Saya terperangah menyaksikan video Jacinda Ardern sedang mengunjungi keluarga korban teror penembakan Masjid di Christchurch Selandia Baru beberapa hari yang lalu. Melihat takkala ia datang dengan kehangatan seorang ibu dan penuh  penyesalan memeluk keluarga korban.Â
Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru, tempat kejadian teror yang kita saksikan bersama beberapa hari yang lalu. Katanya,
"Atas nama seluruh warga Selandia Baru, kita berduka bersama. Kita satu. Mereka adalah kita",
Kata-kata yang ia tuliskan  saat penandatangan Buku Belasungkawa Nasional Selandia Baru atas serangan teror terhadap jamaah masjid di Cristchurch.
Selandia Baru negara yang di benak saya adalah negara indah dan damai di sebelah selatan negeri kita. Betapa sering saya terpesona melihat gambar suasana di Selandia Baru yang indah romantis dari bidikan dan upload beberapa teman di akun sosial media mereka. Saking nampak nyaman dan damainya kondisi disana sampai saya bergumam, he, pengen bingits kesana, wew. Â
Keinginan manusiawi. Bahkan menurut Global Peace Indeks (GPI) Tahun 2018 yang dirilis oleh Intitute for Economic and Peace, Selandia Baru menempati peringkat kedua Negara Paling Damai di Dunia setelah Islandia dan menempati lima peringkat teratas Negara teraman di Dunia. Sayangnya, citra keren itu tercoreng oleh aksi teror di atas.
Ya, tidak semua orang memiliki pikiran biasa. Ada saja satu dua atau lebih  yang kita sebut oknum mempunyai pikiran dan aksinya menyimpang dari hal yang kita sepakati sebagai hidup yang cinta damai.Â
Beberapa kelompok, tak terhindarkan melenceng dari kondisi adem tentrem yang biasa. Mereka yang kita sebut ultra kiri atau kanan. Hal yang terjadi karena banyak sebab. Antara lain karena pemahaman yang salah, karena  tidak belajar memandang sesuatu secara utuh dan hakiki dan lain sebagainya. Katanya begitu.Â
Tak pelak, terjadilah aksi teror di atas. Konon karena kebencian terhadap imigran dan supremasi yang berlebihan atas kaum kulit putih (Hadeuh, yang asli bingit kan cuma orang Maori dan kulit putih disana kan imigran juga dulunya).Â
Jika tahun lalu angka kematian akibat serangan terorisme telah menurun 27% menurut Indeks Terorisme Global 2018 yang dikeluarkan oleh Institut Ekonomi dan Perdamaian, kelihatannya angka tersebut akan meningkat kembali. Salah satunya karena kejadian Teror Cristchurh di selandia baru tersebut.
Terorisme oh terorisme. Terorisme dengan banyak wajah.Â
Meski masih banyak distorsi terkait pelabelan "Terorism", pandangan terhadap terorisme mulai mengalamai perubahan. Terorisme tak hanya dianggap berwajah Arab, teroris tak hanya berafiliasi ke kelompok garis keras muslim tertentu, terorisme tak hanya bermotif penafsiran agama dan kepercayaan tertentu, teroris tak hanya mereka yang pernah mengikuti pelatihan di Afghanistan, Pakistan, Suriah, Palestina, Jordan ataupun Irak dan negeri-negeri Asia Barat-Asia Tengah lainnya.
Right-wing extremism alias ekstremisme sayap kanan umumnya berasosiasi dengan ideologi fasisme, rasisme, supremasisme, dan ultra-nasionalisme. Bartol & Bartol (2017) menyebutkan bahwa teroris sayap kanan di AS biasanya terdiri dari kelompok atau individu ekstremis yang umumnya memiliki pandangan rasis terhadap orang non-kulit putih dan kerap terlibat dalam berbagai bentuk kejahatan berlatar kebencian (hate crime).
Jika kampanye kebencian adalah ciri yang melekat pada radikalisme sayap kanan, ekstremisme sayap kiri (left-wing extremism) umumnya lahir dari gerakan dan pemikiran anti-kapitalisme, anti-kolonialisme, dan militansi untuk mengubah sistem politik yang telah melahirkan ketidakadilansosial.
Begitulah katanya sayap kiri dan sayap kanan terorisme. Sayap-sayap patahnya, entahlah, hehe. Mungkin yang sering komen kebencian dan hoax di sosmed itu.
Sayangnya sangat sedikit politikus dunia seperti Bu Jacinda. Bahkan di Selandia yang rasis dan nyeleneh ada juga. Masih hangat di timeline twiter taggar #eggboy, ketika seorang remaja, Willy Connolly melempar seorang senator dengan sebutir telur sambil ia merekam aksinya karena tak setuju dengan pandangan rasis sang senator yang menyebut prilaku kaum muslim yang memicu aksi teror tersebut. Senator rasis yang dihujat, dan Willy yang jadi dipuji karena dianggap telah memerangi sikap rasis.
Sebagai pribadi, saya salut pada sikap remaja Eggboy tersebut. Kalau saja semua orang memiliki pandangan luas, bahwa melihat semua kelompok di dunia secara fair, saling menghargai dan saling menghormati dan tentulah akan saling menjaga.Â
Sebagai pribadi juga, saya salut dengan Jacinda Andern. Salut pada bagaimana ia mengatasi terorisme yang melanda negerinya. Bagaimana dia mendatangi keluarga korban dengan empathy penuh, bahkan sempat-sempatnya ia mengenakan kerudung ketika kunjungan tersebut, menunjukkan Jacinda memiliki kelasnya sendiri. Kelas politikus yang layak dihargai dan dihormati.
Jacinda adalah Kelas politikus yang seandainya KWnya ada di Indonesia dan dia nyaleg, akan saya pilih. Dan seandainya sisi humanisnya yang lembut itu dimiliki salah satu Capres yang sedang bersaing pada Pilpres Tahun 2019, pasti akan saya pilih.
Seandainya semua politikus dunia seperti Jacinda Andern, rasanya adem dunia ini. Tentu saja kalau kepemimpinan mereka disertai sikap preventif pecegahan kekerasan dan terorism.Â
Jika remaja saja bisa lebih arief dan bijak menyikapi perbedaan macam Willy Connolly, mengapa tidak dengan Politikus !?
Kalimat terakhir adalah suara hati sedang sebal dengan politikus kita yang kelakuannya hanya overacting, nyinyir di sosmed tapi nol besar pada sumbangsih nyata membangun negeri kecuali membangun kepentingannya.Â
Tabik pun. Salam Kompal. Salam Kompasiana.
Sumber :Â
1. Bahaya Terorisme Sayap KananÂ
 2. Angka Kematian Akibat TerorismeÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H