Akhirnya saya tulis juga serangkaian gesahan saya tentang Simbur Cahaya. Ya, kapan lagi begesah soal Simbur Cahaya kalau gak pada event seperti ini. Mari.
Bagi rata-rata Wong Plembang atau Wong Sumsel pada Umumnya, Kata “Simbur Cahaya" (asal katanya dahulu adalah Simboer Tjahaya) cukup dikenal dengan baik. Bahkan tak sekadar dikenal juga disegani. Saya juga menyeganinya.Â
Siapa Wong Plembang atau Wong Sumsel yang tak kenal Simbur  Cahaya? Tak ada ? Tentu saja ada. Kebanyakan yang tak mengenal itu adalah Kaum Z yang sekarang dijuluki generasi Strawberry. Kebanyakan mereka tak mengenal Kata Simbur  Cahaya. Dan artinya…. Jumlah yang tak mengenal Simbur Cahaya itu rupanya banyak juga, ahhhhh.
Salahkah mereka? Tentu saja tidak. Gaung Kitab Undang Undang Simbur Cahaya saat ini memang semakin menghilang. Bahkan saya dan rata-rata teman senagkatan saya (angkatan generasi X, hahaha)Â hanya membaca naskah PDFnya. Naskah aslinya konon berada di Belanda. Entahlah.
Apakah Simbur Cahaya itu?
Simbur Cahaya adalah sebuah Undang Undang yang mengatur sendi-sendi kehidupan manusia yang disusun oleh Ratu Sinuhun pada abad ke XVII di masa Pemerintahan Pangeran Sido Ing Kenayan. Ratu Sibuhun adalah Permaisuri atauIstri Pangeran Sido Ing Kenayan. Konon Ratu Sibuhun memadukan antara Ajara Islam dan Kearifan Lokal Masyarakat Melayu.
Undang Undang yang awalnya digunakan untuk mengatur urusan Pemerintahan, juga mengatur hubungan antar warga di daerah Uluan Sumatera Selatan. Lama kelamaan Undang Undang Simbur Cahaya juga digunakan di hampir seantero Sumatera Selatan, juga dikenal sebagai cikal bakal Undang Undang Desa.
Tahapan Tersusunnya Kitab Undang Undang Simbur Cahaya
Undang Undang Simbur Cahaya mulai diterapkan pada Tahun 1630 yang berlaku secara terbatas di daerah pedalaman (uluan) dan tidak untuk kalangan Kesultanan Palembang. Konon awalnya Undang Undang ini disebut Piagem Ratu Sinuhun. Pada masa Pemerintahan Sultan Abdurrahman piagam ini mengalami perubahan dan diperluas menjadi Undang Undang Sindang Marga yang artinya Undang Undang Daerah.
Pada Tahun 1824 Undang Undang ini mengalami perubahan, tak lagi mengatur pemerintahan tetapi hanya mengatur persoalan adat istiadat dan namanya berubah menjadi Undang Undang Simbur Cahaya. Pendapat beberapa pihak, ini adalah campur tangan pemerintah Kolonial Belanda pada saat itu yang tidak mau pemerintahan diatur oleh Undang Undang ini. Dengan demikian bab tentang pemerintahan dihilangkan
Pada Tahun 1897, Undang Undang Simbur Cahaya dicetak pertama kali dalam Aksara Melayu. Selanjutnya pada Tahun 1939 Undang Undang ini dicetak dengan huruf latin. Kemudian pada Tahun 1994 (betulkah Tahun 1994 !?, saya masih ragu tahunnya) Undang Undang Ini diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia diprakarsai oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu. Nah katanya ada perbedaan versi saat cetakan Aksara Arab Melayu dan Cetakan Latin.
Isi Kitab Undang Undang Simbur Cahaya
Undang Undang Simbur Cahaya terdiri dari 6 (enam) Bab dengan jumlah totoal 178 pasal. Dengan rincin sebagai berikut
Bab I, terdiri dari 32 pasal membahas tentang adat Bujang-Gadis dan Kawin (Pernikahan)
Bab II, terdiri dari 29 pasal mengatur tentang aturan Marga
Bab III, terdiri dari 34 pasal mengatur tentang aturan Dusun dan Berladang
Bab IV, terdiri dari 19 pasal mengatur  tentang Aturan Kaum
Bab V, terdiri atas 58 pasal mengatur tentang Adat Perhukuman
Bab VI, terdiri dari 6 pasal mengatur tentang Uang Denda Â
Simbur Cahaya, Sebagai Sebuah Matra/Doa
Selain sebuah Kitab Undang Undang, saya pribadi mengenal kata Simbur Cahaya sebagai sebuah larik-larik  matra atau doa warisan dari nenek, Nyai, buyut kami dahulu. Mungkin ini adalah rapalan doa  yang adalah perpaduan kearifan lokal masyarakat dengan budaya Islam.Â
Masih terngiang-ngiang di kepala saya larik-larik doa tersebut. Entah kenapa terdengar di kepala saya bak mantra. Konon para Gadis zaman dahulu  memiliki doa saat mandi, tepatnya saat mengguyurkan air ke tubuh mereka. Kira-kira seperti ini,
Simbur ke kiri, simbur ke kanan
Matahari di kiriku, rembulan di kananku
Berangkatlah cahayaku Nonti
Berkat la Illah ha IllahlahÂ
He, sebab saya yang saat itu masih kecil tak begitu paham juga tak begitu meyakini mantra doa-doa rapalan seperti itu, jadi saya tak pernah mengamalkan doa mandi tersebut. Mungkin sebab itu saya tak sebercahaya, hehe, saudara saya yang lain yang dengan sigap menyerap doa rapalan dari nyai kami saat itu.
Sampai saat ini, saya jadi sering berpikir gerangan apa yang membuat Nama Kitab Simbur Cahaya itu mirip dengan doa rapalan para gadis saat mandi yang diwariskan nenek moyang kami ? Sama-sama Simbur Cahaya. Meski sering memikirkannya, sampai saat ini saya belum mendapat jawaban yang memuaskan.
Akhirnya saya berpikir sendiri, ya bisa jadi karena Ratu Sinuhun itu hidup sezaman dengan nenek moyang kami yang entah berapa generasi sebelum saya. Mereka dibesarkan dengan adat dan budaya yang sama, adat yang didasari ajaran Islam juga  kearifan lokal masyarakat melayu zaman dahulu.  Bisa jadi Ratu Sinuhun menganalisa lebih dalam, dan menjadikannya judul Kitab Undang Undang  yang disusunnya. Entahlah. Tentu saja membutuhkan penelitian yang mendalam. Memangnya siapa saya, he.Â
Apa yang bisa kita lakukan ke Depan
Kembali ke bahasan awal, tentang makin terlupakannya Undang Undang  Simbur Cahaya, maka menurut saya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Antara lain,
1. Mencari dan menelisik Kitab asli Simbur Cahaya, baik versi cetakan Arab Melayu maupun Cetakan Latin. Membandingkannya secara utuh. Termasuk mempelajari Pasal Pemerintahan yang dihilangkan oleh Pemerintah Belanda. Siapa yang harus melakukannya? ya Bisa pemerintah lewat Dewan Kebudayaan, Fakultas Bahasa dan Seni Budaya, apapun namanya. Selain pemerintah, barangkali Komunitas dan lembaga Budaya bisa juga melakukannya.
2. Memperbanyak penerbitan dan membagikannya di banyak perpustakaan. Akan bagus sekali juga jika Simbur Cahaya dijadikan bacaan wajib pada siswa SMA, untuk kurikulum terkait kearifan lokal. Bahkan jika dijadikan bacaan wajib mata kuliah Ilmu Budaya Dasar, di beberapa perguruan tinggi, saya kira bagus sekali. Siapa yang akan melakukan, ya Dinas Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
3. Memperbanyak pengenalan Simbur Cahaya Kepada Generasi Muda kita. Banyak cara bisa dilakukan, seperti mengadakan seminar, diskusi, bahkan lomba membuat resensi dan ulasan tentang Simbur Cahaya. Siapa yang melakukan, bisa Pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang di level daerah adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Bisa pula Badan Eksekutif Mahasiswa, komunitas budaya, komunitas pemuda, temasuk Komunitas Kompasiana, Kompal misalnya.
4. Menggunakan intisari Simbur Cahaya sebagai bagian dari Perencanaan Pembangunan. Entah Perencanaan Jangka Panjang 20 Tahun (RPJPD), Perencanaan 5 tahun (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), maupun Perencanaan Tahunan. Ketika Simbur Cahaya dmasukan ke dalam dokumen perencanaan Pembangunan, maka strategi, kebijakan pembangunan dan program/kegiatan, terutama bidang Kebudayaan, Â diharapkan sesuai dengan kearifan lokal dan akar serta kondisi masyarakat Sumatera Selatan. Siapa yang akan melakukan? tentu saja pemerintah daerah.
5. Melanjutkan penelisikan dan penelitian mendalam tentang hubungan Undang Undang Simbur Cahaya dengan Doa Rapalan Mandi Gadis-gadis zaman dahulu. Siapa yang akan melakukan ? ya siapa saja yang tertarik.
Nomor terakhir, itu harapan saya. Tetapi jika ada yang melakukan, saya yakin semangat para generasi muda, terutama gadis remaja, akan semakin tinggi untuk mengenal Simbur Cahaya.Â
Demikian. Tentu saja pendapat pribadi. Salam Kompasiana. Â
Rujukan: Simbur Cahaya PDF
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H