Kemarin lusa, saya mendapat link sebuah tulisan bagus di Kompas Cetak edisi 31 Juli 2018 berjudul, Bahaya Buta Data. Penulis Jousairi Hasbullah, Ketua Technical Advisory (012-2015) dan Steering Group (2017 - Juni 2018) Social Statistic Asia and Pacifik, mantan petinggi di BPS Pusat yang telah memasuki masa Purnabakti, seorang alumnus Flinders University. Kebetulan saya sering berdiskusi dengan beliau terkait data, Â tepatnya diberi masukkan dan dinasehati.
Tulisan itu sungguh mengunggah bagi saya. Sebuah penyakit berjamaah di negeri ini dimana orang-orang buta data (Data Illiteracy).Â
Ketika data digunakan tak lebih dari sekadar aksesori, maka pembangunan tidak akan berjalan dengan baik. Dokumen perencanaan sudah menggunakan data tetapi makna substantial setiap angka tidak sepenuhnya dipahami secara benar. Â
Meski bangsa kita belum kultur Numerikal dan kultur data secara historis memang bukan tradisi kita, adalah penting kita memahami data secara benar dan tidak buta data. Â
Menurut Jousairi, salah satu problem besar pembangunan di Indonesia karena data yang digunakan tidak sepenuhnya dipahami makna secara substantif-detil dan komprehensif.Â
Data pembangunan seperti data IPM, Kemiskinan, Pengangguran dan PDRB Â perlu dilihat secara substantif dan detil. Data tingkat pengangguran terbuka kabupaten, beda memaknainya dengan tingkat pengganguran terbuka di wilayah perkotaan karena hampir pasti tingkat pengangguran terbuka di perkotaan lebih tinggi daripada di kabupaten mengingat tingginya urbanisasi di perkotaan.Â
Nah  dikaitkan dengan kejadian yang banyak terjadi saat ini, saya kira memang Indonesia harus melek data. Buta data itu memang berbahaya. Ketika politikus buta data, heuhehe, fatal akibatnya. Sebab kekeliruan pemaknaan terhadap data dengan cepat akan disebar oleh orang-orang di bawahnya.Â
Celakanya, jika kesalahan memaknai data itu nantinya membuahkan kebijakan dan program yang salah. Salah memaknai data, mengakibatkan salah melihat permasalahan. Salah melihat permasalahan, bisa diprediksi akan berakibat salah membuat kebijakan.Â
Bahkan salah mengkritik, salah membuat janji politik, dan lain sebagainya. Ketika Eksekutif dan Legislatif buta data, ini juga sangat berbahaya. Begitu dan seterusnya.
Ketika Pak Beye mengklaim bahwa menurut  beliau Jumlah penduduk miskin naik 50% sementara BPS mengeluarkan Data di Berita Resmi Statistik bahwa per Maret 2018 Kemiskinan Indonesia turun menjadi 9,8 %, maka ya kita orang harus belajar melihat perbedaan tersebut. Â
Pertama, perbedaan tersebut sudah pasti karena berbeda sudut pandang. Beda ilmu. Beda Definisi Kemiskinan menurut pak Beye dan BPS jelas beda. Standar miskin keduanya  sudah pasti beda. Â