Ada yang berkata, tak ada hal yang betul-betul  baru. Tak ada hal yang benar-benar orisinil. Semua sendi dan celah kehidupan adalah pengulangan-pengulangan. Â
Seperti siklus beredarnya bumi mengelilingi matahari, fajar, pagi, siang, sore, malam dan seterusnya. Seperti siklus kehidupan manusia, lahir, anak-anak, remaja, dewasa, tua, dan seterusnya. Seperti juga ritme kita sehari-hari, bangun, sarapan, kerja, berkutat di pekerjaan, pulang kerja, masak, tidur lagi, dan seterusnya.Â
Maka hal yang dialami manusia meski berbeda-beda, intinya tetap sama. Wajarlah cerita yang kita dengar, fenomena kehidupan, fenomena alam yang kita lihat, bahkan perasaan kita pada hakekatnya adalah pengulangan-pengulangan. Â
Meski katanya semua hal kebanyakan adalah pengulangan-pengulangan dan tak ada hal yang benar-benar baru atau orisinil, tetap saja awak kurang setuju kalau dibilang orisinilitas itu tak perlu. Â
Semua manusia harus punya sesuatu yang pure, orisinil miliknya atau khas dia. Entah itu ada pengaruh bawah sadar gaya nenek moyangnya, penulis pujaannya ketika remaja  dll.
Manusia harus bangga  dengan idenya sendiri, bangga dengan  gaya tulisan sendiri, bangga dengan apa yang dipunyai sendiri, entah barang atau pendamping hidup, suami atau istri (Masa mau bangga sama punya orang lain).
Beberapa tahun ini, saya sering sekali mendengar kata ATM. Sudah sering kan dengar kata ATM gaes ? Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM). Haaaa, betapa sering saya sebal dengan kata itu.Â
Dulu sering membahas perencanaan kegiatan sebuah badan yang bertanggung jawab dalam hal peningkatan Kapasitas SDM. Hampir di setiap rangkaian kegiatan diklatnya selalu ada sub kegiatan Observasi Lapangan (OL), sekarang namanya berganti menjadi Benchmarking, wew. Â
Menurut saya ketika itu, tidak semua kegiatan diklat harus ditambahi Observasi Lapangan. Ada diklat yang jelas hanya perlu teori dan praktek di tempat dan tidak perlu perbandingan, ya tidak perlu Observasi lapangan. Kan bisa menghemat anggaran.
Tau apa alasan Observasi lapangan yang sekarang berganti menjadi benchmarking itu? ya itu tadi dalam rangka ATM-- amati, tiru dan modifikasi. Lokasi favorit biasanya sih Bali dan Bandung.
Bagaimana peserta diklat diajak untuk melihat sebuah objek di wilayah lain dalam rangka mengamati untuk nantinya ditiru dan dimodifikasi di wilayah kerja. Mungkin juga menjadi objek kertas kerja dan lain sebagainya.Â
Termasuk yang bolak-balik study banding itu ya juga dalam rangka ATM. Isinya jalan-jalan, dibungkus dengan judul study banding. Ya kalau betul-betul ATM untuk dicontoh dan dibuat modifikasi yang sesuai dan manfaat untuk daerahnya syukur alhamdulilah. Kalau tidak ya buang-buang uang sih.Â
Itulah alasan kenapa kita Indonesia sebetulnya menjadi tidak kreatif karena kreativitas bangsa kita baru sebatas ATM. Tidak semua sih. Ada orang yang memang berkutat membuat hal baru yang inovatif, tapi sebagian besar orang melakukan ATM.Â
Yah wajar mengingat ATM itu dijejalkan pada ruang-ruang pikiran kita, di dunia mahasiswa, dunia kerja, isntansi dan lembaga. Seperti menyuruh kita hidup hanya sekadar jadi pengekor dan ikut-ikutan. Paling ujungnya dipoles sedikit dengan yang disebut modifikasi tadi. Â
Sekali waktu sepulang saya dari Jogya dan sempat berfoto di Jurang Magunan. Eh tak lama saya menemukan objek yang nyaris sama  pake bingits, sampai saya ngotot haqqul yakin kalau itu di Jogya. Ternyata bukan di Jogya tapi di sebuah wilayah di Sumsel. Lokasi di tepi jurang, di bawahnya ada semacam jurang, lembah pegunungan, sampai perahu-perahuan rotannya pun sama. Yang berbeda cuma lokasi.Â
Itu hasil ATM. Hasil jalan-jalannya kelompok pengembang wisata Sumsel ke Jogya yang lalu ditiru  plek (nyaris tanpa) dimodifikasi di sebuah wilayah di Sumsel.
Contoh lain, belum sempat saya melihat kampung warna-warni di Malang, baru sempat menengok gambarnya di artikel dan IG, eh sudah ada Kampung Warna-warni di Lubuklinggau, di Palembang. Hehehe, cepet sekali ATM nya.Â
Contoh lain lagi, suka nonton TV? Â kalau sempat lihat layar TV waduh, sinetron entah di channel mana saya kok seperti melihat majalah Hidayah itu. Nah beberapa sinetron itu adalah bentuk pengulangan ide dan ATM majalah Hidayah ketika saya masih bocah dulu, hmm...
Meskipun katanya ATM itu ada langkah-langkahnya. Meskipun ATM itu katanya tidak sama dengan menjiplak atau plagiat, tetap saja saya kurang suka dengan ATM. Â
Bagi saya ATM itu bahasa lainnya ya bisa dibilang jiplak yang gak jiplak banget. Jiplak yang disesuaikan dengan kondisi setempat.Â
Saya sukanya dengan ATM yang dibilik itu, terutama kalau HP butut saya sudah ada suara tut tut tut, notifikasi gaji sudah masuk, hehe.
ATM kelihatannya sudah membudaya. Budaya ATM itu juga yang membuat bangsa kita sering menjadi bangsa mengulang-ulang trend lama, pengekor dan suka latah ikut-ikutan.
Lalu, jelekkah budaya ATM itu? Bagi saya ya jelek kalau tak ada kemajuan dan bertahun-tahun mungkret dengan ATM.Â
Begitulah. Sukahkah kamu sama ATM? sukalah kalau yang dibilik itu, ya kan. Apakah kreativitas  kita orang Indoneia memang baru sebatas ATM? tergantung sudut pandang masing-masing.
Menurut saya kelihatannya sebagian besar baru sebatas ATM. Ini menurut saya loh. Untuk itu, kita harus bangkit, mengubah pola.Â
Bolehlah ATM, tapi sekadar ide untuk dikembangkan saja, jangan plek ditiru. Sisanya yang berilah kesempatan sisi inovasi kita untuk bergerak dan berimajinasi mengembangkan hal baru dengan ide yang dilihat tersebut. ATM sekadar untuk dilihat dan diamati, tidak untuk ditiru.Â
Omong-omong soal ATM, Alhamdulillah, dapat Kompasiana reward edisi September. Bagi saya pribadi yang menulis karena ada sesuatu yang menghentak di kepala minta diituliskan dan tak begitu ngeh soal sistem perhitungan, ya cukup fair lah.Â
Sebab sekarang, rasanya, saya memang melakukan effort dan cukup meluangkan waktu untuk menulis di Kompasiana, cie-cie gayanya, ehm. Minta disambit ini 😬
Menulis pun butuh kreativitas. Kreativitas melihat ide dari fenomena di masyarakat, hottest issue, apapun dan kreativitas menulis dengan gaya suka-suka saya tapi bukan ATM yang itu. Lumayan masuk ke ATM eh e-cash mandiri saya. Â
Salam kompak selalu. Salam Kompal. Salam Kompasiana. Salam Nusantara. Salam kreativitas yang harus tak sebatas ATM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H