Kapan saja bicara soal desa, entah kenapa wajah saya jadi sumringah. Meski desa itu memang katanya tidak gaul, tidak ada daya menariknya bagi sebagian orang, mungkin, tapi tidak bagi saya. Sebab saya ndeso. Tak bisa saya tepis kendesoan saya.Ya kadang gaya ndeso itu menjual dan jadi trend macam agus magelangan yang keren di mojok.co yang sebab sudah seleb gak mau folback saya buleknya di twitter, ehm (hahaha, bulek darimana), ndeso menarik. Saya tak bisa menepis akar kendesoan saya.Â
Sejatinya saya memang wong deso. Deso alias desa itu miliki tarikan yang kuat buat saya. Ia seperti melambai-lambai mengingatkan saya kepada akar. Dan tak seoranpun bisa melepas ikatan akar dimana jejak kita pertama tumbuh. Maka pada hari libur kemaren, saya bersama tim turun ke desa-desa di sebagian wilayah sumsel ini. Sungguh 3 hari jadi wong deso ini sulit disusun dalam kata-kata. Hal yang jelas terasa buat saya adalah Lelah tapi senang. Kata anak-anak gaul sekarang, I'm tired but I'm happy. Â
Senang sebab mendapati udara segar. Orang-orang ramah. Sungai dan rawa seperti mengingatkan pada liburan masa kecil saya ke sunsang. Anak-anak perempuan dan laki-laki hilir mudik menjajakan ikan hasil tangkapan orang tua mereka yang disusun dalam ikatan entah lidi atau rotan. Pance-pance diduduki bocah-bocah dan sebagian nenek-nenek yang sedang mengaso. Bertemu perempuan perkasa yang sedang menyadap karet di pagi buta. Anak-anak sekolah berwajah cerah meski kulit mengkilap sebab debu dan keringat sedang bermain catur saat jam istirahat. Ah, rangkaian kegiatan yang menggugah buat saya.
Ke desa itu melelahkan dan jelas tidak elit dibanding destinasi wisata liburan top yang sedang mewabah. Hanya, buat saya desa selalu menggugah dan membuka mata bahwa banyak kekurangan mereka tapi mereka tabah dan tetap senyum sumringah. Melihat desa adalah melihat gambaran kita sendiri. Inilah sejatinya kami kalau tak bisa disebut kita dan akan bagaimana kami ke depan.Â
Lalu, bicara soal wisata desa, maksudnya wisata ke desa. Ya... bebas saja desa mana yang kita suka. Kalau sempat buka buku terbitan Kementerian Paririsata, ada loh Desa Wisata. Saya lupa berapa jumlahnya di Indonesia. Nah dalam buku itu disebutkan bahwa yang telah ditetapkan sebagai Desa Wisata di Sumatera Selatan baru 1 desa loh. Itupun letaknya di Kota Palembang, yaitu Kampung Kapiten. Sebuah kawasan lama di Kota Palembang tempat seorang pendatang asal China pertama bermukim di Kota Palembang. Itu tadi, memang masih terbatas.
Bagi saya pribadi wisata ke desa ya tak harus ke desa atau kawasan yang sudah ditetapkan sebagai Desa wisata. Bebas saja. Sebab wisata eh mudik ke desa hakekatnya bagi saya adalah perjalanan ke desa yang disana kita menemukan suasana desa yang khas. Alamnya yang segar. Pagi-pagi buka jendela lihat kebun. Kalau beruntung melihat pemandangan kaki gunung yang indah, atau tepi pantai (Saya sih buka jedela liat rimbun tanaman kopi saja sudah senang), melihat apa yang dirasakan masyarakat desa. Bagaimana harapan mereka. Apa saja potensi desa yang sebetulnya bisa dikembangkan (psttt soalnya saya sedang melihat potret kondisi dan potensi desa), dan lain sebagainya.
Begitulah. Jika sudah bosan wisata lain, pengen wisata yang sederhana tapi bikin bahagia, berwisatalah ke desa. Soal ndeso atau tidak ndeso, ah biarkanlah. Sebab ndeso itu hanya masalah chasing. dan gaya. Selebihnya, yang penting happy, yang penting perjalanan itu banyak manfaatnya. Salam ndeso. Salam Kompal. Salam Indonesia.Â
Â
Perkampungan tepi sungai
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H