Berangkatlah cahayaku Nonti
Berkat la Illah ha IllahlahÂ
He, sebab saya yang saat itu masih kecil tak begitu paham juga tak begitu meyakini mantra doa-doa rapalan seperti itu, jadi saya tak pernah mengamalkan doa mandi tersebut. Mungkin sebab itu saya tak sebercahaya, hehe, saudara saya yang lain yang dengan sigap menyerap doa rapalan dari nyai kami saat itu.
Sampai saat ini, saya jadi sering berpikir gerangan apa yang membuat Nama Kitab Simbur Cahaya itu mirip dengan doa rapalan para gadis saat mandi yang diwariskan nenek moyang kami ? Sama-sama Simbur Cahaya. Meski sering memikirkannya, sampai saat ini saya belum mendapat jawaban yang memuaskan.
Akhirnya saya berpikir sendiri, ya bisa jadi karena Ratu Sinuhun itu hidup sezaman dengan nenek moyang kami yang entah berapa generasi sebelum saya. Mereka dibesarkan dengan adat dan budaya yang sama, adat yang didasari ajaran Islam juga  kearifan lokal masyarakat melayu zaman dahulu.  Bisa jadi Ratu Sinuhun menganalisa lebih dalam, dan menjadikannya judul Kitab Undang Undang  yang disusunnya. Entahlah. Tentu saja membutuhkan penelitian yang mendalam. Memangnya siapa saya, he.Â
Apa yang bisa kita lakukan ke Depan
Kembali ke bahasan awal, tentang makin terlupakannya Undang Undang  Simbur Cahaya, maka menurut saya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Antara lain,
1. Mencari dan menelisik Kitab asli Simbur Cahaya, baik versi cetakan Arab Melayu maupun Cetakan Latin. Membandingkannya secara utuh. Termasuk mempelajari Pasal Pemerintahan yang dihilangkan oleh Pemerintah Belanda. Siapa yang harus melakukannya? ya Bisa pemerintah lewat Dewan Kebudayaan, Fakultas Bahasa dan Seni Budaya, apapun namanya. Selain pemerintah, barangkali Komunitas dan lembaga Budaya bisa juga melakukannya.
2. Memperbanyak penerbitan dan membagikannya di banyak perpustakaan. Akan bagus sekali juga jika Simbur Cahaya dijadikan bacaan wajib pada siswa SMA, untuk kurikulum terkait kearifan lokal. Bahkan jika dijadikan bacaan wajib mata kuliah Ilmu Budaya Dasar, di beberapa perguruan tinggi, saya kira bagus sekali. Siapa yang akan melakukan, ya Dinas Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
3. Memperbanyak pengenalan Simbur Cahaya Kepada Generasi Muda kita. Banyak cara bisa dilakukan, seperti mengadakan seminar, diskusi, bahkan lomba membuat resensi dan ulasan tentang Simbur Cahaya. Siapa yang melakukan, bisa Pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang di level daerah adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Bisa pula Badan Eksekutif Mahasiswa, komunitas budaya, komunitas pemuda, temasuk Komunitas Kompasiana, Kompal misalnya.
4. Menggunakan intisari Simbur Cahaya sebagai bagian dari Perencanaan Pembangunan. Entah Perencanaan Jangka Panjang 20 Tahun (RPJPD), Perencanaan 5 tahun (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), maupun Perencanaan Tahunan. Ketika Simbur Cahaya dmasukan ke dalam dokumen perencanaan Pembangunan, maka strategi, kebijakan pembangunan dan program/kegiatan, terutama bidang Kebudayaan, Â diharapkan sesuai dengan kearifan lokal dan akar serta kondisi masyarakat Sumatera Selatan. Siapa yang akan melakukan? tentu saja pemerintah daerah.
5. Melanjutkan penelisikan dan penelitian mendalam tentang hubungan Undang Undang Simbur Cahaya dengan Doa Rapalan Mandi Gadis-gadis zaman dahulu. Siapa yang akan melakukan ? ya siapa saja yang tertarik.