Mohon tunggu...
Elly Suryani
Elly Suryani Mohon Tunggu... Human Resources - Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Membaca, menulis hasil merenung sambil ngopi itu makjleb, apalagi sambil menikmati sunrise dan sunset

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mari Ngopi dan Lupakan Tivi

25 September 2011   00:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:39 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi yang malu-malu muncul di sebuah tempat. Pagi yang masih berkabut. Setangkai mawar merah jambu merekah. Beberapa kuntum melati mewangi. Tak hanya itu, kicau kolibri pun terdengar disana. "Selamat pagi cinta...", sebuah suara terdegar entah darimana "Selamat pagi dusta..." sebuah jawaban terdengar juga. Mungkin dari balik kabut itu Seseorang duduk di beranda rumahnya sembari  memandangi kabut yang pergi. Ia tertawa, entah kenapa. Tanganya meraih secangkir kopi dan mereguknya sambil matanya terpejam. Ini pagi yang menggeliat, desisnya. Pagi yang membawa kesegaran baru. Sebab malam tak menyisakan apa-apa selain keringat. Untunglah kelelahan itu terbawa ke alam mimpi dan tak bisa berkutik lagi, terbawa lelap. Tengah ia menikmati pagi yang masih berkabut itu, tba-tiba terdengar suara-suara yang membuat dahinya berkernyit. Kiranya penghuni di dalam rumahnya telah menyalakan tivi. "Mati, matikan saja tivi", serunya Tak ada jawaban melainkan dia sendiri yang bangkit dan mematikan tivi itu. Kenapakah ?  dia membenci tivi ? Entahlah. Tak ada penjelasan.  Hanya,  sinar matanya menyiratkan banyak hal. Saya mulai menduga-duga kenapa dia membenci tivi "Aku tak membenci tivi...". akhirnya dia mulai menjawab ""Berita tivi itu sangat memusingkan kepala. Hanya unjuk berita yang berputar-putar di getaran yang sama. Kau lihat saja, korupsi. kolusi, gosip politisi. Tak ada solusi. Basi..."  urainya lagi Hm..., tak  jauh berbeda dengan dugaan saya sebelumnya. Maka wajarlah bila ia membuang berita tivi itu dari kepalanya. Mungkin inilah alasan kenapa dia menciptakan ruang sendiri di kepalanya. Ruang yang bisa ia isi dengan apa saja keinginannya. Tentu saja diawali dengan secangkir kopi. Sebab kopi selalu memberi cinta dan tak pernah berdusta. Sedang tivi, beritanya hanya tentang  dusta para politisi. Dusta tiada henti, tak bertepi.  Begitulah menurutnya. Maka mari ngopi dan lupakan tivi..., desisnya sambil ia meninggikan si cangkir kopi.   Oh, saya tak mengerti. Ah, lebih baik saya pergi.... Hanya kisah yang dibawa Ilalang saat ia menatap pagi dan angin menerbangkannya ke sebuah tempat sunyi. Diantara Che Quevara dan Ahmadinejad...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun