Di tepi danau rawa itu matahari hampir tenggelam. Debur ombai danau suaranya kadang meninggi riuh, kadang lemah lembut bak nyanyian. Serombongan burung  yang tadi melintasi langit pulang ke sarang, telah menuntaskan kepaknya. Dia masih saja belum beranjak dari tepian rawa itu.
Matanya menunduk. Kedua tangannya melipat ke dalam saku baju. Telah hampir dua jam dia berada disitu, belum juga ia ingin berlalu. Pohon bakau dan pedada riuh rendah menggerakkan rantingnya ke kiri dan ke kanan bak sedang mengucapkan sapaan. Â
Sudah 2 hari dia berada di dusun ini, sengaja. Ya sengaja menghilangkan dirinya. Sebab hampir setiap Idul Fitri hanya menyisakan sesak buatnya. Sesak yang meninggalkan penyesalan yang dalam. Maka jelang Idul Fitri tahun ini diam-diam dia menghilang.Â
"Pulanglah Mona..." bibinya mengirimkan pesanÂ
Pesan yang tak sempat ia jawab. Dia dia mengkemas ranselnya. Sebuah perjalanan mudik menuju daerahnya tapi bukan ke rumah bibinya di Palembang. Â Perjalanan ke pelosok yang ia lanjutkan dengan Sebuah bus pedesaan warna kuning campur karat. Setelahnya dilanjutkan lagi dengan speedboat yang mengguncang-guncangkan tubuhnya hingga membawanya menuju desa sunyi ini. Sunyi dan tak ada pesan dan panggilan telpon lagi. Â
Beberapa saat memandangi senja dari tepi danau ini telah membuatnya seperti melihat lagi semua kejadian yang menyesakkan dadanya.Â
"Pulanglah Mona..." pinta ibunya dulu, dulu. Persis 2Â (dua) hari menjelang Idul Fitri.Â
Di rumah tuanya, orang-orang menunggu kedatangan Mona sebab seminggu setelah Idul Fitri dia akan menikah. Menikah dengan seorang  laki-laki pilihan ibunya yang ia tak ingat lagi rupanya.
Permintaan yang tak Mona penuhi sebab ia bimbang. Bimbang tak jelas yang tiba-tiba muncul. Bimbang yang membuatnya lari Hingga akhirnya hari ke-3 Idul Fitri Ibunya meninggal dunia. Sesal yang membuatnya sesak setiap kali Idul Fitri tiba.
Tanpa disadarinya, matanya telah menganak sungai. Pelan-pelan ia berjalan menyisir tepi danau rawa menuju sebuah rumah panggung tua tempat ia pulang.
"Assalamu'alaikum..", katanya sambil mengetuk pintu
Dia disambut oleh seorang perempuan tua yang tersenyumÂ
"Nenek masak apa? " ujarnya sambil memeluk perempuan tua itu
"Pimdang teri caampur ubi kayu kesukaan kau dulu..."
Jawaban yang membuat Mona semakin erat memeluk  perempuan tua itu. Keduanya nampak terus berbincang sambil mereka berbuka puasa.
"Darimana saja tadi kau, Mona?"
"Dari makam ibu nek. Sisanya merenung di tepi danau.." jawabnya pelan. Bibirnya sedikiit naik membentuk senyum.
Hari ini puasa terakhir. Ketika ia melintasi surau sebelum tiba di rumah neneknya, dia mendengar takbir sebagai penanda besok Idul Fitri. Ya besok adalah Hari Raya Idul Fitri. Â Mona, Perempuan muda itu tak pulang ke rumah bibinya seperti beberapa tahun terakhir.
Jika hakekat Idul Fitri adalah pulang kepada fitrah manusia yang suci, maka ia ingin pulang kepada fitrahnya, pulang kepada dirinya  yang dulu. Pulang kepada jiwanya yang dulu, jiwa merdeka. Sesuatu yang sulit ia rasakan sebab Idul Fitri seolah membelenggunya. Ia ingin Idul Fitri kali ini ia betul-betul pulang kepada hakekat jiwanya yang fitri.
Ia pulang ke kampung ibunya. Pulang yang membuat ia keluar dari hingar bingar dunia sebab ia pulang ke kampung ibunya nun jauh di pelosok yang tak miliki akses internet. Pulang yang membuatnya bisa melihat lagi bahwa dibalik watak keras ibunya, ia menyayangi Mona.
Bukankah pulang adalah rasa menemukan tempat kembali. Kembali kepada fitrah manusia. Pun Mona. Ia mencoba kembali kepada jiwanya yang dulu. Mona yang lembut. Mona yang pemaaf. Mona yang selalu diingat almarhum ibunya sebagai gadis kecil dengan kunang-kunang di matanya.Â
Bersambung...Â