Zaman kecil dulu, Jauh hari sebelum puasa dimulai biasanya guru mengaji di surau sudah memberi nasehat. Banyak pesan dan nasehat beliau, diantaranya agar pada bulan ramadan kita perbanyak amal dan sedekah. Jangan lupa taraweh, sholat lima waktu apalagi. Kami juga diajarkan untuk banyak tadarusan dan lain sebagainya.Â
Rasanya hampir semua kita mengalami masa diberi wejangan dan nasehat tentang puasa baik oleh orang tua, guru mengaji di masjid atau guru agama di sekolah ketika kita kecil dulu.Â
Hal yang masih saya ingat sampai sekarang adalah nasehat Guru Agama saya di Sekolah, namanya Pak Mahmud.Â
Apa nasehat beliau yang masih saya ingat itu? Jika kamu tidak bersedih berpisah dengan bulan ramadan yang baru saja berlalu, artinya kamu tidak mendapat apa-apa dari ramadan itu kecuali hanya haus dan lapar. Â
Ketika mulai agak dewasa, nasehat itu sering saya renungkan lagi (terutama menjelang akhir ramadan seperti saat ini). Kenapa kalau kita tidak bersedih berpisah dengan bulan Ramadan maka artinya kita tidak mendapat apa-apa dari ramadan yang sudah kita lalui kecuali haus dan lapar? Kita yang puasanya sekadar menahan lapar dan haus, dan tidak merasakan indahnya ramadan.Â
Sabda Nabi Muhammad SAW, Â "Betapa banyak orang-orang yang berpuasa tidak mendapatkan balasan kecuali lapar dan haus" (HR. Ath-Thabrani)
Jika diandai-andaikan hal lain, katakanlah kekasih. Maka kita akan bersedih berpisah dengan kekasih karena kita cinta dan sayang padanya. Kenapa kita cinta dan sayang ? karena berkat dia kita menjadi lebih baik, kita merasakan manfaat. Kita merasa hidup kita lebih berkah, lebih indah. Â Â
Jika kita tidak bersedih berpisah dengan bulan ramadan, artinya kita tidak cinta pada bulan ramadan. Kita tidak cinta sebab kita tidak merasakan manfaat, berkah dan kebaikan pada diri kita karena bulan ramadan. Jika ini terjadi maka patut kita waspadai.
Ramadan menjadi bermanfaat atau tidak sangat tergantung bagaimana kesungguhan dan sikap kita. Jika kita bersungguh-sungguh dan menjalankan ibadah ramadan yang bukan sekadar ritual, bukan basa-basi, Â insaAllah akan bermanfaat bagi hidup kita.
3 (Tiga) Cara Bersungguh-sungguh dan Tidak Basa-basi Pada Ramadan Kita
- Jujur dengan diri sendiri dan jujur pada Allah. Meski bulan Ramadan juga bukan segalanya, bukan hanya Ramadan yang bisa membuat kita lebih baik, tapi ramadan adalah kesempatan yang harus kita isi dengan baik. Tidak semua orang mendapat makrifat Lailatul Qadar. Tetapi bagi saya pribadi ketika kita melihat ramadan kita dengan indah dan mengisi hari-hari bulan ramadan kita dengan indah pula (dengan keutamaan sebagaimana diajarkan Al Qur'an dan hadist melalui orang tua, guru-guru dan ulama di sekitar kita), tanpa keterpaksaan, tanpa basa-basi dan bukan sekadar ritual tanpa makna, kita telah cukup berhasil menyinari ramadan kita meski bukan dari Lailatul Qadar. Penting untuk bersungguh-sungguh dan menjalankan bulan ramadan yang bukan sekadar ritual. Jangan kejadian seperti ini. Tiap masuk ramadan, jari segera menulis di sosmed, alhamdulillah segera tiba ramadan yang barokah. Padahal faktanya tidak mengindahkan dan mengisi ramadan dengan baik. Â Faktanya banyak melakukan kesia-sian yang menghilangkan pahala ramadan. Ini yang saya sebut basa-basi. Ketika ramadan akan berakhir, paling duluan menulis "sedihnya berpisah dengan ramadan.....". Sementara faktanya dia sedang ketawa-tawa sambil merokok, minum es dan lain sebagainya. Inipun basa-basi. Padahal ramadan tidak butuh basa-basi kita. Allah tidak butuh basa-basi kita. Kita sendiri yang rugi dengan basa-basi itu.
- Setiap hari menjaga ramadan kita. Ramadan kita perlu dijaga agar tidak rusak dan tidak hilang pahalanya. Nabi Muhammad SAW bersabda  "Betapa banyak orang-orang yang berpuasa tidak mendapatkan balasan kecuali lapar dan haus" (HR. Ath-Thabrani). Puasa yang sia-sia itu adalah puasa yang kehilangan pahalanya. Puasanya tidak batal tapi pahala puasanya dicabut Allah. Puasa tapi hatinya tidak puasa. Mulut dan jarinya tidak puasa dari melakukan hal-hal tercela. Masih mencela dan menghujat, menghujat pemerintah soal penanganan Pandemi Covid-19 dia sendiri tidak aware dengan gerakan memutus rantai penyebaran. Ada yang jelas-jelas menyebut dirinya ustadz tapi isi twiternya fitnah, kadang hoax dan hujatan. Bulan ramadan juga tidak menyurutkan hujatan dan celaannya. Ini yang kata Ustadz Adi LC puasa yang rusak pahalanya. Pahalanya berkurang karena perbuatan buruk tadi. Jika diandaikan dengan contoh ketika melakukan keburukan berkata buruk dan kotor pahala puasa dikurangi 25 persen, mencaci dikurangi lagi 25 persen, saling mencela dikurangi 25 persen, membuat hoax baik karena iseng sendiri atau memang  jadi buzzer hoax dikurangi lagi 25 persen. Nah habis  dong pahala puasanya.
- Menjaga Momentum Ramadan di Bulan-bulan Selanjutnya. Ramadan baik dan penuh berkah itu esensinya harus dilanjutkan dan dikawal pada 11 (sebelas) bulan lainnya. Ini adalah salah satu cara menjaga dan mengawal kesungguhan kita pada ramadan kita. Jika tidak, kebaikannya akan terputus. Menahan hawa nafsu dari perbuatan buruk harus diteruskan. Memperbanyak ibadah sunnah harus diteruskan. Jika tidak, sama seperti ikut diklat, selesai diklat ilmu dari diklat tidak diamalkan. Alat ukurnya hati nurani kita sendiri. Jika kita merasa ada banyak kebaikan bulan ramadan yang baik untuk kita lanjutkan, maka lanjutkan. Kita yang memutuskan untuk hidup kita sendiri.Â
Sejatinya belajar melakukan kajian atau mengikuti pengajian atau majlis harus kita lakukan tak hanya bulan ramadan. Tetapi dilakukan selama ramadan jelas menambah pahala dan manfaat untuk kita. Melakukan pengajian sekarang bisa lebih mudah, lewat youtube bisa. Lewat TV bisa. Baca bukupun bisa. Mana pengajian yang harus kita pilih, mana kajian yang tepat untuk kita, sekali lagi kitalah yang menentukan. Hati nurani dan akal sehat kita akan menuntun kita sepanjang kita mau jeda mendengarkan hati nurani kita.Â
Puasa itu intinya pengendalian diri dengan membentuk ahlak. Selain Ustadz Adi LC, saya juga suka mendengarkan ceramah Abi Quraish Shihab. Ini salah satu yang saya suka tentang perlunya puasa dari bicara yang sia-sia dan tidak fair karena kita ada kepentingan.Â
Belajar itu sepanjang hayat, dan kepada siapa saja. Kadang dari pemulung kita belajar ilmu ikhlas. Seorang Tukang Becak yang mangkal di dekat kantor saya, saya dapat pelajaran. Tiap hari dia menepikan becaknya di halaman belakang kantor kami. Saya perhatikan, rupanya dia melaksanakan sholat Dhuha. Setelah sholat dia lama duduk bersimpuh berdoa. Saat itu saya malu dengan diiri sendiri. Bapak tua tukang becak itu mengajari saya tentang ikhtiar dan doa sungguh-sungguh tanpa kata-kata.
Pengalaman lain, waktu masih zaman sekolah dulu, di masjid kampus ada banyak komunitas pengajian saat bulan ramadan. Saya pernah ikut salah satu pengajian. Pertama-tama enak dan saya merasakan banyak manfaat. Lama-lama, hati nurani saya berontak (mungkin dituntun jiwa pemberontak saya) ketika seorang kakak senior dalam pengajian itu terlalu mengatur dan agak bertolak-belakang dengan fakta yang saya lihat. Jangan ikut pengajian bapak A, bapak B, bapak Z, mereka sesat. Padahal saya melihat bapak-bapak Ustadz yang disebut tadi baik-baik saja, dan saya tidak menemukan kesesatannya. Zaman itu beberapa komunitas mudah sekali menyebut si A sesat, si C kafir hanya karena tidak sesuai dengan pakem yang diyakini mereka dengan alasan memurnikan Aqidah dengan filter keyakinan kajian kelompok, hm.