa ya... taulah kalian. Masa muda harus diisi dengan perjuangan, banyak membaca, banyak belajar. Jika memang harus kumpul di ruang kerja bersama, ya ikutlah. Belilah segelas es teh, atau apa. Masih banyak pos lain yang bisa dihemat. Misal tidak merokok. Banyak peluang rezeki halal di zaman canggih ini, semua bisa jadi duit.  Jangan pelit-pelit, hehe.

Co-Working Space Milik Pemerintah

Bagi saya pribadi fenomena maraknya mahasiswa ngumpul bikin tugas bersama di cafe-cafe tersebut, bukanlah ditenggarai kurangnya Ruang Kerja Bersama di Daerah. Tapi karena mereka lebih menyukai suasana santai di cafe tersebut.

Ada banyak sekali Ruang kerja Bersama atau Co-Working Space uang diinisiasi pemerintah. Baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Tahun 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah memiliki rencana untuk menyulap gedung-gedung aset negara yaitu gedung kementerian dan lembaga menjadi ruang kerja bersaam atau co-working space. 

Hal yang beliau pikirkan dari melihat perkembangan kebutuhan para generasi muda. Ini terjadi karena banyak gedung kementerian dan lembaga tersebut yang belum optimal, belum semuanya terisi penuh, padahal lokasinya sangat strategis dan mumpuni. Ya sekaligus untuk mengoptimalkan penggunaan aset negara.

Sementara itu, BUMN juga turut bergerak. Pada Tahun 2020 PT.POS Indonesia melalui anak perusahannya PT Pos Properti mengembangkan bisnis Co Working Space dengan mengandeng Pemerintah Daerah. Bisnis yang dikembangkan melalui aset kantor-kantor eksisting milik Pos Indonesia di daerah-daerah.  Ide bagus mengingat gedung-gedung kantor pos memang harus dioptimalkan.

Pemrov Jakarta mempunyai Jakarta Creatice Hub. Pemprov Jogyakarta juga punya, mungkin dengan  nama yang lain. Provinsi Sumatera Selatan, salah satunya di Palembang ada Utopia Collaboration Space. Demikian pula provinsi lain. Co Working space sudah mulai banyak di berbagai daerah? 

Mau ditambah lagi, ya silahkan. Hal yang harus dilihat lagi adalah soal masa depan pembangunan Co-Working space tersebut. 

Banyak bisnis Co-Working Space yang mulai dibangun di Tahun 2017 dst tumbang, antara lain akibat dampak Covid-19. 

Kumpul di Cafe atau di Co-Working Space yang dibangun Pemerintah ?

Bagi mahasiswa sepertinya lebih memilih nongkrog di cafe. Sebab co-working space yang dibangun pemerintah, maupun oleh BUMN, kurang greget bagi mereka. Faktanya co-working space memang lebih banyak diisi oleh para pekerja, pekerja lepasan, pekerja freelance maupun wirausaha. 

Lah mahasiswa? Entahlah. Mungkin saja cafe itu lebih menggoda. Bisa membuat mata lebih lebar memandang  Banyak cewek-cewek cakep datang ke cafe, dan lain-lain. Ya kalau sekadar cari wifi gratis, bukankah hampir semua arena publik, entah mall, entah taman-taman itu dilengkapi dengan wifi? mereka kurang tertarik.  

Sebagai contoh, salah satu BUMN di Palembang Telkomsel itu ada ruangan khusus yang disedikan untuk anak muda dan mahasiswa kumpul-kumpul, melakukan tugas kelompok, event-event. Ruang tersebut saya kira disediakan Telkomsel hampir di semua Kota besar di Indonesia. Faktanya, saya lihat yang di Palembang, jika tidak ada undangan  event tertentu sangatlah jarang mahasiswa datang kesana untuk mengerjakan tugas dsb. 

Maka cafe yang mengusung konsep Co-Working Space adalah salah satu solusi. Solusi sama-sama menguntungkan, win-win solution seperti yang saya urai di atas tadi. 

Pengusaha Cafe bikin aturan yang jelas, penyewaan paket ruang cafe sebagai ruang co-working space sekaligus kasih harga diskon untuk mahasiswa, dan mahasiwa juga tau diri. Dan rasanya cafe di Jogya sudah banyak yang mengusung konsep paket Co-Working space tersebut. Entahlah. 

Begitulah. Tentu saja hanya pendapat pribadi. Tidak ada yang bisa menyelesaikan masalah kecuali keterus terangan dan kejelasan aturan, serta semangat untuk saling menghargai dan win-win solution. 

Salam Kompasiana. Salam Kompal Selalu.

Sumber Foto : Dok.Kompal
Sumber Foto : Dok.Kompal


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun