Jika orang-orang selalu mengkaitkan Bulan Agustus yang notabene adalah Hari Proklamasi kita dengan Hastag #HUTRI71, kata kuncinya  adalah "Merdeka". Merdeka itu... ah panjang dan banyak versinya. Merdeka dari utang, versi teman saya. Merdeka dari intimidasi. Banyak lagi. Buat saya, merdeka itu soal kebebasan yang kita genggam dalam hati nurani. Bebas memiliki pendapat. Bebas berekspresi. Bebas untuk tetap tersenyum kepada apapun yang menyentuh jiwa, termasuk bebas untuk menyimpan memory di Kepala, hehe.Â
Maka memory di kepala saya yang selalu terkenang terkait perayaan HUT RI di kota saya, Palembang adalah Pempek Sepeda. Meski banyak hal berseliweran di ingatan saya tentang Perayaan HUT RI atau Tujuhbelasan di kota saya, mulai dari Lomba Bidar, Telok abang, telok ukan, panjat pinang dan lain-lain. Tetapi memory yang paling menancap dalam adalah Pempek Sepeda. Â
Masih saya ingat orang-orang ramai berkumpul di tanah lapang di dekat rumah saya. Perayaan Tujuhbelasan ketika itu. Orang dewasa dan anak-anak seusia saya ramai disana. Ada banyak sekali lomba diadakan menyambut Perayaan Hari Kemerdekaan. Â Ada lomba lari karung, lomba makan kerupuk, lomba membawa kelereng (bahasa kami, Palembang adalah ekar) dalam sendok, bahkan lomba panjat pinang. Sehabis lomba, saya menghampiri si mamang Pempek Sepeda sebab hanya itu yang mampu terbeli oleh kantong saya sebagai anak kecil di masa itu. Â Zaman dulu perayaan lomba tujuhbelasan belum seperti zaman sekarang yang panitia konsumsinya keren (ups, ketauan sudah tua ye). Memandang foto ini, kenapa pula saya dapat foto ini, rasanya persis seperti melihat saya di zaman bocah dulu. rambut lurus melebihi bahu, mata bulat, dan sukanya berlari-larian, hiks, jadi melownya saya.Â
Pempek Sepeda ini paling digemari di zaman saya kecil. Apalagi ketika perayaan Tujuhbelas Agustus tiba. Orang-orang dibawakannya ibunya duit jajan banyak, saya beli seadanya sebab ibu saya tidak pernah memberi uang jajan banyak kepada kami anak-anaknya. Saya akan beli pempek sepeda. Itupun cuma 2 biji, makannya pelan-pelan supaya kenyang. Jika orang-orang dewasa saat itu mengulas makna merdeka, di koran dan televisi, saya berkata pula "Merdeka!", dalam hati sambil saya melap mulut saya yang berminyak sehabis menyantap pempek sepeda. Merdeka dari rasa lapar sehabis lomba tujuhbelasan.Â
Masih adakah pempek sepeda ini? Di kepala saya tentu masih. Di realitanya juga masih. Penjajanya dan wirasuahanya setelah saya teliti kebanyakan pendatang dari Jawa. Jika anda kebetulan ke Palembang, dan mendengar suara tetetet toetttt, tetetetettt toetttt... itu artinya si mamang pempek Sepeda datang. Isi kotak kaca pada sepeda yang dia bawa biasanya banyak. Ada pempek kulit, pempek adaan, pempek lenjer kecil, pempek telur kecil, pempek tahu, dan lain-lain. Rasanya lumayanlah, apalagi untuk anak kecil yang sedang lapar.Â
Harganya, rupanya terus meningkat seiring usia HUT RI itu sendiri. Jika dulu harganya mungkin cuma seratus perak, sekarang sudah seribu. Setiap hari Pempek Sepeda akan menjajakan daganganya. Pagi adalah waktu yang tepat membeli pempek sepeda sebab mereka baru keluar dan pempeknya masih hangat, belum bekas banyak tangan.
Begitulah Memory Tujuhbelasan dan Pempek Sepeda di Ingatan saya. Â Sayang sebab kesibukan, saya susah menemukan pempek sepeda sekarang ini. Hanya bisa memeluknya dalam ingatan saya. Â Memory Pempek Sepeda. Dan Naskah novel saya tentang Memory Pempek Sepeda, sudah lama terbengkalai, wew. Ah sudahlah. Merdeka....!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H