Meski masih banyak distorsi terkait pelabelan "Terorism", pandangan terhadap terorisme mulai mengalamai perubahan. Terorisme tak hanya dianggap berwajah Arab, teroris tak hanya berafiliasi ke kelompok garis keras muslim tertentu, terorisme tak hanya bermotif penafsiran agama dan kepercayaan tertentu, teroris tak hanya mereka yang pernah mengikuti pelatihan di Afghanistan, Pakistan, Suriah, Palestina, Jordan ataupun Irak dan negeri-negeri Asia Barat-Asia Tengah lainnya.
Right-wing extremism alias ekstremisme sayap kanan umumnya berasosiasi dengan ideologi fasisme, rasisme, supremasisme, dan ultra-nasionalisme. Bartol & Bartol (2017) menyebutkan bahwa teroris sayap kanan di AS biasanya terdiri dari kelompok atau individu ekstremis yang umumnya memiliki pandangan rasis terhadap orang non-kulit putih dan kerap terlibat dalam berbagai bentuk kejahatan berlatar kebencian (hate crime).
Jika kampanye kebencian adalah ciri yang melekat pada radikalisme sayap kanan, ekstremisme sayap kiri (left-wing extremism) umumnya lahir dari gerakan dan pemikiran anti-kapitalisme, anti-kolonialisme, dan militansi untuk mengubah sistem politik yang telah melahirkan ketidakadilansosial.
Begitulah katanya sayap kiri dan sayap kanan terorisme. Sayap-sayap patahnya, entahlah, hehe. Mungkin yang sering komen kebencian dan hoax di sosmed itu.
Sayangnya sangat sedikit politikus dunia seperti Bu Jacinda. Bahkan di Selandia yang rasis dan nyeleneh ada juga. Masih hangat di timeline twiter taggar #eggboy, ketika seorang remaja, Willy Connolly melempar seorang senator dengan sebutir telur sambil ia merekam aksinya karena tak setuju dengan pandangan rasis sang senator yang menyebut prilaku kaum muslim yang memicu aksi teror tersebut. Senator rasis yang dihujat, dan Willy yang jadi dipuji karena dianggap telah memerangi sikap rasis.
Sebagai pribadi, saya salut pada sikap remaja Eggboy tersebut. Kalau saja semua orang memiliki pandangan luas, bahwa melihat semua kelompok di dunia secara fair, saling menghargai dan saling menghormati dan tentulah akan saling menjaga.Â
Sebagai pribadi juga, saya salut dengan Jacinda Andern. Salut pada bagaimana ia mengatasi terorisme yang melanda negerinya. Bagaimana dia mendatangi keluarga korban dengan empathy penuh, bahkan sempat-sempatnya ia mengenakan kerudung ketika kunjungan tersebut, menunjukkan Jacinda memiliki kelasnya sendiri. Kelas politikus yang layak dihargai dan dihormati.
Jacinda adalah Kelas politikus yang seandainya KWnya ada di Indonesia dan dia nyaleg, akan saya pilih. Dan seandainya sisi humanisnya yang lembut itu dimiliki salah satu Capres yang sedang bersaing pada Pilpres Tahun 2019, pasti akan saya pilih.
Seandainya semua politikus dunia seperti Jacinda Andern, rasanya adem dunia ini. Tentu saja kalau kepemimpinan mereka disertai sikap preventif pecegahan kekerasan dan terorism.Â
Jika remaja saja bisa lebih arief dan bijak menyikapi perbedaan macam Willy Connolly, mengapa tidak dengan Politikus !?
Kalimat terakhir adalah suara hati sedang sebal dengan politikus kita yang kelakuannya hanya overacting, nyinyir di sosmed tapi nol besar pada sumbangsih nyata membangun negeri kecuali membangun kepentingannya.Â