Pagi menjelang siang tadi. Udara terasa pengap. Rambutku meriap dan terasa mengeluarkan tetesan keringat di sela kulit kepala. Pengap itu terasa menjadi-jadi. Maka kunyalakan kipas angin.Â
Kunaikkan rambutku ke atas tengkuk hinggaÂ
membentuk gulungan kecil dengan ikat rambutku. Terasa angin menyentuh tengkuk dan leher. Lumayan segar. Urusan itu belum juga usai. Entah telah berapa belas menit berlalu. Seperti inilah bila masa membersihkan rak buku itu tiba.Â
Ya, rak buku dalam kamarku. Sejak mesin pengisap debu itu rusak (hampir 2 tahun lalu) dan belum ada penggantinya, maka urusan membersihkan debu buku menjadi hal yang kuhindari. Sekali waktu minta tolong mba Nur atau keponakan yang ada di rumah. Lain waktu, malu juga. Tentu harus kubersihkan sendiri.
Ah, memang aku tak berkawan dengan debu. Bila ada tercium olehku debu, spontan aku bersin. Orang-orang menyebutku alergi debu. Entah sinusitis atau tis tis yang lain. Begitulah.Â
Aku melanjutkan urusan membersihkan rak buku itu. Peluhku bercucuran. Kipas angin tak lagi terasa menyejukkan. Membongkar buku. Membersihkannya dengan lap dan tisu. Menyusunnya lagi. Srat, srett, srutttt. Hasiiiim. Sratttt, srettt, sruttt. Hasiiiim.Â
Tengah aku berkutat dengan buku dan debu itu, tepat setelah aku bersin, hasiiiiiim, hasiiiiim. Tiba -tiba aku melihatnya sedang memetik gitar.Â
Ahhhhh. Rasanya, itu gitar yang pernah kulihat. Bahkan ia mengenakan baju yang sama. Baju yang ia kenakan saat memetik gitar itu. Padahal dia tak ada disana.  Ya, tak ada di kamarku. Bahkan bahkan tak ada di kotaku. Â
Aku terdiam. Entah berapa puluh menit.  Betapa anehnya. Halusinasikah ini ? Tidak, aku melihatnya. Benar-benar melihatnya. Nyata. Kenapakah dia..? Ada apa dengannya ? Ada apa denganku..? Apakah aku sedang rindu padanya..? ohhhh. Apakah dia sedang ingat padaku ? Marah, benci ?  Entahlah.Â
Setumpuk tanya tak berjawab muncul begitu saja hingga menit-menit berganti lagi dan lagi.Â