Judul yang menggenaskan. Tetapi sejujurnya judul itu sengaja saya pasang saking grundelnya saya sekaligus mengajak supaya kita berpikir, introspeksi diri, betulkah Perempuan (memang) untuk diperah? Diperah.....!?
Eits, jangan salah. Kalimat itu awalnya muncul dari mulut seorang perempuan juga. Dugaan saya barangkali karena ia merasa sebal sekaligus terpuruk melihat kondisi itu, mungkin.
Kalau anda ditanya betulkah perempuan itu memang untuk diperah? saya yakin banyak yang tidak setuju dengan kalimat ini baik perempuan maupun laki-laki. Meskipun sadar atau tidak sadar ada yang mempraktikkan pemerahan/eksploitasi walaupun hanya sekian persen.
Di sisi lain, kadang perempuan sendiri memposisikan dirinya layak untuk diperah dengan alasan dia sebagai perempuan adalah mahluk yang harus mengamini laki-laki. Jika tidak demikian, laki-laki akan tidak menyukainya.
Contoh kasus, seorang perempuan, konon dokter (punya klinik), lajang, kebetulan janda, ketika sedang makan dengan laki-laki (bukan suami, bukan pacar, entahlah), dia memposisikan dirinya sebagai pelayan manja.
Mengambilkan nasi dan minum laki-laki teman makannya. Ketika sedang makan di Gerai Fastfood, dia mengambilkan sambal untuk cocolan ayam goreng untuk si lelaki, apahhh? Gak sekalian si lelaki itu disuapi juga, hiks.
Ini cerita nyata dari seorang teman. Perempuan itu melakukan beberapa pelayanan atas inisiatif sendiri ketika sedang bersama pria. Alasannya, saya bosan maen ego, katanya. Sebelumnya, hubungan perempuan tersebut dengan beberapa laki-laki sering kandas. Menurutnya laki-laki menuntutnya harus menurut dan melayani. Alhasil dia percaya bahwa perempuan itu fitrahnya harus mengalah dan melayani lelaki. Perempuan itu swargo nunut neroko katut, katanya. Saya bilang sih, ini sungguh menggenaskan.
Sebelum tiba di obrolan seksi tapi agak menggenaskan dengan judul di atas, saya terperangah dengan unggahan seorang kawan di IGnya. Jadi dia sedang mencari calon istri yang sholehah, mandiri tapi perkasa. Beberapa kriteria yang diinginkan adalah sebagai berikut
Rajin bangun pagi
Rajin ibadahnya
Kuat angkat galon
Pintar ganti gas elpiji
Rajin beres-beres rumah
Pinter bedain nama-nama bumbu dapur
Bisa masak Pare jadi gak pahit
Bisa ngiris tempe setipis kartu ATM
Gubrak, itu mau cari calon istri atau untuk mba Penunggu Warteg ? komentar saya. He, tapi saya yakin teman saya tersebut seorang akhi yang betul-betul tulus mencari calon istri yang perkasa dan mandiri untuk dicintai, dengan cara dia tentu saja. Misal ketika istrinya nanti kecapekan akan dia pijit kakinya, istrinya tidak dia paksa bekerja pula mencari nafkah
Tidak selesai sampai disitu. Obrolan atau diskusi itu berkembang spontan. Melebar ke beberapa kasus eksploitasi perempuan. Ada teman yang nyeletuk, begitulah. Teman perempuan saya malah bilang...Perempuan itu memang untuk diperah.
Ya, perahan atau istilah lainnya eksploitasi terhadap perempuan memang banyak terjadi. Pun ketika telah menikah, esploitasi terhadap perempuan juga banyak terjadi. Bermula dari kesadaran seorang istri untuk membantu mencari tambahan pendapatan keluarga hingga akhirnya perempuan terbebani. Selama suami-istri sepakat, dan dilakukan atas sukarela mungkin tidak bisa disebut eksploitasi.
Asalkan ada pembagian peran yang jelas, disepakati dengan sukarela dan bukan pemaksaan. Misal ketika suami sedang PHK, atau sakit maka istri bisa mencari nafkah meski secara agama itu bukan kewajibannya.
Dan suami bisa melaksanakan pekerjaan domestik di rumah seperti memasak, beres-beres rumah meski itu bukan kewajibannya sebagai suami dalam agama (Islam, misalnya). Menjadi eksploitasi ketika istri juga dituntut memasak, beres-beres rumah, mencuci dan lain sebagainya, sementara suaminya ongkang-ongkang saja.
Eksploitasi Perempuan dalam hal ini istri dalam rumah tangga oleh suami mereka sendiri sering terjadi tanpa disadari. Menurut Nursyahbani Katjasungkana, SH (Advokat dan aktivis perempuan), seorang istri yang membantu mencari nafkah bisa dikategorikan eksploitasi jika terkena hal-hal berikut ini
- Terpaksa. Jika perempuan dipaksa bekerja untuk mencari nafkah atau membantu mencari nafkah maka sudah bisa digolongkan eksploitasi.
- Pekerjaan yang dilakukan tidak disukai. Jika pekerjaan yang dilakukan perempuan/istri tidak disukai maka inipun bisa digolongkan eksploitasi. sebab ada unsur terpaksa juga didalamnya.
- Tidak memiliki otoritas atas penghasilannya. Jika atas pekerjaan yang dilakukannya perempuan/istri tidak memiliki otoritas atas penghasilannya,misal penghasilan atau gaji dikuasai suami maka inipun bisa digolongkan eksploitasi.
Sampai disana saya tercenung cukup lama. He, saya sudah lama melihat gejala ini. Faktanya, kasus di atas banyak terjadi. Pertanyaannya, Apakah perempuan itu memang untuk diperah? tentu saja tidak. Tapi "tidak" disini ya tidak sekadar bilang tidak tapi praktiknya "iya". Kita seharusnya menolak keras segala praktik ekspolitasi terhadap perempuan. Perempuan itu patner hidupmu, jadikan dia mitra yang sejajar. Pendamping hidup untuk dicintai dan disayangi, bukan untuk diperah.
Kembali ke kasus perempuan dokter di atas tadi, menurut saya perempuan sendiri ya harus menghargai dirinya. Ketika hubungan anda kandas, yakinlah itu bukan karena anda kurang mengalah atau kurang menurut atau terlalu egois tapi karena anda kebetulan bertemu "kucing bulukan" yang mau enak sendiri. Dialah yang egois, bukan anda. Anda harus menyayangi dan menghargai diri anda.
Jangan baperan banget sama dogma menjebak yang mengatakan bahwa laki-laki tidak suka perempuan pintar, sukanya perempuan lembut dan penurut, haha. Jadilah diri sendiri. Lembut itu harus kalau memang karakter kita lembut, tapi tidak dibuat-buat. Hal terpenting, jangan sampai kelembutan anda dieksploitasi.
Ketika ada yang bilang bahwa laki-laki butuh perempuan mandiri, lembut tapi penurut dan manut dan bukan perempuan pintar? Jawab saja, silahkan dicari asal jangan saya.
Kecuali anda sudah kepincut banget dengan laki-laki itu dan siap dia eksploitasi. Tapi yakinlah masih banyak kok laki-laki yang sehat di dunia ini. Laki-laki yang betul-betul mencari pendamping hidup untuk saling menjaga, saling menghargai dan dicintai.
Laki-laki yang tidak merasa salah kaprah dengan superioritasnya dan tidak underestimate tepatnya merasa terancam dengan perempuan yang agak pintar.
Sebab perempuan, perempuan manasaja, (apalagi yang akan dijadikan istri) dalam agama manapun diharuskan untuk dipergauli dan diperlakukan dengan baik. Pun dalam Agama Islam.
“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (QS: An-Nisa`: 19)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS: Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)
Begitulah. Laki-laki perempuan, sama saja. sama-sama harus saling menghargai dan saling menjaga. Saya bekerja, tapi atas tanggungjawab dan kesadaran sendiri saya senang memasakkan suami dan anak saya. Saya ikhlas dan tidak terbebani. Tetapi, ketika saya sedang sibuk bingit, ada deadline pekerjaan kantor yang harus saya kerjakan di rumah juga ya suami dan anak saya cukup pengertian. Ada aplikasi pesan makanan online toh. Sedang mau, anak atau suami saya ya tinggal bikin telur dadar, ada sambal keringan tempe di toples, beres.
Jadi betulkah perempuan itu memang untuk diperah...!? Tidak. Jika ingin hidup kita damai, rumah tangga tentram, anak-anak sehat dan sholeh dan sholehah kita luruskan mindset kita. Bahkan jika ada perempuan dan laki-laki yang memutuskan hidup melajang selamanya, tetap harus dalam koridor saling menghargai dan saling menghormati antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki menurut saya harus sama-sama menolak kalimat "perempuan itu memang untuk diperah" ini. Ayolah kita saling menghargai dan menyanyangi. Perempuan itu bukan sapi. Bukan pula kerbau.
Salam Kompal. Salam Kompak selalu. Salam Kompasiana.
Sumber :
1. Katakan Tidak Pada Eksploitasi Perempuan
2. Eskploitasi Terhadap istri Sering Tidak Disadari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H