Mohon maaf batasan perempuan di simpang jalan pilpres versi saya adalah perempuan yang atas kehendak sendiri atau dorongan orang di sekitarnya ramai menjadi aktivis atau relawan kampanye salah satu calon presiden pada perhelatan Pilpres 2019 ini. Bisa meniti jalan lurus, bisa pula tergelincir kalau tak hati-hati.
Jumlah perempuan di simpang Pilpres jalan 2019 kelihatannya cukup banyak. Tentu saja sebab pemilih perempuan cukup banyak pula. Ada  92.802.671 orang dari total pemilih 187.781.884 orang atau sekitar 50,56% dari total daftar pemilih tetap pada pilpres 2019 berdasarkan data KPU  adalah perempuan. Alasan yang cukup masuk akal kenapa perempuan banyak diperhitungkan untuk diajak berpartisipasi pada Pilpres 2019 ini.Â
Belum lagi perempuan katanya punya pengaruh besar dalam mengarahkan pilihan bagi anggota keluarganya. Tepatnya mungkin perempuan lebih telaten, lebih tabah dan lebih militan bahasa anak saya emak-emak bawel dan cerewet, oh.
Alasan di atas itulah yang membuat Tim pemenangan masing-masing kubu merekrut perempuan menjadi relawan. Ketika kampanye dilakukan dengan baik, santun, mempromosikan kelebihan capres yang diusung tanpa perlu menyebut tentang capres saingan dengan duga-dugaan yang tidak tidak jelas, Â tentu tidak masalah.Â
Tetapi, ketika dilakukan dengan sebaliknya menyebut hal-hal yang tidak jelas, sebatas duga-duga alias prasangka buruk terhadap capres saingan, direkam pula, disebar pula di sosial media..... kehebohan yang terjadi. Timeline menjadi rame pake bingits.
Seketika sesuatu di kepala saya berbisik, Perempuan di simpang jalan Pilpres, nanar aku padamu.Â
Sudah pasti jadi gorengan dan bully oleh pihak lainnya. Seperti yang barusan kita saksikan bagaimana serombongan perempuan yang menamakan dirinya aktivis PEPES turun ke jalan, door to door menyebarkan info yang jelas baru dugaan mereka agar tidak memilih capres saingan mereka dengan menyebut berbagai alasan.
Jelas itu bukan percakapan antar warga biasa. Itu bukan percakapan di halaman antara tetangga. Bukan pula percakapan di warung kopi antar warga. Â Itu percakapan yang dipaksakan oleh kalian. Kalian para relawan mendatangi penduduk ke rumahnya lalu memberikan info yang menghebohkan itu.Â
Come on, kaumku, pintar dan bijaklah. Jangan pernah omong sesuatu yang sebatas prasangka, apalagi disebar di sosial media. Ingat ini tahun politik. Apapun bisa dipolitisir. Jangan pula jadi korban politik.
Sebaik-baik sikap adalah mandi sepulang kerja, seduh kopi dan menghirupnya lamat-lamat.
He, tentu saja boleh ikut bagian kampanye politik kalau mau asal dilakukan dengan keyakinan bahwa yang dibela adalah kelompok yang benar, dilakukan dengan cara yang benar. Jangan mau menyebar info yang disebar orang lain tanpa anda tau pasti kebenarannya. Hati-hati dan bijaklah. Militansi itu adalah soal kekeuh dan ulet pada kebenaran, bukan kekeuh asal menjalankan perintah.
Maka perempuan, entah bernama Ratna, Neno, Wida, Rieka, siapapun gunakan kepintaranmu untuk hal benar, jangan jadi bodoh gara-gara politik. Yang kurang pintar, harus banyak belajar, banyak membaca, pahami dengan baik, jangan mau jadi martir.
Tetap mau ikut arus politik, ya silahkan saja. Banyak kok cara kampanye yang kreatif dan inovatif tanpa harus terjebak kebodohan dan kebohongan. Kalau tidak bisa, mending di rumah saja. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H