Mohon tunggu...
Ellyana Dwi Farisandy
Ellyana Dwi Farisandy Mohon Tunggu... Psikolog - Clinical Psychologist

Seorang manusia biasa yang berprofesi sebagai Psikolog Klinis—tidak memiliki kemampuan membaca pikiran maupun meramal masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Relationship, Apakah Pilihannya Selalu Meninggalkan?

11 Oktober 2020   11:13 Diperbarui: 18 November 2020   19:34 1338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah hubungan harapannya terjalin untuk saling membahagiakan dan membuat kita bertumbuh menjadi lebih baik lagi. Namun, jika hubungan malah membuat kita terus menerus terluka, kecewa, dan tidak berharga, bagaimana ya?

Hal ini disebut sebagai unhealthy relationship atau yang lebih dikenal sebagai toxic relationship. Secara harafiah, toxic relationship diartikan sebagai hubungan yang beracun. 

Hubungan yang membuat kita merasa drained, tidak nyaman, bahkan membuat kita terus menerus mempertanyakan keberhargaan diri kita. 

Walaupun toxic relationship juga bisa diaplikasikan pada hubungan dengan teman maupun orang tua, faktanya term ini paling sering digunakan dalam menjalin relasi romantis bersama pasangan. 

Dalam hubungan yang toxic, biasanya akan ada pelaku dan juga korban. Hubungan yang seharusnya setara, namun tidak berlaku disini karena adanya kesenjangan kekuatan dan kekuasaan di salah satu pihak.

Fenomena toxic relationship ini merupakan fenomena gunung es. Kita bisa dengan mudahnya mengunggah foto-foto romantis kita di media sosial dengan pasangan, tanpa orang lain menyadari bahwa sebenarnyadi balik itu semua, kita sangat terluka dan kelelahan karena perlakuan pasangan. 

World Health Organization (2017) mengungkapkan bahwa sekitar 1 dari 3 (35%) di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual saat menjalani hubungan romantis dengan pasangan. 

Lebih lanjut, Ekoh, Aga, dan Ejimkaraonye (2019) menjelaskan bahwa pelecehan maupun kekerasan dalam hubungan romantic memengaruhi setidaknya 9-38% pasangan muda. 

Di Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2018) mengungkapkan bahwa sebanyak 33.4% perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual selama hidupnya. Secara lebih spesifik, tingkat kekerasan baik secara fisik maupun seksual yang dialami perempuan belum menikah sebesar 42.7%.

Berkaitan dengan usia, dewasa awal dengan usia 17-24 tahun merupakan usia dimana pertama kali individu menjalani hubungan yang tidak sehat. Statement ini tentu saja ada alasannya, lho. 

Berdasarkan tahap perkembangan Erikson, tugas perkembangan pada dewasa awal adalah intimacy vs isolation dimana kita mulai menumbuhkan ketertarikan dengan orang lain (Malone, Liu, Vaillant, Rentz, & Waldinger, 2016; Montgomery, 2005). 

Ketika kita sudah memiliki keterikatan yang aman (secure attachment) dan mampu menerima serta mencintai diri secara penuh, kita cenderung akan membangun hubungan yang sehat dengan pasangan. 

Akan tetapi, ketika kita memiliki keterikatan yang tidak aman (insecure attachment) dan bahkan belum mampu mencintai diri sendiri, hal ini tentu saja sangat berisiko untuk kita masuk ke dalam hubungan yang tidak sehat.

Sebelum kita beralih ke solusi, kita perlu tahu dulu sebenarnya apa ya tanda atau red flags kita berada dalam sebuah hubungan yang toxic? (Daskal, 2016; Follingstad, Rutledge, Berg, Hause, & Polek, 1990; Karakurt & Silver, 2013; KemenPPPA, 2018; Lamothe, 2019)

1. Isolation

Hubungan yang sehat akan membuat kita terkoneksi namun juga bebas dalam melakukan hal yang kita sukai. Namun sayangnya, hal ini tidak terjadi dalam toxic relationship. 

Pasangan akan sangat membatasi hubungan kalian dengan dunia luar, baik itu waktu dengan teman, orang tua, sahabat, komunitas, dan sebagainya. Pasangan yang sangat demanding akhirnya membuat mayoritas waktu kita hanya dihabiskan bersama pasangan saja. Bahkan yang paling menyedihkan adalah tidak adanya waktu untuk menyenangkan diri kita sendiri.

2. Never ending drama

Dalam menjalin sebuah hubungan, pasti akan selalu ada pertengkaran. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana kita bisa mengkomunikasikan hal tersebut bersama pasangan hingga tercapai win-win situation.

Salah satu red flags dari hubungan yang toxic adalah dimana pertengkaran berlangsung sangat lama, pasangan membesar-besarkan masalah yang ada, hingga mengancam jika kita tidak menuruti kemauan pasangan. Misalnya: "mending aku mati aja kalau kamu minta putus dari aku"

3. Lack of trust

Saling percaya merupakan sebuah kunci dalam suatu hubungan. Kurangnya rasa percaya pada pasangan akan membuat pasangan menjadi posesif, seperti: meminta semua password sosial media, menelepon satu jam sekali untuk mengetahui pasangan sedang ada dimana dan bersama siapa, stalking, bahkan menyadap HP pasangan tentu bukan sebuah tanda hubungan yang sehat.

4. Constant judgement

Healthy relationship make us feel good about ourselves. Tapi, bagaimana rasanya jika terus menerus dikomentari, baik dari segi penampilan, cara berpakaian, intelektual, pendidikan, pekerjaan, bahkan berat badan? 

Misalnya: "aduh, gendut banget sih kamu. Untung aja aku mau sama kamu. Kayaknya nggak ada deh orang lain yang mau nerima kamu yang kayak gini" atau "bodoh banget masa ginian aja nggak ngerti, malu lah aku". Selain membuat kita tidak nyaman, hal itu tentu saja membuat harga diri kita hancur dan kita mulai mempertanyakan keberhargaan diri kita sendiri.

5. Continues disrespect

Saling menghargai tentu akan membuat satu sama lain merasa diterima dan dicintai, namun apa jadinya jika apa yang kita lakukan rasanya tidak pernah cukup di mata pasangan? 

Misalnya: ketika kita memberikan hadiah kepada pasangan, pasangan membuang hadiah itu di depan kita, atau ketika kita bela-belain ke rumah pasangan yang berada di luar kota, pasangan tidak menerima kita masuk ke rumahnya dan menyuruh kita pulang saat itu juga.

6. Abusive

Kekerasan dalam hal ini bentuknya akan sangat banyak, mulai dari: (a) kekerasan fisik seperti menjambak, menampar, mencakar, dan sebagainya; (b) kekerasan seksual seperti memaksa menyentuh atau bahkan melakukan hubungan seksual tanpa consent;(c) kekerasan finansial seperti tidak memperbolehkan pasangan bekerja, menggunakan uang pasangan untuk impulsive buying,dan sebagainya; serta (d) kekerasan emosional/verbal, seperti memaki, menggunakan silent treatment, gaslighting, ghosting, dan sebagainya.

Setelah kita tahu mengenai red flags-nya, lalu bagaimana? Apakah putus merupakan satu-satunya jalan keluar dari hubungan yang tidak sehat ini?

Jawaban mudahnya, tidakasalkan kita dan pasangan sama-sama berkomitmen untuk berproses dan bertumbuh menjadi yang lebih baik lagi. It takes two to tango. Ketika hanya satu orang yang berusaha, akhirnya hanya orang tersebut yang akan terluka.

 Namun, ketika kita sama-sama menyadari bahwa ada yang salah dalam hubungan ini dan berusaha untuk memperbaikinya, it will worth it. Bagaimana caranya, ya?

  • Memahami bahwa saat ini kita sedang tidak baik-baik saja. Berikan waktu bagi diri sendiri untuk melakukan self care pun melakukan hal yang kita senangi. Sadari bahwa kita berharga dan utuh, dengan atau tanpa dia.
  • Jika memang kita merasa bahwa pasangan layak untuk diperjuangnkan, kalian bisa mulai untuk membuat list mengenai perilaku masing-masing yang membuat kita dan pasangan merasa tidak nyaman bahkan terluka
  • Komunikasikan hal itu secara asertif dengan menggunakan I-statements. I statement merupakan gaya komunikasi yang berfokus pada perasaan dan pikiran orang yang berbicara. Gaya komunikasi ini dinilai sebagai strategi terbaik dalam membuka diskusi terkait suatu konflik (Rogers, Howieson, & Neame, 2018). Misalnya: "Aku merasa sedih dan terluka ketika kamu memberikan komentar yang buruk terkait penampilanku. Bisa tidak untuk kedepannya kamu tidak melakukannya lagi?" atau "Aku merasa khawatir ketika kamu pulang terlambat tanpa mengabari aku. Aku akan sangat menghargai ketika setidaknya kamu menelepon atau chat. Bisa tidak untuk kedepannya kamu mengabari aku?"
  • Dengarkan secara empati dan tidak menyela ketika salah satu sedang berbicara
  • Ketika terlalu overwhelmed, berikan jeda sebentar untuk melakukan kegiatan bersama yang kalian senangi, misalnya: menonton film bersama untuk meningkatkan bonding bersama pasangan
  • Setelah selesai, kalian bisa bersama-sama membuat action plan dan saling mengingatkan ketika red flags tersebut masih terulang
  • (Optional) kamu juga bisa melakukan konseling bersama pasangan ke Psikolog jika memang dibutuhkan, lho.

Tidak ada proses yang mudah. Semua proses rasanya berat dan bahkan menyakitkan. Namun tidak apa-apa. You can take time as much as you need. Entah pada akhirnya memilih untuk tetap bertahan pun meninggalkan, tidak ada pilihan yang benar dan salah. Karena apapun pilihan yang kita ambil, kita tahu bahwa itu adalah pilihan terbaik yang bisa kita lakukan. Selamat berproses dan good luck!

DAFTAR PUSTAKA

Daskal, L. (2016, Januari 25). 35 Signs you're in a toxic relationship. Inc.

Ekoh, P. C., Agha, A. A., & Ejimkaraonye, C. (2019). Unhealthy romantic relationships among young persons: Implication for social work practice in Nigeria. Nigerian Journal of Psychological Research, 15, 33-38.

Follingstad, D. R., Rutledge, L. L., Berg, B. J., Hause, E. S., & Polek, D. S. (1990). The role of emotional abuse in physically abusive relationships. Journal of family violence, 5(2), 107-120.

Karakurt, G., & Silver, K. E. (2013). Emotional abuse in intimate relationships: The role of gender and age. Violence and victims, 28(5), 804-821.

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2018, Maret 20). Waspada bahaya kekerasan dalam pacaran.

Malone, J. C., Liu, S. R., Vaillant, G. E., Rentz, D. M., & Waldinger, R. J. (2016). Midlife Eriksonian psychosocial development: Setting the stage for late-life cognitive and emotional health. Developmental psychology, 52(3), 496.

Montgomery, M. J. (2005). Psychosocial intimacy and identity: From early adolescence to emerging adulthood. Journal of Adolescent Research, 20(3), 346-374.

Lamothe, C. (2019, November 11). Is your relationship toxic?. Healthline.

Rogers, S. L., Howieson, J., & Neame, C. (2018). I understand you feel that way, but I feel this way: The benefits of I-language and communicating perspective during conflict. PeerJ, 6, e4831.

World Health Organization (2017, November 29). Violence against women.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun