Mohon tunggu...
Elly Esra
Elly Esra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dimanakah Tuhan: TentangNya Aku Bercerita

26 April 2015   14:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:40 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Implikasi dari local genius ini adalah “perilaku liar” dari setiap individu dalam komunitas itu menjadi tertata, dan menunculkan pemahaman dan perilaku yang “berdamai dengan alam” sebab setiap benda di alam diyakini sebagai “ada yang memiliki”, sehingga penggunaan yang berlebihan atau pengrusakan benda-benda di alam bahkan pengrusakan alam diyakini akan mendatangkan malapetaka/bencana berupa sakit-penyakit bahkan kematian bagi pelakunya. Karena itu, dalam praktek kultural, aktivitas yang dilakukan kepada sesuatu harus didahuliu dengan “disembahyangi” lewat pemberian sirih, pinang, tembakau, dan uang logam yang ditelakan dalam piring putih dan dipersembahkan sebagai “tikat masuk” atau permohonan izin dan pemberitahuan guna melakukan kegiatan tertentu. Dalam bahasa setempat, praktek ini dikenal dengan istilah vor yauf atau flurut nit–memberi makan sang pemilik sembari memohon izin.

Dalam perjalanan sejarahnya, “Tuhan” orang Kei (Duan) harus berbagi tempat dengan “Tuhan” orang Kristen, mungkin karena “Tuhan” orang Kei bukan Tuhan yang pencemburu hehehehe mesra amat mereka ciiee. Dalam “pencarian” saya akan Tuhan orang Kei yang berbagi tempat dengan Tuhan orang Kristen, ternyata yang terjadi adalah munculnya dominasi Tuhan orang Kristen terhadap Tuhan orang Kei.

Pertemuan antar dua budaya (Kei dan Kristen), awalnya ternyata tidak dalam situasi saling menghidupkan dan saling menerima, tetapi yang tampak adalah Tuhan orang Kristen menjadi kanibalis bagi Tuhan orang Kei. Tuhan orang Kei (Duan) yang diyakini memiliki otoritas bagi setiap benda itu, dalam perjumpaannya “dipaksa” untuk merelakah sebagian kewenangannya bagi Tuhan orang Kristen, bahkan rela menerima fakta ketika secara sosial masyarakat yang dilindunginya mengkonstruksikan Tuhan orang Kristen lebih tinggi kedudukannya dibanding “Tuhan” yang mula-mula mereka kenal sebagai sesembahan mereka.

Pelabelan makna kultural bagi Tuhan orang Kristen dalam budaya orang Kei adalah “Duad”. Secara kebahasaan (bahasa Kei), menurut saya “Duad” dirasakan memiliki makna lebih tinggi dari “Duan”. Sebab dalam praktek hidup masyarakat Kei (Kristen), Duad dimaknai sebagai Tuhan Allah dalam perspektif agama Kristen, sedangkan Duan tetap bermakna pemilik yang bersemayam disetiap benda-benda. Artinya duan terbagi menurut jenis, nama dan bentuk bendanya, misalnya: ai ni duan (“pemilik” kayu), wear ni duan (“pemilik” air), vaut ni duan (“pemilik” batu) dll, sedangkan Duad didaulat memiliki otoritas tertinggi sebagai pemilik semua benda bahkan pemilik manusia Kei-Evav.

Konstruksi budaya dalam konteks agama (penyebutan Tuhan) tersebut berimplikasi pada pemahaman manusia Evav bahwa duan berposisi setingkat di bawah duad, yang mengakibatkan sebuah pengakuan bahwa duan-duan perlu bahkan harus ikut menyembah duad. Atau dengan kata lain, saya hendak mengatakan bahwa dalam perjumpaan budaya Kei dan agama Kristen, Tuhan orang Kei (Duan) tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap Tuhan orang Kristen yang dalam budaya Kei mendapatkan predikatnya sebagai Duad.

Dugaan saya, “kekalahan” Tuhan orang Kei ketika berjumpa dengan Tuhan orang Kristen diakibatkan doxa agama Kristen yang juga didoktrinkan kepada masyarakat Evav-Kei bahwa “di luar gereja tidak ada keselamatan”. Sebuah dogma yang secara bom-bastis dikenal sebagai extra exclesia nula solum telah mengangkat Tuhannya berkuasa atas Tuhan orang Kei. Jawaban terhadap pertanyaan dimanakah Tuhan jadi lebih mudah dikonstruksikan dalam perspektif ini, bahwa Tuhan orang Kei ada dimana-mana–diselaga benda dan tempat, sedangkan Tuhan orang Kristen dalam perspektif dogma di atas sedang duduk manis di dalam Gereja bahkan mungkin sedang menertawakan kekalahan Tuhan orang Kei. Tapi pengikut Yesus harusnya tidak hanya duduk manis dalam gereja hehehe.

Tuhan Orang Indonesia
Ketika pertanyaan yang sama dicari jawabannya dalam konteks Indonesia; dimanakah Tuhan? Guru saya pernah mengajarkan bahwa Tuhan berkarya dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. Ajaran ini hendak memberi pesan bahwa Tuhan tidak hanya bersemayam di Yerusalem atau sedang duduk manis di dalam gereja. Dengan kata lain, saya ingin berkata bahwa: Tuhan ada di Indonesia dan sedang berkarya lewat pikiran, perkataan dan perbuatan setiap insan Indonesia. Namun pertanyaan turunannya adalah Tuhan mana atau Tuhan siapa yang berkarya tentang kemerdekaan Indonesia itu? Hmmm anda mungkin kembali menuduh saya sebagai orang yang kurang bahkan tidak beriman, sebab mempertanyakan kebesaran, keagungan dan kemampuan Tuhan. Terhadap tuduhan seperti ini saya sering berkata, anda sedang berpikir dengan kacamata agama, karena itu pendekatan anda berbeda dengan saya.

Tuhan yang mana atau Tuhan siapa yang berkarya tentang kemerdekaan Indonesia? Tuhan orang Kristen, Tuhan orang Islam, atau Tuhan orang Kei? orang Kei diikutsertakan saja hehehehe. Jawaban terhadap pertanyaan ini, lagi-lagi saya perlu meminjam kata-kata guru saya bahwa “Dia adalah Tuhan orang Indonesia”. Tuhan orang Indonesia? Anda mungkin bertanya demikian, dan saya pernah juga bertanya demikian. Namun jika kita tidak mengakui bahwa orang Indonesia memiliki Tuhannya sendiri, maka kita sedang menipu diri kita. Saya mau berkata begini: Allah Tritunggal, Allah Swt, Yahweh adalah nama Tuhan yang “diimpor” dari luar, bahwa Tuhan seperti itu tentu dikonstruksi dalam komunitas budaya tertentu, karena orang Kei ternyata bisa juga mengkostruksi Tuhannya sendiri, demikian pula suku-bangsa lain di Nusantara, saya yakin bahwa mereka juga mengkonstruksi Tuhannya sendiri. Karena itu kita mengenal: Debata, Puang Matua, Upu Lanita, Marapu, dan lain sebagainya.
Kalau sukubangsa-sukubangsa yang mendiami Nusantara ini sudah memiliki dan mengkonstruksi Tuhannya sendiri berdasarkan local genius mereka, maka Indonesia yang baru dibentuk tahun 1945 tidak terlepas dari proses pencarian dan pembentukan identitas diri bahkan identitas Tuhannya sendiri. Karena itulah menjadi bermakna ketika kita membaca rumusan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini diduga dikonstruksikan kembali dari frasa “atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa…” dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, maka Tuhan orang Indonesia adalah Tuhan Yang Maha Kuasa yang Kekuasaannya itu Esa. Apa artinya? Bagi saya rumusan Tuhan orang Indonesia ini bertujuan mendamaikan Tuhan-Tuhan lain yang “dihidupi” oleh setiap komunitas budaya di Nusantara, termasuk Tuhan yang “diimpor” itu. Karena itu Tuhan Yang Maha Kuasa perlu didaulat untuk duduk pada tempat tertinggi yang mendamaikan dan memberi tempat sejajar bagi semua komunitas budaya dengan Tuhannya itu.

Mengapa Tuhan Yang Maha Kuasa perlu mendamaikan tuhan-tuhan lain dan memberi tempat yang sejajar bagi mereka? Bayangkan saja jika orang Kei memaksakan Duan untuk harus diakui dan menjadi Tuhan orang Toraja dalam NKRI, apa saudaraku orang Toraja mau menerimanya? mereka kan sudah memiliki Tuhannya sendiri, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, konstruksi Tuhan Yang Maha Kuasa bertujuan menghilangkan “kegenitan” tuhan-tuhan lain untuk menggoda komunitas budaya tertentu. Kegenitan Tuhan lain itu “dikebiri” tetapi sekaligus juga diberi tempat terhormat karena semuanya menjadi sejajar dalam kedudukannya dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena itu Tuhan Yang Maha Kuasa adalah solusi terbaik bagi moment of transcendent bangsa Indonesia yang baru dibentuk, agar komunitas-komunitas budaya dengan Tuhannya itu tidak saling mendahului dan saling mengklaim bahwa Tuhannya yang paling benar dan paling pantas untuk diikuti. Itulah sebabnya ketika Bung Karno “berbicara” tanggal 1 Juni 1945 dia menghendaki prinsip “Ketuhanan yang berkebudayaan” artinya Bung Karno sadar betul bahwa jika moment of transcendent tentang Tuhan tidak disepakati dalam negara baru ini, maka kemungkinan yang muncul adalah komunitas-komunitas budaya (sukubangsa) itu akan bertindak saling meniadakan liyan atas nama Tuhannya masing-masing, maka homo homini lupus ala Hobes akan terjadi atas nama Tuhan.

Namun apakah “manusia adalah serigala bagi sesamanya” atas nama Tuhan dan agama tidak terjadi pada negeri yang memiliki Tuhannya sendiri ini? Tidak juga, mereka ternyata dalam beberapa kasus berperilaku saling meniadakan atas nama Tuhan. Apakah Tuhan orang Indonesia kurang sakti? Bisa juga demikian, namun saya tidak hendak berspekulasi. Saya hanya ingin mengatakan bahwa Tuhan orang Indonesia belum sepenuhnya diakui oleh komunitas budaya yang bernama Indonesia itu, ini bukan berarti bahwa Dia kurang sakti, namun lebih dikarenakan Tuhan Yang Maha Kuasa belum atau tidak tercatat dalam kitab manapun, atau Tuhan orang Indonesia tidak memiliki kitab sucinya sendiri, tidak menawarkan tatacara ritual tertentu, dan belum mengirimkan pesan-pesan gaib (berfirman) bagi pendukungnya. Satu-satunya hal yang telah dilakukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa adalah mendamaikan dan memberi tempat (kedudukan) yang setara dan sejajar kepada perbedaan. Walau dalam realitasnya tuhan yang lain masih terlalu bergairah memaksakan kegenitannya dengan memandang perbedaan dan kesetaraan dari kacamatanya sendiri.

Sebagai penutup catatan ini saya hendak mengkonstruksikan bahwa “Religion is a matter of psychology. Manusia senang dengan sensasi-sensasi psikologis seperti ketenangan, merinding, melankholi, dan lain sebagainya, dan agama memanfaatkan kehausan manusia akan sensasi-sensasi itu. Namun tidak berarti bahwa agama itu lantas benar hanya karena sensasi-sensasi yang ditimbulkan dari momen-momen semacam itu. Dan jika kita mengerti dan mengetahui bahwa sensasi-sensasi itu bisa juga muncul disaat kita sedang tidak beribadah atau berdoa kenapa kita masih saja beranggapan bahwa Tuhan kitalah yang memberikan sensasi-sensasi yang sulit terdefinisikan, dan kemudian mengklaim bahwa Tuhan dan agama kita yang paling benar, yang lain salah, dipersalahkan bahkan perlu ditiadakan? Bagi saya, Tuhan Yang Maha Kuasa yang Kekuasaannya itu Esa atau Tuhan orang Indonesia adalah jawaban bagi keanekaragaman atau pluralitas masyarakat Indonesia yang dalam banyak hal masih sangat menyukai sensasi-sensasi akibat fantasi yang terkadang tidak selalu bermakna kehadiran Tuhan. Bagi saya Tuhan orang Indonesia menjadi relevan sebab hanya Dia yang bersedia memberi kedudukan yang setara bagi tuhan-tuhan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun